Pages

Monday, March 6, 2017

SUNNATULLAH  PERBEDAAN DAN KEWAJIBAN PERSATUAN 

Orang yang ingin menyatukan kaum muslimin dalam satu pendapat tentang hukum-hukum ibadah, muamalah, dan cabang-cabang agama lainnya, hendaknya mengetahui dan menyadari bahwa sebenarnya mereka menginginkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi…upaya seperti ini hanyalah menunjukkan kejahilan mereka sendir karena perbedaan dalam memahami hukum-hakam syariat yang tidak bersifat asas itu merupakan kemestian dan tidak dapat dihindari ( Yusuf Qardhawi, fiqh perbedaan, hal. 69 ). Malahan usaha untuk menyatukan seluruh kaum muslimin dalam masalah khilafyah fiqih dan hukum hakam agama yang bukan bersifat asas sebab perbedaan tersebut perbedaan ulama  dalam masalah khilafiyah itu  dapat menambah perpecahan sebab semua pendapat ulama dalam perbedaan tersebut memiliki rujukan keilmuan dengan nash-nash baik dari al Quran, al Hadis. Perbedaan itu juga merupakan tabiat agama, tabiat bahasa arab, tabiat manusia dan tabiat alam.

Tabiat agama.

Tabiat agama maksudnya adalah bahwa dalam memahami nash-nash agama ada hukum yang dapat dipahami secara nyata dan langsung dari ayat-ayat yang dapat dipahami secara jelas (ayat-ayat muhkamat ), da nada juga hukum yang dipahami dari nash ayat-ayat yang harus dipahami melalui penafsiran ( ayat-ayat mutasyabihat ). Dalam ayat-ayat mutasyabihat, ulama akan berbeda pendapat dengan mencari korelasi dengan ayat yang lan, mencari makna yang terbaik dari berbagai makna, mencari korelasi dengan hadis-hadis yang berkaitan,sehingga menimbulkan banyak perbedaan dalam mengambil kesimpulan hukum dari ayat tersebut.

Kadangkala dalam suatu permasalahan khilafiyah, seperti letak tangan dalam shalat atau dalam masalah yang sunat lainnya, akan terdapat bilangan hadis yang banyak, sehingga ulama akan berbeda dalam mengambil salah satu hadis tersebut, sehingga jika seorang ulama mengambil satu hadis maka dia tidak akan mengatakan bahwa hadis yang diambilnya itu saja yang dilakukan oleh Rasulullah, sebab Rasulullah juga melakukan hal yang berbeda berdasarkan hadis yang lain. Oleh sebab itu ulama dahulu, seperti Imam Syafii, sewaktu dia mengambil satu hadis untuk dijadikan dalil atas pendapat dan mazhabnya, dia tidak berani mengatakan pendapat itu dengan “ menurut sunnah”, sebab masih ada hadis lain yang tidak menjadi rujukan, sehingga setiap imam mazhab hanya mengatakan ini pendapat mazhabku, dalam arti ini adalah pendapatku berdasarkan hadis yang aku pilih dalam perkara tertentu, sedangkan disana ada hadis lain yang menjadi dalil bagi imam mazhab yang lain. Jika dia memilih satu hadis yang menjadi rujukan dan mengatakan bahwa “inilah cara sunnah “, maka kalimat itu seakan-akan mengatakan bahwa pendapat yang lain itu tidak mengikuti sunah, padahal pendapat yan lain juga memiliki rujukan dari hadis dan sunnah nabi.

Sahabat Nabi, Ibnu Mas’ud menyatakan bahwa dia mendengar seorang sahabat membaca ayat-ayat al Quran dengan bacaan (qiraat ) yang berbeda dengan bacaan yang pernah dia dengar dari Nabi, sehingga dia mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah, setelah itu aku melihat kebencian di wajah nabi seraya nabi bersabda : “ Kedua bacaan itu adalah baik, janganlah kamu berselisih tentang hal tersebut “. ( Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam bab, Tafsir dan keutamaannya )

Tabiat Bahasa

Rujukan agama adalah al Quran dan Hadis yang tertulis alam bahasa Arab. Setiap bahasa memiliki tabiat bahasa , kaedah bahasa, makna bahasa, makna susunan ayat, dan lain sebagainya. Dalam bahasa Arab terdapat kata-kata yang memiliki makna yang banyak ( musytarak ), disamping kata yang memiliki makna tunggal. Dalam makna juga terdapat makna yang langsung, ada juga makna kiasan ( majaz ), makna yang tersurat ( dalalah mutabaqah ) dan makna yang tersirat ( dalalah tadhamun ). Ada lafadz yang bersifat am da nada yang bersifat khas, sehingga perbedaan ulama dalam melihat kata-kata tersebut menimbulkan perbedaan pendapat.

Sebagai contoh, dalam hukum bersuci ( taharah ) yang diambil dari ayat 6 surah al Maidah : “ Hai orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah wajah kamu, dan tangan kamu sampai ke siku tangan, dan basuhlah kepala kamu dan kaki kamu sampai kepada buku lali “( Surah al Maidah : 6 ). Dalam ayat sapulah kepala kamu terdapat kata-kata “ bi ru’uusikum “, yang bermakna “dengan kepala kamu”. Dari adanya kata-kata “ bi “ ( dengan ) , ulama berbeda pendapat apakah menyapu kepala itu sebagian kepala atau semua kepala, atau sekedar kata-kata tambahan yang tidak memiliki makna apapun juga. Sebab jika semua kepala, mengapa Allah tidak menyatakan dengan “ wam sahuu ru’uusakan “ ( sapulah kepala kamu ), sebagaimana kata-kata yang lain “ faghsilu wujuhakakum “ ( basuhlah wajah kamu ).  Perbedaan tersebut dikuatkan lagi dengan adanya berbagai hadis nabi yang menyapu dengan sebagian kepala dan juga ada hadis nabi yang menyapu seluruh kepala. Sehingga perbedaan pendapat apakah sebagian kepala atau seluruh kepala merupakan perbedaan pendapat yang tidak dapat dielakkan. Ulama bersepakat tentang kewajiban menyapu kepala, tetapi berbeda dalam batas yang disapu dari kepala tersebut. Kewajiban menyapu kepala adalah asas sedangkan batasan menyapu antara seluruh atau sebagian adalah masalah khilafiyah, yang berbeda dengan dalil masing-masing.

Tabiat manusia

Setiap manusia memiliki sifat dan tabiat yang berbeda dengan yang lan, seperti sikap keras dan sikap lembut, berbeda dalam kecintaan dan kecenderungan terhadap sesuatu, berbeda dalam cara pandang, sehingga hal tersbeut berakibat berbeda dalam mengambil keputusan dalam sesuatu perkara. Sejarah mencatat bahwa sahabat nabi, pribadi Abubakar Siddiq yang kasih sayang dan penuh kelembutan berbeda dengan pribadi Umar bin Khatab yang etegas dan berani. Sebagai contoh dalam menghadapi tawanan perang Badar dimana menurut Umar bin Khtab tawanan tersebut dibunuh sajaha, sedangkan menurut Abubakar, tawanan itu dimaafkan dengan memberikan tebusan. Demikian juga perbedaan antara Ibnu Umar dengan Ibnu Abbas dalam beebrapa perkara. Ibnu Umar selalu membasuh bagian dalam kedua matanya dalam berwudhu, sedangkan Ibnu Abbas tidak berpendapat demikian. Ibnu Umar berpendapat berhenti di Mishab ( nama sebuah tempat ) termasuk sunat dalam ibadah haji, sedang Ibnu Abbas berpendapat itu tidak sunat, sebab berhentinya nabi di tempat itu bukan termasuk amalan ibadah yang disyariatkan.

Rahmat di balik perpedaan pahaman agama

Perbedaan dalam pehaman agama dalam hal yang bukan asas dan pada perkara yang dibolehkan berbeda, merupakan rahmat bagi umat, sehingga umat dapat memilih, sebab  dengan perbedaan pendapat tersebut memudahkan umat dalam menjalankan agama. Dalam agama, ada perkara yang telah ditentukan kewajibannya, sehingga menjadi wajib, ada perkara yang telah ditentukan larangannya sehingga menjadi haram. Disamping itu ada perkara yang dianjurkan untuk dilakukan, yaitu perkara yang sunat, da nada perkara yang dianjurkan untuk tidak dilakukan, yaitu perkara makruh. Setelah itu ada perkara yang tidak diwajibkan, juga tidak dilarang, juga tidak dianjurkan dilakukan atau tidak dilakukan, itu adalah perkara harus atau mubah,yaitu perkara yang tidak ditentukan sama sekali. Hal ini dinyatakan dalam hadis : “ Sesungguhnya Allah Taala telah membuat ketentuan ketentuan ( hudud ), maka janganlah kamu melanggarnya. Allah Taala juga telah menetapkan kewajiban-kewajiban, maka jangan kamu mengabaikannya. Allah juga telah mengharamkan beberapa perkara, maka jangan kamu melanggarnya, dan Allah juga telah mendiamkan banyak perkara sebagai rahmat bagi kamu, bukan karena lupa, dan janganlah kamu mencari-carinya ” ( Hadis diriwayatkan oleh Daruqtni, dengan kedudukan hadis hasan ).

Dalam hadis yang lain, disampaikan oleh Abu darda’ dinyatakan : Apa yang Allah telah halalkan dalam kitabnya maka itu menjadi halal, dan apa yang Allah haramkan dalm kitabnya, itu juga menjadi haram, dan apa yang Allah diamkan ( tidak diharamkan dan tidak diwajibkan ) itu merupakan kemurahan Allah, maka terimalah kemurahanNya tersebut. Sesungguhnya Allah tidak pernah lupa akan sesuatu, kemudian nabi membaca ayat “ dan tidaklah Tuhanmu itu lupa “ ( Surah Maryam /16 : 64 ) Perkara yang didiamkan ( tidak diwajibkan dan juga tidak dilarang dan tidak ada dalam nash )  berarti membuka peluang ijtihad bagi ulama untuk mengambil hukumnya, apakah dengan jalan ijtihad melalui ijma ( kesepakatan sahabat ), atau dengan jalan qiyas ( analogy ), atau memakai jalan istihsan ( mencari sesuatu yang lebih baik ), atau dengan jalan istislah ( sesuatu yang lebih sesuai ) atau dengan memakai jalan “urf “ ( kebiasaan dalam masyarakat ).

Sewaktu Rasulullah akan mengutus sahabat Muadz bin Jabaluntuk menjadi gubernur negeri Yaman, maka Rasulullah bertanya : “ Wahai Muadz, dengan apa engkau menghukum sesuatu ? Muadz menjawab : Dengan Kitabullah “. Rasul bertanya lagi : Jika engkau tidak mendapatkan perkara tersbeut di dalam Kitabullah, maka dengan apa engau mengambil keputusan ? “ Muadz menjawab : “ Dengan Sunnah Rasulullah “. Kemduian rasulullah bertanya lagi : “ Jika perkara tersebut tidak engkau dapatkan di dalam kitabullah dan sunnah rasulNya, maka dengan apa engkau memutuskan ? “,. Muadz menjawab : “ berijtihad dengan akal pikiranku “. ( riwayat Tirmidzi ). Hadis ini menjadi dalil bagi ulama bahwa dalam akal pikiran dapat dipakai dalam mengambil keputusan hukum, hanya saja akal pikiran yang dipakai bukan semua pendapat dan pikiran tetapi akal pikiran yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam Kitabullah dan Sunah rasul, sebagaimana disebutkan dalam syarat-syarat pengambilan hukum melalui ijtihad dan qiyas.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata : “ Saya tidak suka jika para sahabat itu tidak berbeda pendapat, sebab seandainya mereka tidak berbeda pendapat niscaya tidak aka nada keringanan bagi kita hari ini untuk menjalankan agama “. ( riwayat Baihaqi ).
Syeikh Mar’I al Hanbali dalam kitab Tanwiru Masyairil Muqallidin berkata : “ Sesungguhnya perbedaan madzhab dalam agama ini merupakan rahmat dan keutamaan yang besar. Rahasia ini hanya diketahui oleh orang yang alim, dan tidak dapat diketahui oleh orang yang jahil. Perbedaan pendapat merupakan kekhususan umat Islam dan keluasan dalam syariat yang mudah ini “.

Mengikut Mazhab dan Sunnah

Pada awal perkembangan hukum Islam, tidak ada mazhab, sebab semua merujuk kepada Nabi Muhammad saw, dan setelah meninggal Rasul, sahabat menjadi rujukan hukum sebab mereka yang paling mengetahui ucapan, dan perbuatan Rasulullah. Pada masa khalifah Umar bin Khattab, dengan bertambah luasnya daerah kekuasaan Islam, maka banyak sahabat dari madinah berpindah ke Bandar-bandar kawaan Islam seperti Mesir, Syam, Kufah, Baghdad, Yaman, dan lain sebagainya. Di kawasan tersebut, sahabat nabi mengajarkan agama Islam dan hukum-hakam, dan mereka menjadi tempat rujukan masyarakat disekitarnya. Masyarakat disekitarnya belajar dari sahabat-sahabat tersebut dan mengambil bacaan al Quran, dan Hadis tersebut dari mereka. Pengikut dan murid dari sahabat itu dinamakan Tabi’in, dan murd dari Tabiin dinamakan Tabiut Tabiin. Pemahaman agama yang berkatan dengan hukum fiqah ini menjadi pegangan bagi masyarakat di Kufah, Madinah, Yaman, Mesir dan lain sebagainya. Tidak semua sahabat akan mendengar hadis yang sama, dalam satu perkara, sehingga kadag kala hadis yang disampakan oleh sahabat di masyarakat  Mesir, tidak sama dengan ajaran dari saabat yang tinggal Madinah, walaupun kedua pendapat tersebut adalah benar, sebab kedua sahabat tersebut sama-sama mendengar dari Nabi Muhammad tentang satu perkara dalam dua hadis yang berbeda, dalam keadaan yang berbeda. Biasanya perbedaan tersebut bukan pada ajaran asa agama seperti tauhid, tetapi berkaitan dengan amal-amal yang dibolehkan berbeda dalam masaah khiafiyah dalam perkara yang sunat.

Imam Hanafi pengasas hukum  mazhab Hanafi,  lahir di Kufah, tahun 80 Hijah dan berguru dengan Tabi’in Ikrimah, pembantu Abdullah bin Abbas, Nafi’, pembantu Umar bin Khattab, Hammad bin Abi Sulaman, murid dari sahabat Ibrahim al Nakhai, dari Alqamah dan dari sahabat nabi Abdullah bin Mas’ud. ( Pengantar Syariat Islam, Mohd Salleh Ahmad, 142 ). Ilmu yang diperoleh dari Abdullah bin Mas’ud tersebut dikembangkan baik keputusan hukumnya, maupun dalam metodologi cara mengambil keputusan hukum oleh Imam Hanafi. Metodologi pengambilan keputusan hukum yang dikembangkan oleh Imam Hanafi tersebut disebut dengan Mazhab Hanafi. Berarti keputusan hukum mazhab Hanafi berdasarkan ilmu fiqah yang diajarkan oleh sahabat Nabi dan tabiin.

Imam Malik, pengasas mazhab Maliki, lahir tahun 93 Hijrah, dan berguru dengan Abdurahman bin Hurmuz, Rabi’ah bin Abdurrahman, Muhammad bin Muslim bin Syihab az Zuhri, Ja’far bin Muhammad Baqir, dan tabiin yang lain yang berdiam di kota Madinah. ( Haji Mohd . Salleh Ahmad, Pengantar Syariat Islam, ms. 45 ). Sejarah mencatat bahwa Imam malik berguru lebih dari 70 ulama tabiin yang berada di Madinah. Imam Malik mengajarkan dan mengembangkan metodologi ilmu fiqah yang didapat dari para tabiin tersebut sehingga dikenal dengan mazhab Maliki berdasarkan keputusan hukum, dan fatwa guru-guru beliau yang terdiri dari para Tabiin yang mendapatkan ilmu tersbut dari para sahabat nabi yang terdahulu.

Imam Syafi’I, pengasas mazhab Syafii, lahir pada tahun 150 Hijrah, di Ghaza, Palestina, dan kemudian beliau dibesarkan di Makkah. Selama di Makkah, beliau berguru dengan mufti Makkah, Muslim bin Khalid al Zanji. Beliau kemudian mengembara ke Madinah dan bergur dengan Imam Malik dan duduk di Madinah sampai Imam Malik meninggal dunia. Kemudian beliau berangkat ke Yaman dan berguru dengan Umar bin Abi Salamah, sahabat dari Imam Auza’i. Setelah dari Yaman, beliau pergi ke Irak, dan berguru dengan Imam Syaibani, sahabat dari Imam Abu Hanifah. Setelah itu beliau berangkat ke Mesir dan berguru dengan Imam Lait bin Sa’ad. ( Haji Saleh Ahmad, Pengantar Syariat Islam, ms. 151 ). Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa Imam Syafii jga berguru yang bersanad dengan para sahabat dan tabiin yang tersebar di Bandar-banar negara Arab.

Imam Ahmad bin Hanbal, lahir tahun 164 Hijrah di Baghdad. Beliau berguru dengan ulama besar seperti Sofyan bin Uyanah, Yahya al Qattaan, Walid bin Muslim, Qadzi Abu Yusuf ( murid Imam Hanafi ), dan juga berguru dengan Imam Syafii sendiri (Pengantar Syariat Islam, m.s.162 ) Beliau mendapatkan ilmu dari Tabi’in, dan tabiut Tabiin, dan mengembangkan ilmu dan metodologi pemikiran fikah yang dipelajarinya dan berkembang dengan nama Mazhab Hanbali.

Dari keterangan diatas dapat diketahui bahwa seluruh Imam Mazhab adalah murid daripada Tabiin atau Tabiut Tabiin (generasi Salaf )  yang mendapatkan ketetapan hukum berasal dari hadis dan atasr yang bersumber dari para  sahabat nabi yang tersebar di seluruh negeri Islam. Oleh sebab itu tidaklah layak jika ada yang menyatakan bahwa pendapat mazhab itu tidak sesuai dengan sunnah, sebab pendapat mereka semua berdasarkan sunnah yang mereka dapat dari guru mereka dengan ilmu yang datang daripada sahabat nabi.

Hanya saja pada saat ini, setelah seluruh kitab hadis tertulis, maka ada sebagian masyarakat yang ingin membaca hadis langsung dari kitabnya dan mencari kesimpulan hukum dari hadis dan sunnah yang dibaca, tanpa melalui metodologi yang dipakai oleh Imam Mazhab. Mereka menamakan diri dengan pengikut sunnah, sama dengan pengikut mazhab yang mengambil hukum dari Imam Mazhab mengambil keputusan hukum berdasarkan sunnah yang disampaikan oleh pengikut sahabt, Tabiin yang berguru kepada para Sahabat Nabi. Baik para pengikut mazhab, maupun pengikut sunnah, keduanya adalah benar, sebab kedua pengikut tersbeut mengambil hukum dari al Quran dan Hadis atau Sunnah Nabi Muhammad saw.

Salaf adalah masa sahabat, pengikut sahabat, dan pengikut Tabiin, sebagaimana hadis Nabi menyebutkan : “ Sebaik-baik masa adalah masaku, masa setelahku, kemudian setelah itu, dan kemudian setelah itu “. Berarti masa yang dimaksud dengan masa salaf adalah masa sahabat, masa tabiin ( pengikut sahabat ), dan masa pengikut tabiin, yang disebut dengan nama tabiut tabiin. Dari kajian sejarah Imam Mazhab diaats dapat dilihat bahwa Imam Mazhab juga merupakan Imam yang mengambil hukum dari para safafussaleh, sehingga pengikut mazhab juga dapat disebut dengan pengikut ulama salaf, malahan seperti Imam Hanifah itu termasuk dalam Tabiut Tabiin, sebab beliau berguru dengan Tabiin.

 Adab berbeda pendapat.

Dari penjeasan diatas dapat disimpulkan bahwa perbedaan fahaman agama antar mazhab dan juga antar pengikut sunnah dengan pengikut mmazhab sebenarnya perbedaan yang dibenarkan oleh agama, sebab perbedaan tersebut berdasarkan dalil-dalil dari al Quran , dan sahabat nabi, sehingga setiap perbedaan itu bersumber dari rujukan yang sama dan disjarkan oleh sahabat nabi yang tersebar di selurh pelosok negeri kekuasaan islam. Untuk mensikapi perbedaan mazhab dan fahaman tersebut sehingga tidak menimbulkan perpecahan, maka diperlukan adab dalam berbeda pendapat, sehingga perbedaan itu merupakan rahmat dan menunjukkan keluasan ajaran Islam. Dalam kitab “ Fiqh perbedaan Pendapat “, dinyatakan bahwa diantara adab perpedaan pendapat adalah :

1.       Menghormati pendapat yang berbeda.
2.       Meninggalkan fanatik / ta’assub  terhadap pendapat.
3.       Tidak menuduh pendapat lain dengan tuduhan yang menyakitkan seperti tuduhan sesat, kafir dan lain sebagainya hanya disebabkan perbedaan.
4.       Berprasangka baik kepada pendapat lain dengan meyakini bahwa pendpat mereka juga memiliki dalil yang beluk kita ketahui.
5.       Menjauhkan diri dari pertengkaran akibat perbedaan pendapat.
6.       Berdialog dengan cara yang baik sehingga menimbulkan kesepahaman pendapat.

Kewajiban  Umat untuk bersatu

Persatuan dan perpaduan hanya akan tercapai jika sesama umat dapat memahami perbedaan dan menghormati setiap perbedaan pendapat, sehingga umat terhindar dari pertengkaran dan perpecahan, sebab perpecahan umat merupakan sesuatu yang dilarang oleh agama.

“ Dan berpegang teguhlah kamu semuanya di jalan Allah dan janganlah kamu berpecah belah “ (Surah Ali Imran : 103 )

“ janganlah kamu seperti mereka yang berpecah belah, dan berselisih sesudah datangnya keterangan, dan mereka akan mendapat siksa yang berat “ ( Surah Ali Imran : 105 ).

“ Janganlah kamu bertengkar, sebab pertengkaran itu akan membuat kamu menjadi lemah dan hilang kekuatan “ ( Surah al Anfal : 48 )

“ Janganlah kamu seperti orang kafir dimana mereka berpecah dalam dalam agama mereka, sehingga mereka berpecah menjadi beberapa kelompok, dan setiap kelompok bangga dengan kelompoknya masing-masing “ ( Surah ar Rum : 32 )

“ janganlah kamu berselisih dan bertengkar sebab umat sebelum kamu itu menjadi hancur sebab mereka saling bertengkar “

Oleh sebab itu Allah dan rasul sangat menganjurkan perpaduan sebagaimana dinyatakan dalam ayat al quran dan hadis nabi :

“ Sesungguhnya Allah sangat menyukai orang yang berperang di jalan Allah dengan berbaris rapi seolah-oleh mereka itu bangunan yang kuat “ ( Surah Saff : 4 )

“ Dan sesungguhnya inilah umatmu, umat yang satu, dan Akulah Rabbmu, maka hendaklah kamu bertaqwa kepadaKu “ ( Surah al Mukminun : 52 ).

“ Sesungguhnya orang beriman itu bersaudara, maka damaikanlah pertengkaran antara kedua kamu dan bertaqalah kepada Allah, sehingga engkau mendapat rahmat “ ( Surah al Hujurat : 49 ).

Wallahu a’lam.
Muhammad Arifin Ismail.