Pages

Thursday, November 4, 2010

FALSAFAH QURBAN

Daging dan darahnya itu tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya “ ( QS. AlHaj : 37 )

Pengorbanan merupakan syarat untuk mencapai kemenangan dalam kehidupan. Ini merupakan peraturan hidup. Untuk itulah dalam Al Quran disebutkan bahwa : “ Inna A’thainaaka al Kaustar, Fa shalli bi rabbika wanhar, Inna Syaaniaka huwal abtar “. Biasanya surah tersbut diterjemahkan dengan : Sesungguhnya kami memberikan kepadamu telaga al Kausar. Maka dirikanlah shalat dan berkorbanlah. Sesungguhnya musuh engkau akan kalah “. Dalam kajian tadabbur alquran , tema utama surah ini adalah menjelaskan pedoman manusia untuk mencapai kemenangan. Kemenangan hanya akan dicapai jika seseorang itu telah melakukan pengorbanan dalam setiap usaha yang dilakukannya. Sebagai contoh, si Ahmad bekerja selama 8 jam, maka jika si B ingin mengalahkan si Ahmad, maka si B harus bekerja lebih lama dari si B dengan cara yang lebih baik. Jika si B telah melakukan usaha dan bekerja lebih dari si A, dengan segala pengorbanan tenaga, waktu dan lain sebagainya, maka menurut sunatullah kehidupan si B akan menang, dan si A akan kalah. Inilah sunatullah kemenangan dalam perjuangan.

“ Inna a’tahinaka al Kausar “, Kami telah memebrikan kepada engkau al Kausar. Apa itu al Kausar. Banyak hadis meriwayatkan bahwa makna al Kausar disini adalah telaga al Kausar yang diberikan nanti di dalam surga ( Hadis riwayat Bukhari, Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah ). Al Kaustar dapat juga bermakna nikmat yang banyak, sebab kalimat Kausar berasal dari Kasura yang berarti “banyak :. Sahabat nabi, Ibnu Abbas menyatakan bahwa Al Kausar juga bermakna “ al khair al kastir “, kebaikan yang banyak, nikmat yang banyak. dan Mujahid juga menyatakan bahwa Kausar adalah “ kebaikan di dunia dan di akhirat “ ( tafsir Ibnu Kasir, Juz 4, hal. 628). Oleh karena itu ayat “ Inna A’thainaka kal kausar “ juga dapat diterjemahkan dengan redaksi : “ Sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak “. Dalam ayat ini Allah menekankan kepada kita bahwa segala nikmat yang didapat adalah pemberinan Allah. Artinya jika engkau mendapat nikmat, mendapat rezeki, mendapat kekuasaan, mendapat pekerjaan, mendapat kesenangan, mendapat kesehatan, maka ingatlah bahwa itu semua merupakan pemberian Allah kepadamu. Kerja keras, ketrampilan dan kepakaran, adalah merupakan ikhtiyar, sebab manusia diwajibkan berusaha dan bekerja. Tetapi hasil yang didapat, itu semua hanya kita dapatkan dari rahmat, nikmat dan pemberian Allah.

“ Fa shalli li rabbika wanhar “ , maka dirikanlah shalat kepada Tuhanmu dan berkorbanlah. Kalimat Fa shalli menurut sahabat bukan saja bermakna dirikanlah shalat, tetapi juga bermakna : “ bersyukurlah kepada Allah atas nikmat yang engkau dapatkan tersebut.”. Ayat ini adalah mendidik manusia bagaimana mempergunakan nikmat yang telah didapat. Nikmat terebut tidak boleh disia-siakan pada kegiatan yang tidak berguna, tetapi harus dapat dipakai secara positif dan produktif. “ Fa shalli” artinya dirikanlah shalat, dengan maksud jika engkau menyedari bahwa pemberi nikmat adalah Allah, maka dirikanlah shalat sebagai bukti pengabdianmu kepada Allah. Menurut sahabat nabi Ikrimah “ Fa shalli li rabbika“ juga bermakna “ usykur li rabbika , bersyukurlah kepada Tuhanmu “. ( Tafsir Durarur Mansur, Jilid 6, hal. ) Oleh karena itu ayat tersebut, dapat juga diterjemahkan dengan redaksi : “ Jika engkau telah mendapat nikmat yang banyak, maka bersyukurlah kepada Tuhanmu”. Bersyukur maksudnya adalah mempergunakan nikmat tersebut dengan cara yang baik, tidak mubazir, tidak untuk maksiat, tetapi untuk beribadah kepada Tuhan yang mencipta alam.

Pemakaian nikmat tersebut selain untuk keperluan diri sendiri dan keluarga, juga harus dapat dipergunakan untuk kepentingan orang lain dan masyarakat. Oleh karena itu maka Allah menyambung ayat “Fa shalli li rabbika” dengan kalimat “ wan Har “ , yang bermakna “ dan berkorbanlah “, sebab dalam harta kekayaan tersebut terdapat hak orang lain sebagaimana dinyatakan dalam ayat ” Fi amwalihim haqqun lissail wal mahrum ”, dalam harta kekayan mereka itu terdapat hak orang yang meminta dan orang yang memerlukan walaupun otang itu tidak meminta ”.( Surah Dzariyat : 19 ). Kekayan dan kenikmatan yang diberikan Allah adalah dimaksudkan untuk dapat dipergunakan bagi memnuhi keperluan indovidu, keluarga dan juga keperluan orang lain, sebaagimana dinyatakan dalam hadis nabi : “ Sesungguhnya Allah telah mengkhususkan kaum dengan nikmat yang diberikan kepada mereka agar mereka dapat memberi manfaat bagi orang lain “ ( hadis riwayat Thabrani daripada Abdullah bin Umar ).

Pemberian dan pengorbanan kepada orang lain tersebut sesuai dengan kenikmatan yang didapat, sehingga tidak dapat dinilai dengan bilangan tetapi diukur dengan besarnya nikmat, sebagaimana dinyatakan dalam hadis : “ Bertambah besar nikmat Allah yang diberikan kepada seseorang itu, maka bertambah besar keperluan manusia kepada orang yang memiliki nikmat tersebut “ ( Hadis dari Aisyah diriwayatkan oleh Thabrani ). Oleh sebab itu dalam sebuah hadis disebutkan : “ Sedekah satu dirham dapat mengalahkan seratus dirham “. Sahabat nabi bertanya : “ Bagaimana mungkin ya Rasulullah hal tersebut dapat terjadi ?. Rasulullah menjawab : “ Seseorang yang memiliki dua dirham, dan dia bersedekah dengan satu dirham, sedangkan seorang lagi mempunyai seribu dirham, dan dia bersedekah dengan seratus dirham; maka sedekah satu dirham tersebut, lebih utama dan lebih besar pahalanya daripada sedekah seratus dirham “ ( hadis riwayat ) Mengapa demikian, sebab sedekah satu dirham dari dua dirham adalah limapuluh persen daripada harta yang dimilikinya, sedangkan sedekah seratus dirham dari harta seribu dirham adalah sepuluh persen dari kekayaannya. Oleh sebab itu pahala sedekah satu dirham ( dari dua dirham ) lebih besar dari pahala sedekah seratus dirham.

Setiap muslim yang memiliki kemampuan dan kekayaan mempunyai tanggungjawab sosial kemasyarakatan, apalagi terhadap kelangsungan dan perjuangan agama, dengan memberikan sebagian harta kekayaan tersebut untuk keperluan orang lain dan keperluan perjuangan agama. Itulah sebabnya dalam sebuah hadis Rasulullah saw bersabda : “ Siapa yang memiliki kelapangan pada hari ini ( harui raya Idul Adha ) dan dia tidak mau berkorban, maka janganlah dia dekat-dekat dengan tempat shalat kami ini ( masjid nabi ). “.Hadis riwayat Ahmad,dan Ibnu Majah. Maksud hadis ini adalah jika seorang muslim memiliki kekayaan dan kelapangan, maka hendaklah dia melakukan pengorbanan kepada agama dengan melaksanakan korban. Jika dia tidak mau berkorban sedangkan dia memiliki kekayaan berarti dia bukan bagian dari umat Islam ( dalam arti jamaah ), sebab dia tidak memiliki tanggungjawab sosial. Oleh sebab itu lebih baik dia tidak datang ke masjid, sebab kedatangan ke masjid adalah sebagai tanda memiliki kepedulian sosial dan sedia untuk berkorban demi agama. Sebab tujuan shalat jamaah adalah untk memperkuat jamaah dan umat, sedangkan kekuatan jamaah hanya dengan pengorbanan umatnya terhadap agama dan keoedulian terhadap jamaah yang lain.

Pengorbanan kepada agama dengan harta kekayaan merupakan syarat kemengan suatu agama, sebab itulah dalam kitab suci al Quran, banyak dijumpai ayat yang menyatakan “ “ Jahidu fi sabilillah bi amwalikum wa anfusikum “, berjihadlah, berjuanglah di jalan Allah denganh harta kamu dan diri kamu “. Sikap bersedia untuk berkorban inilah merupakan kunci kemenangan dalam perjuangan. Siapam yang lebih berkorban, maka dia akan meanng; dan dapat mengalahkan perlawanan musuh. Itulah sebabnya setelah perintah berkorban, Allah menyatakan dalam ayat selanjutnya “ Inna Syani’aka huwal abtar “, Sesungguhnya musuh-musuh engkau akan kalah “. Seakan-akan makna ayat adalah : Jika engkau telah mengorbankan harta kekayaan engkau, kenikmatan yang engkau terima untuk perjuangan dalam menegakkan agama , maka barulah musuh-musuh engkau akan kalah “. Ini merupakan sunatullah, merupakan hukum bagi kehidupan. Siapa aja, agama apa saja, umat apa saja, yang lebih banyak berkorban, yang lebih banyak mengorbankan segala sesuatu untuk agamanya, maka agamanya akan menang dibandingkan agama-agama yang lain. Umat apa saja yang peduli dengan saudaranya yang lain, maka umat tersebut akan unggul dibandingkan denganumat yang lain.

Agar umat Islam dapat memiliki sikap pengorbanan tersebut, maka dalam setiap tahun, disunatkan bagi mereka yang mampu melakukan penyembelihan hewan qurban di hari raya Idul Adha. Tujuan utama adalah disunatkan menyembelih hewan qurban adalah mendidik semangat pengorbanan bagi umat Islam untuk masyarakat dan agamanya sepanjang hidup. Inilah falsafah qurban. Semoga semangat qurban umat Islam bukan hanya pada hari traya idul qurban saja, tetapi tetap menyala sepanjang umur dikandung badan, sehingga hari kiamat kelak. Fastabiqul khairat. ( Kuala Lumpur, 26 DzulQa'dah 1431, Muhammad Arifin Ismail ).