Pages

Wednesday, May 9, 2018

Menelusuri Sejarah Pendidkan di Indonesia



Sebagaimana tertulis dalam sejarah Islam bahwa perhatian pertama masyarakat muslim adalah masalah pendidikan.  Sejarah mencatat baha Islam masuk pertama kali ke daerah Aceh, maka untuk menelusuri pendidkan umat, sebaiknya kita melihat kepada Oleh sejarah pendidikan Islam di daerah Aceh. Pendidkan Islam di Aceh berawal dari pendidikan pondok yang  dalam bahasa Aceh disebut dengan nama " dayah" . Kata “dayah” dipakai oleh masyarakat Aceh untuk lembaga pendidikan, sebab masyarakat Aceh meyakini bahwa lembaga pendidikan yang didirikan oleh Rasulullah dan para sahabat nabi bermula dari kelompok dan lingkaran belajar di beranda  salah satu sudut masjid nabi yang disebut dengan nama  "Zawiyah".  Zawiyah tersebut berasal dari bahasa arab yang bermakna sudut, dan dari kalimat "zamiyah " berubah dengan dialek Aceh menjadi "dayah". Lembaga pendidikan seperti Dayah ini disebut di jawa dengan nama pondok pesantren.

Menurut A. Hasymi, setelah kerajaan Islam Peureulak pertama kali berdiri pada bulan Muharram tahun 255 Hijriyah (840 Masehi) dibawah Sultan Sayid maulana Abdul Aziz. Sultan dayah sebagai pusat pendidikan masyarakat. Dayah pertama adalah Dayah Cot Kala dibawah pimpinan Syekh Muhammad Amin. Disamping ilmu agama, Dayah Cot Kala juga mempelajari ilmu pertanian, dan memiliki lahan pertanian seperti pertanian lada dan lain sebagainya. Di dalam pendidikan dayah diajarkan ilmu agama, dan juga  ilmu pengetahuan dan umum seperti  astronomi, kesehatan dan pertanian.  Hal itu terbukti, dimana seorang ulana dayah di Aceh,  Tengku Kuta Karang telah menulis kitab Tajul Muluk  berkaitan dengan astronomi, kedokteran dan pertanian.

Disamping dayah, masyarakat Aceh memiliki perguruan tinggi  Jamiah Baiturrahman, yang berlokasi di masjid Baiturahman Banda Aceh sekarang ini. Sejarah mencatat bahwa luas kampus Jamiah Baiturrahman pada waktu itu adalah empat kali lebih luas dari komplek Masjid Baiturrahman hari ini. Jamiah Baiturahman tersebut  asalnya adalah sebuah masjid yang dibangun oleh Sulthan Alaidin Mahmud Syah pada tahun 691 Hijrah / 1292 Masehi, dan kemudian dibesarkan oleh Sulthan-sultan setelahnya terutama oleh Sultan Iskandar Muda. Disamping sebagai tempat ibadah, Masjid Baitur Rahman merupakan sebuah lembaga perguruan tinggi terbesar di Asia tenggara pada waktu itu dan merupakan perguruan tinggi yang lengkap dengan segala cabang ilmu pengetahuan dengan guru dan dosen yang datang dari Turki, Arab, Parsi, India dan lainnya. Jamiah Baiturrahman pada waktu itu memiliki beberapa fakultas yang disebut dengan nama "Daar"  yaitu :  Daar Tafsir wal Hadis ( Fakultas Tafsir dan Hadis ), Daar Thib ( Fakultas kedokteran ), Daar Kimia ( Fakulti kimia ), Daar Tarikh ( Fakultas ilmu sejarah ), Daar Hisab ( Fakultas ilmu Matematika), Daar Siayasah ( Fakultas ilmu politik ), Daar Aqli ( Fakulti ilmu Logika yang dimaksud ilmu logika adalah Fisika ), Daar Zira'ah( Fakulti Pertanian ), Daar Ahkam (Fakultas ilmu Hukum ), Daar Falsafah ( Fakultas Filsafat ), Daar Kalam ( Fakultas Ilmu Kalam/Teologi), Dar Wizarah ( Fakultas Ilmu Administrasi Pemerintahan ), Daar Khazanah Baitul Maal ( Fakultas Ilmu Keuangan ), Daar Ardh ( Fakultas ilmu Geologi ), Daar Nawu ( Fakultas Ilmu Bahasa ), Daar Mazahib ( Fakultas Ilmu Perbandingan Agama ), Daar Harb ( Fakultas Ilmu Militer ). Dapat dilihat dari berbagai  Fakultas tersebut bahwa  ilmu yang dipelajari  Masjid/Jamiah Baiturahman bukan hanya terbatas  ilmu agama semata-mata, tetapi mencakupi seluruh bidang ilmu, baik ilmu agama, ilmu humaniora, dan ilmu sains dan teknologi. Diantara alumi Fakultas Ilmu Militer Jamiah Baiturrahman adalah Laksamana Malahayati yang memimpin kapal perang Aceh.

Dari catatan diatas juga dapat dilihat bahwa Jamiah Baiturahman pada waktu itu selain berfungsi sebagai masjid tetapi juga merupakan pusat ilmu pengetahuan baik meliputi ilmu-ilmu agama  dan sains teknologi. Keunggulan pendidikan dan sarjana yang dihasilkan oleh Jamiah Baiturrahman itulah yang merupakan penyebab kehebatan umat Islam pada masa lalu. Sebaik penjajah Belanda masuk ke Indonesia, mereka melihat bahwa kekuatan umat Islam adalah pada penguasaan agama dan sains yang terdapat pada Masjid Baiturrahman. Oleh sebab pada tahun 1873,  Masjid Baiturahman yang juga berfungsi sebagai universitas tersebut dibakar. Penjajah mengetahui bahwa pembakaran itu dapat membuat semangat perlawanan masyarakat, maka   setelah dibakar, penjajah membangun kembali masjid yang telah dibakar tersebut, dengan bangunan yang indah melebihi keindahan masjid yang dibakar sebelumnya, tetapi masjid tersebut   hanya berfungsi sebagai tempat ibadah semata-mata, dan menghilangkan fungsi masjid sebagai lembaga pendidikan tinggi yang dapat melahirkan sarjana, ulama dan pemimpin masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penjajah Belanda bukan membakar masjid sebagai tempat ibadah, tetapi menghilangkan fungsi masjid sebagai tempat belajar ilu, sains, yang merupakan syarat utama kemajuan umat.
Dari keterangan diatas penulis memberikan kesimpulan bahwa sejarah pendidikan di Aceh dengan sistem dayah merupakan asas dan dasar bagi pendidikan Islam selanjutnya di nusantara, sebab murid yang datang belajar di dayah datang dari luar Aceh kemudian mengembangkan sistem dayah tersebut di daerah mereka masing-masing, seperti Maulana Ishaq  , ayahanda Sunan Giri di daerah jawa,  Syekh Burhanuddin di Sumatera barat, Daud al-Fatani dari Thailand, mengembangkan sistem pondok di Pattani dan semenanjung malaysia, Syekh Yusuf Makassari  mengembangkan pondok di Sulawesi, Banten , dan Afrika Selatan. Oleh sebab itu dapat kita katakan bahwa Masjid/Jamiah Baiturrahman adalah lembaga pendidikan tinggi islam pertama di nusantara.

Jamiah Baiturrahman sangat berperan dalam meningkatkan kualitas masyarakat muslim di Aceh, sehingga pada waktu penjajah Belanda datang ke Aceh, diantara cara yang pertama untuk menghancurkan kekuatan umat Islam adalah membakar Jamiah Baiturrahman dan kemudian membangaun kembali Masjid Baiturahman yang hanya berfungsi sebagai tempat beribadah, dan tidak lagi menjadi lembaga pendidikan tinggi “Jamiah “ seperti semula. Dengan dibakarnya jamiah baiturahman, maka umat Islam di nusantara sejak kedatangan penjajah Belanda tidak lagi memiliki lembaga pendidikan tinggi, yang ada hanyalah lembaga pendidikan menengah seperti dayah, dan pondok pesantren. Jika pada awalnya pendidikan masyarakat dari pendidikan menengah sampai perguruan tinggi berada di masjid, maka penjajah datang menjadkan  masjid hanya menjadi tempat beribadah semata-mata. Untuk menggantikan fungsi tempat pendidikan masyarakat tersebut, maka penjajah Belanda mendirikan sekolah-sekolah umum sebagai lembaga pendidikan masyarakat. Akibatnya, jIka lembaga pendidkan masyarakat yang pada mulanya berada di dalam masjid, dimana pendidikan agama menyatu dengan pendidikan ilmu sosial, sains dan teknologi, maka dalam di lembaga pendidikan model sekolah ala penjajah, pelajaran agama dipisahkan dari pelajaran umum sehingga alumni lembaga pendidkan sekolah tersebut akan menjadi sarjana yang sekular.  
Sebenarnya sistem pondok pesantren, adalah merupakan sistem terbaik dalam sistem pendidkan, dan merupakan sistem pendidikan asli nusantara, sebab dalam sistem pesantren pelajar berada dalam lingkungan pendidikan selama 24 jam. Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan yang terpadu, sebab pelajar  berada di dalam asrama dengan kehidupan yang terbimbing oleh guru, sebab di dalam pendidkan pesantren guru berada bersama murid di dalam kampus yang sama. Kehidupan bersama itulah yang akan membentuk karakter pelajar melengkapi ilmu yang dipelajari di dalam kelas. Pendidikan dalam asrama dengan contoh teladan dari guru dan pimpinan pesantren itulah yang dapat membentuk akhlak yang mulia. Kehidupan berasama yang terdidk antara pelajar dan guru juga membentuk dan melatih pelajar untuk hidup bermasyarakat dengan nila-nila tolong menolong dan bekerja sama. Oleh sebab itu dalam kehidupan pesantren itu merupakan pendidkan yang menyatu dan holistik antara pendidkan agama, pendidkan ilmu, pendidikan bermasyarakat, pendidikan akhlak dan kepemimpinan, yang dapat melahirkan pemimpin masyarakat.

Penjajah melihat pendidikan model dayah atau pesantren yang berlanjut sampai kepada perguruan tinggi yang menyatukan seluruh unsur pendidkan ini harus dirubah, dengan mengadakan pemisahan antara masjid dan ilmu, antara ilmu agama dan ilmu umum, sehingga dengan demikian umat Islam sehingga akan muncul generasi yang  memiliki ilmu umum. Pada sisi lain, penjajah mendirikan sekolah yang mengajarkan ilmu umum, sains dan teknologi tanpa diberikan ilmu agama, sehingga akan lahir sarjana yang tidak memahami ilmu agama. Akibat dari pendidikan yang tidak sempurna tersebut, maka masyarakat tidak dapat memiliki pemimpin yang beragama dan berilmu padahal kebangkitan suatu umat hanya dicapai dengan iman dan ilmu, baik ilmu agama sebagai fardhu ain, maupun ilmu umum, sains dan teknologi, ilmu fardhu kifayah, dengan akhlak yang mulia. Sudahkan lembaga  pendidikan kita hari ini dari sekolah dasar sampai pascasarjana dapat menjamin alumninya memiliki iman, ilmu agama, ilmu umum, dan akhlak mulia atau hanya meniru sistem pendidikan sekular yang mengasingkan agama dari kehidupan ? Sungguh benar firman Allah Taala : ““ Dan Allah mengangkat orang beriman dan berilmu beberapa derajat “ ( QS. al Mujadalah : 11 ). Wallahu A’lam.