Pages

Sunday, November 4, 2012

Antara Takbir dan Talbiyah

“ Dan mengingat Allah itu lebih besar “ ( QS. Ankabut/29:45) Setiap hari raya baik itu idul fitri, maupun Idul Adha takbir dan tahmid menjadi sikap hidup msulim yang diucapkan dalam lafadz, diyakini dalam hati, dan diamalkan dalam perbuatan. Dengan melafazkan lafazd takbir lengkap tersebut berarti kita mulai segala aktivitas kehidupan dengan ucapan takbir “ Allahu Akbar “, agar kita dapat merasakan kehadiran Allah Yang Maha Kuasa dalam setiap sisi kehidupan. Dengan tahmid “ walillahilhamd “, kita menyatakan bahwa tiada kehidupan tanpa rahmat dan nikmat daripada Allah, sebab Allah sebagai “rabbul alamin “. Dengan takbir dan tahmid, kita mengakui bahwa tiada kehidupan yang kita nikmati tanpa rahmat dan karunia daripada Allah, dan dengan takbir kita siap menghadapi segala resiko dan tantangan sebab Allah akan bersama kita dimanapun kita berada, memberikan hidayahNya, pertolonganNya, dan taufiqNya.Tidak ada suatu gerakanpun did unia yang lepas dari kekuasaan Allah, dan bagaimanapun hebatnya otak manusia dan canggihnya teknologi tetap manusia tidak dapat lepas dari kuasa Allah. Allahu akbar walilahilhamd. Setelah kita meyakini bahwa kekuasan Allah yang tak dapat ditandingi walau dengan teknologi secanggih apapun, dan kemustahilan manusia untuk lepas dari rahmat dan nikmat Allah, barulah kita sadar dan insaf bahwa segala kenikmatan yang telah Allah berikan, segala kehidupan ini sepatutnya kita pergunakan hanya dengan tujuan beribadah kepadaNya. “ Laa Na’budu Illa Iyyah “,.Kami tidak menyembah selain kepada Allah, “ Walau karihal kafirun “, walaupun orang kafir, akan membenci kami akan mengatakan kami sebagai kolot, fundamentalis, teroris, dan lain sebagainya hanya disebabkan oleh iman kami, ibadah kami, keyakinan kami . Ini adalah sikap dan identitas seorang muslim. Sudahkah kita selama ini mempergunakan segala kenikmatan hidup kita untuk menyembah dan beribadah kepada Allah. Apakah akal dan ilmu pengatahuan yang telah diberikan kepada kita dipergunakan untuk beribadah kepadaNya, ataumenjadikan kita kafir kepadaNya sebab kita mengagungkan akal sehingga hukum Tuhan dirobah, sebagaimana dilakukan oleh kelompok Islam liberal dan lain sebagainya. Harta kekayaan diberikan agar kita dapat beribadah kepadaNya dengan infaq dan sedekah bukan untuk bersenang-senang memuaskan hawa nafsu di tempat-tempat maksiat. Kekuasaan yang diberikan sepatutnya dipergunakan untuk ibadah, menolong masyarakat, beramal jariyah bukan untuk menindas dan memeras rakyat, dengan melakukan kolusi, korupsi dan lain sebagainya. La Na’budu Illa Iyyah, Ya Tuhan , segala nikmatMu hanya untuk beribadah kepadaMu. Inilah makna daripada “ Labbaikallahumma Labbaik”…Ya Allah kami datang dengan segenap jiwa, harta, pangkat, kuasa, hanya untuk memenuhi panggilanMu, menjalankan perintahMu…”Laabbaika Laa Syariika laka labbaik”, kami beribadah kepadaMu tanpa ada sedikitpun unsur kemusyirikan Ya Allah, kami beribadah dengan niat ikhlas, tanpa riya, tanpa tujuan yang lain. Kami bekerja, membantu , membangun, hanya untukMu, bukan untuk mencari populeritas,mencari nama, tujuan politis agar terpilih menjadi kepala daerah, dan lain sebagainya. “Innal hamda.”.segala nikmat yang Engkau berikan seperti kesehatan, tenaga, tanah, bumi, anak, keluarga, pekerjaan, semuanya datang dariMu dan akan kami pergunakan hanya untuk menyembahmu. “Wannikmata” demikian juga segala kenikmatan seperti kekayaan, gaji, kenderaan, rumah , semuanya berasal dari anugerah dan rahmatMu, bukan karena kehebatanku, bukan karena kepintaranku, bukan karena kecanggihan teknologi, tetapi semua berdasarkan rahmat dan kasih sayangMu. “Wal Mulk “ demikian juga pangkat, jabatan, kedudukan, menjadi lurah, bupati, direktur, walikota, menteri, anggota parlemen , presiden, semuanya adalah anugerahMu kepadaku. Oleh karena itu sebagai hambaMu, maka aku mempergunakan itus emua hanya untuk beribadah kepadaMu, bukan untuk riya, “ La syarika laka “ bukan untuk mencari populeritas, prestise, kesombongan dan lain sebagainya. Pernyataan diri untuk beribadah secara totalitas inilah yang dimaksudkan dalam kalimat “ Mukhlisin lahuddin “, kami menyembah dan beribadah, melakukan segala aktivitas, bekerja, berpolitik, bermasyarakat, berkeluarga, dan seluruh kehidupan kami hanya kami lakukan dengan penuh keikhlasan mencari dan mengharapkan ridha Allah, bukan untuk gengsi, bukan karena mencari pangkat, kedudukan, harta dan populeritas. Inilah sikap tauhid yang menafikan dan menghilangkan segala “ personal interest “, kepentingan diri , kepentingan kelompok , kepentingan dunia, kepentingan hawa nafsu dalam berbuat dan beramal, jika kita inginkan segala perbuatan tersebut akan mendapat predikat ibadah kepada Allah. Mengapa demikian, sebab tidak ada nilai suatu perjuangan dan pengorbanan jika kita masih mendahulukan kepentingan diri dan kelompok daripada kepentingan yang lebih besar, kepentingan kesejahteraan umat manusia . Untuk ini diperlukan pendidikan hati yang bersih, nurani yang jernih, niat yang suci, dan tujuan yang luhur, dalam melakukan setiap aksi dan aktivitas kehidupan. Untuk menghadapi tantangan dan segala macam ujian, godaan dan maka seorang muslim diharapkan hanya meninta pertolongan kepada Allah, tanpa mencemarinya dengan kemusyrikan. Inilah yang dituntut dalam kalimat takbir : “ Shadaqa wa’dah….Dia adalah Tuhan yang pasti akan melaksanakan segala janji Allah…Janji kemenangan bagi mereka yang beriman. Janji pertolongan bagi mereka yang berbuat mencari ridhaNya.. Ini merupakan pembentukan motivasi untuk berani menghadapi segala tantangan dan godaan sebesar apapun dari pihak luar, sebab Allah pasti akan menepati janjiNya. “ Wa nashara ‘abdah .” .pastilah Dia akan menolong hambaNya, jika hambanya berada dalam kesulitan, kesusahan, ataupun dalam ancaman musuh; selama hambaNya telah beriman kepadanya dan benar-benar melaksanakan segala perintahNya. Keyakinan akan pertolongan Allah dalam segala keadaan dalam menghadapi setiap langkah perjuangan menghadapi setiap tantangan ini merupakan kekuatan diri untuk mencapai kemenangan. Dengan keyakinan akan pertolongan Allah maka apapun yang akan menghalangi kita, janganlah gentar dan takut sebab Allah akan menghancurkan mereka “ Wa Hazamal Ahzaaba wahdah “ Dia akan menghancurkan segala potensi lawan jika kita telah melakukan ikhtiar, berusaha, dengan juga bekerja keras dengan mengerahkan segala kemampuan dan kekuatan, potensi dan tenaga, dalam melakuan aktivitas kehidupan. Keyakinan akan kekuatan dari Allah yang akan menghancurkasn segala potensi lawan ini merupakan motiovasi diri yang paling utama untyuk mencapai kemenangan. Inilah makna firman Allah dalam Al Quran “ Sungguh kewajiban kami untuk memberikan kememangan kepada orang yang beriman “ ( QS. Ar Ruum (30 ) : 48 ). Identitas tauhid dengan ucapan takbir, sehingga menjadi manusia yang ikhlas, melakukan sesuatu dengan tujuan mulia, hati yang suci tanpa dicemari oleh kepentingan pribadi, mencari kedudukan, pangkat dan dunia dan diikuti dengan motivasi keyakinan akan pertolongan Allah dalam segala keadaan inilah yang merupakan tongak utama pribadi tauhid, sebagai landasan dasar dalam kehidupan untyuk mencapai kemenangan dan kejayaan dalam aktivitas kehidupan. Bekerja karena Allah, berkeluarga karena Allah, bermasyarakat karena Allah, berorganisasi karena Allah, berpolitik karena Allah. Inilah yang wajib ada dalam pribadi setiap muslim. Inilah yang sekarang telah hilang di tengah masyarakat; sebab banyak umat islam yang sibuk bekerja hanya karena mencari kenikmatan dunia, aktif dalam partai politik karena ingin dapat kursi dan posisi, berniaga karena ingin cepat kaya, berkiprah dan berkarya untuk mencari nama dan populeritas dan lain sebagainya. Jika motivasi tauhid ini telah berganti menjadi motivasi nafsu, motivasi dunia, maka umat islam tidak akan pernah dapat menang sebab sebab dilakukan bukan dengan niat ikhlas, bukan untuk kepentingan umat, tetapi untuk kepentingan diri, hawa nafsu dan kelompok yang mengakibatkan timbulnya persaingan tidak sehat, jegal menjegal, sikut menyikut, fanatik buta, dan lain sebagainya. Inilah sebabnya mengapa umat islam sampai hari ini belum menunjukkan kemenangan dalam segala bidang, dalam ekonomi, pendidikan, sosial kemasyarakat dan politik; sebab motivasi utama adalah prestasi kelompok dan diri bukan berprestasi untuk mendapat ridha Ilahi. Fa’tabiru Ya Ulil albab. ( Muhamad Arifin Ismail )

Monday, February 27, 2012

KHALIFAH : WASIAT ATAU PILIHAN UMAT ?

“ Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu adalah mereka yang paling bertaqwa” ( QS.Hujurat : 13 ).
Dalam kitab sejarah “ Bidayah wan Nihayah “, Ibnu Kasir menyatakan bahwa : “ Sewaktu Sayidina Ali in Abi Thalib dalam keadaan kritis, akibat ditikam oleh Ibnu Muljam, maka kaum muslimin berkata kepada Ali bin Abi Thalib : “ Wahai Amirul Mukminin, lantiklah seseorang sebagai penggantimu “. Beliau menjawab : “ Tidak, aku tidak akan melantik seorangpun sebagi penggantiku, tetapi yang ingin aku lakukan adalah meninggalkan kamu sebagaimana Rasulullah sallahu alihi wasallam meninggalkan kamu tanpa seorangpun yang dilantik sebagai khalifah. Sekirannya Allah menghendaki kebaikan pada diri kamu, niscaya Dia akan menghimpunkan kamu dibawah pimpinan orang yang paling baik diantara kamu semua sebagaimana Dia telah telah menghimpunkan kamu semua dibawah orang yang paling baik diantara kamu setelah wafatnya Rasulullah sallahu alaihi wasallam “. Setelah sayidina Ali menghembuskan nafas yang terakhir, jenazahnya disembahyangkan oleh kaum muslimin dan Hasan bin Ali bertindak sebagai imam shalat tersebut. Setelah urusan jenazah Amirul Mukminin Ali selesai, barulah Qays ibnu Sa’ad ibnu Ubaudah menjumpai Hasan bin Ali dan berkata : “ Ulurkan tanganmu, aku ingin berbai’at kepadamu berdasarkan al Quran dan Sunnah NabiNya”. Hasan, anak sulung kepada Ali terdiam, dan setelah itu berduyun-duyun kaum muslimin melakukan bai’at kepada Hasan bin Ali dan mengangkatnya sebagai penganti Khalifah. ( Ibnu Katsir, Bidayah wan Nihayah , jilid 8, hal. 20 ).
Peristiwa diatas dimana Sayidina Ali bin Abi Thalib tidak mau melantik siapapun sebagai khalifah pengganti beliau, merupakan bukti bahwa sebenarnya dalam pemilihan khalifah tidak ada wasiat khalifah kepada ahli bait Rasulullah sebagaimana yang didakwa oleh kaum syiah. Dalam riwayat tersebut juga terdapat bukti bahwa Rasulullah juga tidak pernah mewasiatkan seseorang untuk menjadi khalifah pengganti beliau setelah beliau wafat, sebagaimana yang didakwa oleh kaum syiah. Sebab jika memang benar ada wasiat kepada Ali bin Abi Thalib, maka tidak mungkin seorang sahabat Nabi apalagi setingkat sayidina Ali akan menyembunyikan wasiat dari Rasulullah, demikian juga tidak ada seorangpun sahabat yang mendengar wasiat tersebut, sebab Nabi telah menjamin bahwa sahabatnya tidak akan sepakat dalam kebatilan, sebagaimana sabda Rasulullah : “ Tidaklah bersepakat umatku di dalam kebatilan “. Terlebih lagi sejarah menyatakan bahwa sewaktu Khalifah dipilih oleh umat Islam untuk menjadi khalifah, maka sayidina Ali ikut berbai’at kepada kekhalifahan Abu Bakar; demikian juga sewaktu Umar bin Khattab dipilih menjadi khalifah, sayidina Ali juga ikut berbai’at. Jika memang nabi telah mewasiatkan siapa pengganti beliau, tidak mungkin Ali bin Abi Thalib dan sahabat-sahabat yang lain setuju dengan pelantikan Abubakar, Umar dan Usman, sebagai khalifah sebelum Ali Bin Abi Thalib.
Sebenarnya isu tentang ketokohan Sayidina Ali bin Abi Thalib sebagai pewaris kekhalifahan tidak terjadi dalam masa kekhalifahan Abubakar dan Umar bin Khttab, sampai kepada masa Usman bin Affan, masuklah seorang rabbi yahudi Abdullah bin Saba memeluk agama Islam. Di dalam ajaran agama yahudi, Yusha’ bin Nun adalah penerima wasiat daripada nabi Musa alaihisalam. Ajaran ini masih membekas dalam pikiran Abdullah bin Saba’ sehingga dia menyebarkan isu bahwa sebenarnya kekhalifahan dalam Islam itu bukan dengan pilihan, tetapi dengan wasiat, sehingga dia mendakwa bahwa orang yang paling berhak untuk menjadi khalifah adalah Ali bin Abi Thalib. Menurut Syahrastani, dalam kitab al Milal wan Nihal menyatakan bahwa : “ Abdullah bin Saba’ adalah orang yang pertama kali mengatakan bahwa adalah imam yang ditetapkan dengan wasiat dan nash. “
Sejarah juga menyatakan bahwa sewaktu Abdullah bin saba masuk Islam dia datang kepada khalifah Usman bin Affan dan meminta agar diberi kedudukan. Khalifah Usman tidak memberikan kepadanya kedudukan sehingga dia mennyebarkan fitnah di tengah masyarakat. Ibnu Kasir dalam kitab Bidayah wan Nihayah menceritakan : “ Sayf bin Umar menceritakan bahwa sebab timbulnya pemberontakan terhadap khalifah Usman adalah seorang lelaki bernama Abdullah bin Saba,seorang yahudi yang masuk Islam berangkat ke Mesir. Disana, dia telah berhasil mempengaruhi sekelompok masyarakat dengan kata-katanya yang dikarangnya sendiri. Dia berkata : “ Rasulullah telah memberikan wasiatnya kepada Ali bin Abi Thalib sedang baginda adalah KhatimunNabiyin (penutup semua nabi ), maka Ali bin Abi thalib adalah Khatimul Ausiya ( penutup orang yang diberi wasiat ). Dengan demikian, kedudukan Ali lebih layak daripada kedudukan Usman bin Afan. Apalagi, kekhalifahan Usman bin Affan telah banyak melakukan kedzaliman dalam roda pemerintahannya yang tidak patut dilakukannya. Oleh sebab itu lakukanlah pengingkaran dan pemberontakan kepadanya “. Ucapan ini banyak mempengaruhi masyarakat Mesir, ditambah lagi dengan adanya beberapa kejadian dimana khalifah Usman menggantikan gubernur Mesir dari Amr bin Ash kepada Abdullah bin Sa’ad, padahal masyarakat Mesir merasakan ketegasan Amr bin Ash terhadap kelompok Khawarij, sedangkan Abdullah bin Sa’ad tidak bersikap tegas terhadap mereka.
Abdullah bin Saba begitu mengagungkan Ali bin Abi Thalib, sehingga sewaktu Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah, maka Abdullah bin Saba pernah berkata kepada Ali : “ Wahai Ali, engkaulah adalah Tuhan “. Akibat bucapan ini Abdullah bin Saba diasingkan oleh Ali bin Abi thalib ke kampong Mada’in. Setelah meninggal Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Saba berkata : Ali tidak meninggal, karena pada dirinya terdapat unsure ketuhanan yang tidak mungkin musnah. Karena itu Ali berada di atas awan, petir sebagai suaranya, kilat sebagai senyumannya, dan dia akan turun kembali ke dunia pada saat dunia dilanda oleh kejahatan dan ketidakadilan “. ( Syahrastani, Milal wan Nihal, hal.153) Setelah Ali bin Abi Thalib meninggal dunia , maka Abdullah bin Saba menyebarluaskan ajaran dan pemahamannya tersebut, sehingga sebagaian masyarakat terpengaruh dengan ajarannya tersebut.
Ajaran Abdullah bin saba” tersebut pada awalnya dikenal dengan ajaran Saba’iyah, sedangkan nama Syi’ah adalah nama kelompok pendukung Ali bin Abi Thalib, sebab makna syi’ah dalam bahasan adalah kelompok, sehingga pendukung Ali bin Abi Thalib dalam peperangan melawan Muawiyah dinamakan Syi’ah Ali. Kelompok pendukung Ali ini adalah gholongan sahabat dan tabi’in dari kelompok pemahaman islam yang benar, sebagaimana pemahaman ahlussunah waljamaah dan bukan dari kelompok Saba’iyah, yang mengagungkan Ali. Syiah pada zaman Ali tidak pernah mengangungkan Ali, apalagi mengatakan Ali sebagai Tuhan atau penerima wasiat. Tetapi dengan perjalanan waktu yang panjang, maka akhiurnya banyak orang yang menyangka bahwa ajaran Sabaiyah itulah ajaran Syiah, sehingga ajaran tersebut terus berkembang menjadi Imamiyah Isna Asy’ariyah yang mengakui adanya dua belas imam dua belas,dan kelompok Ismailiyah yang tidak mengakui dua belas imam, tetapi berhenti pada imam yang ke- yaitu Ismail bin Ja’far, dan lain sebagainya. Diantara kelompok syiah sebenarnya masih ada yang hanya mengakui kelebihan Ali bin Abi Thalib, tetapi tidak mengagungkan Ali seperti syiah zaidiyah, hanya saja ajaran ini tidak berkembang sehebat ajaran Imamiyah Isna Asyariyah dan Ismailiyah.
Islam bukan agama ta’asub apalagi agama warisan, sebab Nabi Muhammad sendiri tidak mewasiatkan seseorang , tetapi hanya meninggalkan al Quran dan Sunnahnya. Siapa saja yang mengikuti al Quran dan Sunnah, maka itulah yang benar, bukan mengikuti seseorang baik itu dari keluarga nabi, keturunan nabi, dan lain sebagainya. Ukuran keislaman seseorang adalah ketaqwaan bukan keturunan, kelompok, bangsa, dan lain sebagainya. Sebab itu dalam alQuran dinyatakan : “ Sesungguhnya yang paling mulia daripada kamu adalah orang yang paling bertaqwa “ ( QS.Hujurat : 13 ). Dalam hadis juga Rasulullah telah menyatakan : “ Tidak ada keutamaan bagi orang arab atau orang ajam (bukan arab ) kecuali dengan taqwa “ . Fa’tabiru ya Ulil albab.

KEABSAHAN KEKHALIFAHAN ABU BAKAR

Perbedaan yangutama antara keyakinan kelompok Ahlussunnah wal Jamaah ( sunni ) dengan kelompok Syiah adalah masalah Imam. Bagi Syiah Imam itu tidak berdosa ( maksum ) dan merupakan pewaris risalah agama, yang berhak menggantikan nabi Muhammad setelah beliau meninggal dunia. Menurut Syiah Imamiyah ( syiah yang berkembang pada saat ini ), setelah nabi Muhammad meninggal dunia, maka risalah agama, dan pemerintahan dipegang oleh keluarga nabi yang dua belas dari (1)Ali bin Abi Thalib, (2) Hasan bin Ali- (3) Husen bin Ali (4)Ali Zainal Abidin bin Husen (5) Muhammad Baqir bin Ali Zainal Abidin (6) Ja’far Shadiq bin Muhamad Baqir (7) Musa al Kazim bin Ja’far Shadiq, (8) Hasan Ridha bin Musa Kadzim (9) Muhammad Jawab bin Hasan Ridha (10) Ali al Hadi bin Muhammad Jawad (11) Hasan al Askari bin Ali alHadi (12 ) Muhammad Mahdi alMuztadzar ( hilang pada tahun 260 Masehi dan diyakini akan muncul kembali pada akhir zaman nanti ). Inilah nama-nama yang berhak menjadi Imam menurut Syiah Imamiyah atau disebut juga dengan syiah Istna Asyariya (syiah dua belas ) hsebab meyakini dua belas imam. Oleh sebab itu mereka menganggap Khalifah Abubakar as Shiddiq dan Khalifah Umar bin Khattab adalah dzalim, karena telah merampas kekuasaan setelah meninggal nabi Muhammad saw. Padahal dalam kitab sejarah al Bidayah wan Nihayah saja tertulis bahwa Sayidina Ali bin Abi Thalib mengakui kekkhalifahan Abubakar shiddiq.
Dalam riwayat yang disampaikan oleh Said al Khudri menyatakan bahwa : “Setelah Rasulullah saw wafat, kaum muslimin berhimpun di rumah Sa’ad ibnu Ubaidah. Juru bicara kaum Anshar berkata : Bukankah kamu mengetahui semua bahwa orang anshar adalah penolong Rasulullah. Oleh karena itu, kamu juga adalah penolong khalifah (pengganti ) Rasululah. Sebagaimana kamu pernah menjadi penolong Rasulullah. “. Umar bin Khatab berdiri dan berkata : Benar apa yang dikatakan oleh wakil kamu tadi, setelah itu Umar bin Khatab memegang tangan Abubakar dan berkata : Inilah yang paling layak dipilih sebagai penganti (khalifah ), maka berbai’atlah kepadanya. “. Umar merupakan orang yang pertama berbaiat (janji setia), kemudian diikuti oleh seluruh sahabat yang hadir baik dari kaum muhajirin dan Anshar. Abubakar segera naik ke mimbar dan melihat kepada semua yang hadir, maka dia merasa bahwa Zubair tidak terlihat. Maka beliau menyuruh memanggil Zubair datang dan berfkata kepadanya: Wahai anak paman Rasulullah apakah engkau hendak mengingkari keputusan kaum muslimin ? Zubair menjawab : Tidak demikian wahai Khalifah, dia terus berdiri dan berbaiat”. Abubakar melihat lagi kesekeliling dan tidak terlihat Ali bin Abi Thalib, maka Ali segera dipanggil datang., dan tak lama Ali bin Abu Thalib datang dan berbaiat dengan Abubakar. Kemudian Abubakar berkata : “ Demi Allah aku tidak pernah cenderung dan berminat kepada soal kekuasaan baik siang maupun malam “. Aku tidak pernah memohon (mendambakan ) kekuasaan kepada Allah sama ada dengan diam-diam atau terang-terangan.Mendengar ucapan itu kaum muslimin semua setuju. Malahan Ali bin Abu Thalib dan zubair yang terlambat datang berkata : “ Kami minta maaf karena kami tidak dapat menghadiri majelis yang penting ini. Keterlambatan kami bukan kami sengaja. Kami berpendapat bahwa Abu Bakar merupakan orang yang paling layak untuk memegang tampuk pemerintahan ini. Hal ini disebabkan beberapa perkara yaitu beliau pernah menjadi teman Rasulullah saw semasa mereka berdua bersembunyi di dalam Gua Tsur (sewaktu dlaam perjalanan hijrah dari makkah ke madinah ). Kami sangat mengetahui tentang kebaikan kemuliaan dirinyan dan keluhuran budinya. Rasulullah saw juga pernah menjadikan dia sebagai pengganti imam shalat berjamaah sewaktu Rasulullah padahal rasulullah pada waktu itu masih hidup “.
Ada juga riwayat lain yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib berbaiat kepada Abu bakar setelah enam bulan kemudian. Padahal sejarah telah mencatat bahwa Ali telah berbaiat kepada Abubakar bersamaan dengan baiat kaum muslimin, hanya saja Ali datang terlambat. Jika ada riwayat yang menyatakan bahwa Ali berbaiat kepada Abu bakar setelah enam bulan kemudian, itu adalah untuk menghilangkan keraguan umat, disebabkan adanya [perselisihan antara Abubakar dengan Fatimah putrid Rasulullah. Setelah Rasul meninggal, Fatimah datang kepada Abubakar untuk meminta bagian daripada harta warisan Rasulullah. Khalifah Abubakar sebagai pemimpin, menyatakan bahwa dia dan seluruh sahabat mendengatr ada hadis nabi yang menyatakan bahwa keluarga Raululah tidak dapat menerima warisan. Abubakar berkata :bahwa Rasulullah perbah bersabda : “ Kami para nabi tidak meninggalkan harta warisan. Segala yang kami tinggalkan diperuntukkan sebagai sedekah “. Kemudian Abubakar berkata : Saya akan menaggung siapa saja dahulu yang ditanggung oleh Rasulullah (maksudnya biaya kehidupan nabi akan ditanggung oleh khalifah ) Maka jika aku memberikan warisan, aku khawatir nanti termasuk orang yang sesat, sebab telah meninggalkan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah”. Oleh sebab itu Abubakar tidak memberikan warisan tersebut kepada keluarga Rasulullah, tetapi dimasukkan ke dalam Baitul Mal. Pernyataan Abubakar tersebut membuat Fatimah agak bersedih, tetapi kejadian ini menunjukkan bagaimana ujian bagi seorang khalifah dalam menegakkan keadilan, walaupun kepada keluarga Rasulullah, sebab Khalifah Abubakar akan memutuskan hukum sesuai dengan amanah dari Rasulullah.
Kejadian tersebut memicu isu di masyarakat bahwa keluarga Ali dan Fatimah tidak setuju dengan pemerintahan Abubakar, padahal seebnarnya tidak terjadi apa yang disangkakan. Malahan pada waktu Fatimah sakit, maka Abubakar datang melawat Fatimah dan berkata : “ Demi Allah, aku tidak meningalkan rumah, harta serta kaum keluargaku semata-mata untuk mencapai keredhaan Allah, keredhaan RasulNya dan keredhaan ahli keluarga Rasulullah saw “. Setelah mendengar itu Fatimah memaafkan Abubakar dan merasa gembira dengan kedatangannya. Hal ini diriwayatkan oleh Baihaqi. Malahan sejarah mencatat bahwa Fatimah mewasiatkan agar setelah kematiannya nanti, maka dia ingin agar yang memandikan mayatnya adalah Asma binti Uways, (istri khalifah Abubakar ).
Riwayat mengatakan bahwa Ali Bin Abi Thalib setelah kepergian Fatimah, kembali berbaiat kepada Khalifah Abubakar. Hal ini dilakukan untuk menghapuskan sangkaan dan isu di tengah masyarakat yang disebabkan persoalan harta warisan keluarga nabi tersebut. Dengan kedatangan Abubakar ke rumah Fatimah, dan istri Abubakar memandikan mayat Fatimah, serta baiat Ali bin Abi Thalib yang kedua kalinya merupakan bukti bahwa Sayidina Ali bin Abi Thalib mengakui kekhalifahan Abubakar dan bukan merupakan taqiyah sebagaimana yang disebutkan oleh orang syiah Imamiyah.
Dari catatan sejarah diatas dapat dilihat bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib sejak dari awal sudah setuju dengan pemerintahan Abubakar Shiddiq, sebab memang semua sahabat telah sepakah bahwa kepribadian, akhlak dan jasa Abubakar dalam Islam lebih utama daripada sahabat-sahabat yang lain, terlebih lagi umur Abubakar merupakan lebih tua dari umur sahabat-sahabat nabi yang lain, sebab Abubakar dan rasulullah hanya berselisih umur dalam 2 tahun saja. Hanya saja, setelah beberapa tahun kemudian sebab timbulnya peperangan antara Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib, sehingga muncul kelompok penyokong Ali ( syiah Ali ) dan penyokong Muawiyah. Syiah makna asal dalam bahasa arab adalah penyokong. Pada awalnya pengikut Ali hanya menyokong Ali dalam politik dan pembelaan, tetapi lama-kelamaan sokongan terhadap Ali bin Abi Thalib berubah menjadi pemahaman agama dan ajaran yang mendakwa Ali bin Abi Thalib yang patut menjadi imam dan khalifah, sedangkan ketiga khalifah yang lain adalah dianggap sebagai orang yang merampas kekuasaan tersebut. Pemahaman ini adalah pemahaman yang datang dalam kuruin masa akhir dan didakwa dibuat oleh oknum yahudi yang masuk Islam dengan nama Abdullah bin Saba’. Dari saat ini kita lihat adanya perbedaan antara pengikut Syiah (pengikut ) Ali bin Abi Thalib yang sebenarnya tetap dalam keyakinan yang sama dengan Ahlussunnah waljamah dan semua sahabat yang lain, dan keyakinan kelompok Syiah yang telah direkayasa menjadi ajaran yang fanatic kepada Ali dan membenci sahabat yang lain. Tapi disayangkan banyak umat islam menyangka bahwa keyakinan dan pahaman Islam Syiah(pengikut ) Ali bin Abi Thalib adalah sama seperti keyakinan kelompok Syiah Imamiyah sekarang ini, sehingga banyak yang mengatakan Syiah itu sama dengan kita, padahal kenyataannya ajaran mereka berbeda dengan akidah dan ajaran Ahlussunnah waljamaah, yang berasal dari Rasulullah, Sahabat , tabiin, Salafussaleh, dan sampai sekarang kepada kita semua. Fa’tabiru Ya Ulil albab.

Friday, February 3, 2012

Tanda Cinta Rasul

Cinta kepada Rasul merupakan syarat keimanan seorang muslim. Oleh sebab itu dakam hadis yang disampaikan oleh Anas bahwa Rasulullah saw bersabda : “ Seseorang diantara kamu tidak menjadi orang yang beriman sampai dia itu lebih sayang kepadaku daripada sayangnya kepada anak-anaknya, ayahnya, dan dari semua orang lain “ ( riwayat Bukhari, Muslim dan Nasai ). Malahan dalam hadis yang lain dinyatakan bahwa cinta rasul cara untuk mendapatkan kemanisan iman. Anas menceritakan bahwa Rasulullah saw bersabda : Ada tiga hal yang menyebabkan setiap orang mencari perlindungan kepadanya akan merasakan manisnya iman, yaitu (1) bila Allah dan rasulNya lebih dicintainya daripada apapun juga, (2) bila dia mencintai sesuatu hanya karena Allah,(3) bila dia tidak menyukai kekafiran sebagaimana dia tidak ingin dilem[arkan ke dalam api neraka “ ( riwayat Bukhari Muslim ).
Pada suatu hari Umar bin Khattab berkata kepada Nabi : “ Aku mencintaimu lebih dari segalanya, kecuali jiwaku sendiri “. Nabi menjawab : Tidak seorangpun diantara kamu yang beriman, sehingga aku lebih dicintainya daripada jiwanya sendiri “. Umar segera menjawab : “ Demi Dzat yang menurunkan kitab suci alQuran ini kepadamu, aku mencintaimu melebihi cintaku kepada diriku sendiri “. Rasul menjawab : Wahai Umar, sekarang kamu telah mendapatkannya “. ( Bukhari ). Malahan menurut Anas, pernah seorang lelaki datang kepada Nabi dan bertanya : Ya Rasulullah, kapankah hari kiamat ? Nabi menjawab : Apakah yang telah kamu persiapkan untuk itu ? Orang itu menjawab : Aku belum mempersiapkan diri dengan banyak shalat, atau amal sedekah, tetapi aku telah mencintai Allah dan rasulNya “. Nabi bersabda : “ Engkau akan bersama-sama orang yang engkau cintai “.( Bukhari ).
Cinta berarti selalu merindukan orang yang dicintai. Oleh sebab itu dalam sebuah riwayat –menurut ibnu Ishaq -disebutkan bahwa ada seorang perempuan yang telah kehilangan ayahnya, saudara laki-lakinya, dan suaminya yang syahid dalam perang uhud. Sewaktu berita kesyahidan keluarganya disampaikan orang kepadanya, maka perempuan bukan sedih dengan kematian keluarganya tersebut, malahan bertanya : Apa yang terjadi dengan Rasulullah ? Semoga Allah memberkatinya dan melimpahkan kedamaian kepadanya “. Si penyampai berita berkata : “ Alhamdulilah, Nabi dalam keadaan baik “. Perempuan itu belum yakin dengan jawaban orang tersebut, dan berkata : “ Tunjukkan dia ( rasulullah ) kepadaku hingga aku dapat melihatnya “. Ketika wanita itu melihat Rasulullah, dia berkata : “ Semua penderitaanku tidak ada artinya lagi sekarang ini, sebab engkau telah selamat Ya Rasulullah “.
Pada waktu sahabat Bilal bin rabah akan meninggal dunia, maka istrinya berkata : “ Betapa sedihnya perasaanku “. Mendengar itu Bilal berkata kepada istrinya : “ Alangkah bahagianya aku, sebab sebentar lagi aku akan menjumpai orang yang paling aku cintai, yaitu rasulullah dan sahabat-sahabat yang telah mendahuluiku “. Itulah ungkapan Bilal menggambarkan bagaimana cintanya kepada Rasulullah.
Bagaimanakah tanda cinta kepada Rasulullah ? Qadhi Iyadh dalam kitab “ assyifa “ mnegatakan bahwa tanda-tanda cinta Rasul ada enam :
Pertama, orang yang cinta Rasul akan berusaha mengikuti akhlak Nabi, mengikuti sunnahnya, melaksanakan perintahnya, dan mengcegah diri dari larangannya. Dalam AlQuran telah disebutkan tentang cinta dan ketaatan : “ Katakanlah, bila engkau mencintai Allah, maka taatlah kepadaku niscaya Allah akan menyayangimu “. ( QS. Ali Imran : 31 ).
Cinta Rasul berarti dengan mengikuti sunahnya. Dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa rasulullah berkata kepada Anas bin Malik : Wahai anakku, bila engkau sanggup melepaskan dendam di hatimu terhadap siapapun juga pada pagi hari dan malam hari, maka lakukanlah “. Kemudian Rasullulah menambahkan : “ Wahai anakku, itu ( tidak dendam kepada siapapun ) adalah sunnahku. Barangsiapa yang menghidupkan sunnahku maka dia sungguh telah mencintaiku, dan barangsiapa yang mencintaiku, maka dia akan bersamaku di dalam syurga “. ( riwayat Tirmidzi ). Dari hadis ini terlihat, sunnah nabi bukan terbatas kepada pakaian, janggut, serban dan jubah, tetapi lebih kepada akhlak, sebagaimana nabi nyatakan dalam hadis ini bahwa tidak dendam kepada siapapun adalah sunahku.
Kedua, tanda cinta Rasul adalah lebih menyukai segala hukum-hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah daripada peraturan, hukum yang dibuat oleh hawa nafsu dan keinginan sendiri. Dalam al Quran dinyatakan bahwa : “ Bagi orang beriman baik itu laki-laki maupun perempuan jika Allah dan rasulNya telah menetapkan sesuatu bagi urusan mereka, maka mereka tidak boleh mencari pilihan yang lain selain yang telah ditetapkan tersebut “ ( QS.Ahzab : 36 ). Malah mereka harus lebih mencintai apa yang disampaikan nabi itu daripada keinginan dirinya sendiri, sebagaimana kaum Anshar lebih mencintai nabi dan muhajirin daripada diri mereka sendiri ( lihat QS AlHasyr : 9 ).
Ketiga, tanda cinta kepada Rasul adalah dengan selalu mengingat dan menyebut-nyebut namanya. Hasan bin Ali menceritakan bahwa Rasulullah bersabda : “ Dimanapun kamu berada, maka bershalawatlah kamu kepadaku, karena sesungguhnya shalawat kamu itu akan disampaikan kepadaku “ ( Ibnu Abi Syaibah dan Nasai ). “ Barangsiapa melupakan shalawat kepadaku baka dia telah melupakan jalan menuju syurga “ ( Baihaqi ). “Orang bakhil adalah orang yang tidak mengucapkan shalawat kepada Nabi ketika mendengar namaku disebutkan kepadanya “ ( riwayat Tirmidzi, baihaqi dan Nasai ).
Keempat, tanda cinta kepada nabi adalah memuliakannya dengan ketundukan hati untuk melaksanakan segala perintahnya dan merasakan kerendahan diri walaupun ketika mendengar namanya. Sejarawan Islam Ishaq menceritakan : Kapan saja sahabat mendengar nama nabi disebutkan setelah beliau wafat, maka mereka merasakan kerendahan diri, sehingga badan mereka gemetar “. Hal ini terjadi sebabsetiap disebut nama nabi, maka mereka mengingat segala perintahnya dan larangannya, serta sunnah-sunnah dan akhlaknya, dan mereka merasa takut dan gemetar dengan kelemahan yang ada pada diri mereka.
Kelima, tanda cinta kepada nabi adalah kecintaan kepada alQuran , sebagaimana dinyatakan oleh Sahal ibnu Abdilah : “ Tanda cinta kepada Allah adalah mencintai al Quran. Tanda cinta kepada al Quran adalah cinta kepada Rasulullah. Tanda cinta kepada Rasulullah, adalah mencintai sunah-sunahnya. Tanda mencintai sunnah-sunnahnya adalah mencintai kehidupan akhirat. Tanda mencintai kehidupan akhirat adalah kebencian ( tidak tergoda ) oleh kehidupan dunia. Tanda benci dunia adalah engkau tidak menyimpannya kecuali untuk bekal hidup di dunia sehingga engkau datang dengan selamat dalam kehidupan akhirat “ .
Keenam, cinta kepada Nabi adalah cinta kepada keluarga nabi, dan sahabat-sahabatnya. Nabi bersabda : barang siapa mencintai mereka (Hasan dan Husein, cucu nabi ), sesungguhnya telah mencintai aku “ ( Bukhari ). Dalam hadis yang lain rasulullah bersabda : “ Tanda iman yang sesungguhnya adalah mencintai sahabat-sahabat Anshar sedang tanda kemunafikan adalah kebencian terhadap mereka “ ( riwayat Bukhari Muslim ).
Ketujuh, tanda cinta kepada nabi adalah mencintai pengikutnya dan membela serta membantu perjuangan mereka sebagaimana dinyatakan dalam al Quran bahwa : “ nabi sangat sayang kepada orang yang beriman “ ( Qs. Taubah : 128 ).
Kedelapan, tanda cinta kepada nabi adalah dengan membenci orang yang dibenci oleh Allah dan rasulNya sebagaimana dinyatakan dalam alQuran : “ Kamu tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah da RasulNya “ ( QS alMujadilah : 22 ).
Demikianlah tanda-tanda cinta kepada Rasul, semoga kita dalam bulan Rabiul awal ini dapat melihat berapakal volume kecintaak kita kepadanya. Fa’tabiru ya Ulil albab.(Muhamad Arifin Ismail, Jumat 3 Februari 2012 )