Pages

Tuesday, January 25, 2011

TAJRID (KESUNGGUHAN)

T A J R I D
Tajrid secara bahasa adalah mengosongkan sesuatu daripada yang lain. Maksud tajrid dalam pemahaman tasawuf bahwa jika kita sedang menghadap Allah, maka penuhkanlah perhatian hanya kepada Allah dan kosongkan perhatian daripada yang lain. Demikianlah juga jika engkau mengerjakan sesuatu maka penuhkanlah perhatian kepada pebuatan tersebut dengan niat kepada Allah dan kosongkan daripada yang lain. Kosongkan daripada yang lain dan hanya menghadapkan diri kepada Allah itulah yang dimaksudkan dalam kalimat : “ iyyaka na’budu wa iyyaka nastain “ dalam surah al fatihah.. Dalam ayat ini dipakai kalimat “Iyaaka” bukan “Ilaika”. Iyyaka artinya adalah hanya kepadaMu Ya Allah, dan tidak kepada yang lain sedikitpun sedang ilaika “ kepadaMu “; berarti dalam kalimat ‘iyyaka “ tersembnyi makna “tajrid” dan “tafrid”. Tajrid mengosongkan diri daripada segala sesuatu sedangkan tafrid hanya menuju kepada Allah Yang Esa, sebab kalimat tafrid berasal dari “fardun “, yang bermakna tunggal, satu, tidak ada yang lain. Ulama menyatakan “ tajrid “ dalam ibadah sedangkan “tafrid “ dalam ubudiyah. “Tajrid” dari hamba kepada Allah sedangkan tafrid terdapat pada Dzat Allah.
Ada kumpulan yang mengatakan bahwa tajrid adalah mengosongkan dunia dari kehidupan sehingga kehidupan hanya untuk beribadah kepada allah, padahal tajrid dalam amal ibadah tidak dapat dilakukan dengan meninggalkan amal shaleh, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ibnu Athaillah dalam kitab al Hikam : “ Keinginan anda untuk tajrid padahal Allah menempatkan anda pada asbab, maka hal itu termasuk syahwat yang tersembunyi. Sebaliknya jika melakukan “asbab” padahal Allah menempatkan anda pada kedudukan tajrid, maka hal itu berarti kemerosotan daripada himmah yang luhur “. Said Hawa menjelaskan bahwa tajrid disini maksudnya adalah meninggalkan pekerjaan duniawi, sehingga seakan-akan maksud Ibnu Athaillah adalah : “ Jika anda ditempatkan Allah pada kedudukan untuk melakukan ikhtiar dengan sebab-sebab sedangkan hatimu menginginkan tajrid, maka itu berarti akibat pengaruh syahwat yang tersembunyi “.
Disini Imam Athaillah menyatakan bahwa “tajrid” tidak berarti menghilangkan “asbab”. Sikap “Tajrid” adalah sikap hati yakin hanya Allah menentukan segala sesuatu tetapi keyakinan tersebut tidak boleh mengurangi amal terhadap sebab-sebab dalam berikhtiar. Tetapi dalam beramal, dalam melakukan sebab, maka hati tidak boleh pula tergantung kepada perbuatan tersebut, tetapi selayaknya hati hanya tetap bergantung kepada Allah. Ibnu Athaillah berkata : Daripada sebagian tanda ketergantungan kepada amal perbuatan adalah kurangnya harapan ketika terjadi suatu kesalahan “. Setiap muslim diwajibkan untuk beramal, berbuat sesuatu ikhtiar, tetapi diwaktu yang sama dia juga diwajibkan untuk tidak bersandar kepada amal perbuatannya tersebut, tetapi bersandar kepada Allah, hal ini dimaksudkan agar dalam melakukan amal, tujuannya adalah mencari keridhaan Allah, bukan natijah daripada amal perbuatan tersebut.
Ibnu Ajibah menjelaskan bahwa ‘” Tanda Allah menempatkanseseorang dalam “asbab” ialah dengan berjalan terus menerus dan nampak buahnya, maksudnya ketika sibuk dengan ikhtiar maka ikhtiar itu tidak menganggu agamanya, tidak membuatnya tamak kepada milik orang lain, tetap dalam niat yang baik, selalu menjalin hubungan silaturahmi dengan yang lain, dan menolong orang yang lain sehingga amal perbuatannya dapat memberikan manfaat kepada dirinya, hidupnya, manusia yang lain, alam sekitarnya, dan kehidupannya di akhirat kelak. Sedangkan jika Allah memberikan kepadanya “tajrid”, maka hatinya tetap kepada Allah walau dalam keadaan dan kesibukan melakukan asbab, dan mendapatkan ketenangan jiwa dalam beramal, kebersihan hati, dan hanya tergantung kepada Allah, tidak terpengaruh kepada natijah, tetapi tujuan melakukan asbab hanya mencari keridhaan Allah “.
Syetan selalu menggoda manusia dalam tajrid dan ikhtiar. Jika manusia sedang berikhtiar, maka dia mengoda dengan mengatakan bahwa keadaanmu ini adalah hina sebab engkau meninggalkan ibadah kepada Allah, maka sebaiknya engkau tinggalkan ikhtiar dan bergantunglah kepada Allah tanpa berikhtiar. Syetan berkata : “ Andai engkau meninggalkan ikhtiar, dan kamu tajrid beribadah kepada Allah, maka nanti hatimu akan bersinat dan mendapat kedudukan yang tinggi disisi Allah sebagaimana si fulan dan si fulan “. Akhirnya orang tadi akan meninggalkan ikhtiar, padahal Allah mewajibkannya berikhtiar.
Demikian juga syetan akan menggoda orang yang sedang khusyu’ beribadah kepada Allah (tajrid), dan berkata “ mengapa engkau sibuk dengan ibadah kepada Allah, padahal dunia itu diberikan kepadamu, maka sebab engkau meninggalkan ikhtiar, maka lihat orang lain telah menjadi kaya, mendapat dunia maka segera tinggalkan ibadahmu dan berikhtiarlah , dan carilah dunia “. Tujuan syetan adalah agar manusia yang sedang melakukan ibadah atau yang sedang melakukan ikhtiar terpesong, antara ibadah dan ikhtiar, padahal ikhtiar dilakukan dengan niat ibadah dan keyakinan kepada Allah merupakan cara untuk mendapatkan keridhaan Allah, tetapi sebab terputusnya ibadah disebabkan ikhtiar atau terputusnya ikhtiar disebabkan ibadah menjadi penyebab tidak mendapat ridha Allah. Ikhitar dan ibadah, tak dapat dipisahkan sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Atahillah : “ Amal-amal itu adalah badan yang berdiri, sedangkan rohnya adalah ketergantungan hati dan keikhlasan kepada Alah “.
Dalam hadis disebutkan bahwa :
“ Sesungguhnya Allah sangat suka kepada seorang hamba jika dia melakukan suatu perbuatan maka dia melakukannya dengan penuh kesungguhan “. ( riwayat Abu Ya’li dan al askari )
“ Andaikata kamu bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal maka Dia akan memberikan kepadamu rezeki sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung, di pagi hari burung itu keluar dari sarangnya mencari makan, dan di petang hari dia kembali ke sarangnya dalam keadaan perut yang kenyang “ ( riwayat Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah). Hadis ini menjelaskan bahwa tawakkal kepada Tuhan tidak menafikan ikhtiar, sebab Allah memberikan rezeki kepada burung sesudah burung itu terbang mencari rezeki, bukan menunggu di dalam sangkar. Tetapi dalam berikhtiar maka hati tetap bergantung dan bertawakkal kepada Allah.
Tajrid menghajatkan kepada “uzlah” dan inqitha’. Uzlah ( menyendiri ) bukanlah semata-mata menyendiri di salah satu sudut masjid atau bilik, tetapi suasana hati yang tetap ingat Allah dari satu waktu kepada waktu yang lain, tidak terpengaruh dengan segala godaan dan suasana dalam beramal dan berikhtiar. Sedangkan “inqitha’, adalah mengumpulkan segala potensi , semangat dan waktu untuk melakukan ikhtiar, dengan hati tetap bergantung kepada Allah, sehingga kata Ibnu Ataillah : “ Adalah kebodohan orang yang meninggalkan apa yang suidah dimilikinya karena hendak mencari sesuatu yang baru, padahal Allah telah memilih baginya pada waktu itu “.
Dalam uzlah Ibnu Ataillah juga berkata :
“ Tidak ada sesuatu yang bermanfaat untuk hati sebagaimana uzlah, sebab lewat pintu uzlah hati dapat memasuki medan pikir “.
“ Bagaimana mungkin hati akan bersinar, sementara gambaran dunia terlukis di cerminnya “.
“ Bagaimana mungkin seseorang itu menuju Allah, padahal hatinya terpasung oleh syahwatnya “.
Dalam sebuah hadis rasulullah saw bersabda :
“ Fitnah-fitnah itu dilekatkan di hati bagaikan tikar,sehelai demi sehelai. Maka hati yang dapat dimasukinya tertitik satu noda hitam padanya. Adapun hati yang mengingkarinya maka terteteslah padanya titik putih. Sehingga hati ada dua macam : hati yang putih laksana batu karang yang tak dapat digoyang oleh fitnah selama ada langit dan bumi; dan hati yang hitam laksana periuk yang terbalik, tidak mengenal kebaikan dan tidak mengingkari kemungkaran, hatinya penuh dengan hawanafsu yang telah masuk ke dalamnya “ ( riwayat Muslim ).
“Tajrid” dan asbab adalah bergantung kepada rububiyah dan melaksnaakan ubudiyah dalam setiap kehidupan, bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, dan pada waktu yang sama kita meyakini “tafrid” yaitu meyakini hanya Allah bermula segala sesuatu dan hanya kepadanya berakhir, sebaagimana dikatakan oleh Ibnu Atailah : “ Bergantunglah kamu kepada sifat-sifat rububiyah Allah, dan laksanakanlah dengan sungguh-sungguh sifat-sifat ubudiyahmu kepadaNya “.
Hati manusia selalu dalam proses ujian, apakah dapat melakukan tajrid , sehingga bersih daripada nafsu, keinginan dan goresan-goresan dunia, mereka yang dapatmelakukan “ tajrid” inilah yang disebutkan oleh Al Quran bahwa : “ Mereka itu adalah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertaqwa ‘ ( Surah al hujurat : 3 ). Semoga hati kita tetap tajrid dan tafrid kepada Allah dengan tetap melaksanakan ikhtiar dengan penuh kesungguhan dengan tujuan mendapatkan keridhaan Allah. Wallahu A’lam.


Muhammad Arifin Ismail
Masjid AlGhufran, 8 Sya’ban 1428/21 Ogos 2007

No comments:

Post a Comment