Pages

Thursday, August 2, 2007

Meluruskan Makna Tasawuf


“ Dan sesungguhnya pada sisi Allah mereka termasuk orang pilihan (dengan kesucian diri ) yang paling baik “ ( Surah Shaad/38 : 47 ).

Banyak orang melihat bahwa tasawuf adalah amalan tarekat dengan zikir-zikir tertentu, sehingga tasawuf sering disalahpahami sebagai mengikuti ajaran tarekat, dan mefeka yang tidak bertarekat kepada Imam tertentu dianggap tidak bertasawuf. Lebih-lebih lagi seorang wali dianggap orang yang mempunyai kelebihan tertentu,walaupun wali tersebut tidak menjalankan hukum Allah, padahal seorang wali bukanlah orang yang mempunyai kelebihan tetapi orang yang selalu suci kepada Allah dalam ilmu, dalam setiap keadaan, dengan menjaga hukum Allah, menjaga akhlak, dan hati. Secara bahasa tasawuf berasal dari asal kata “Safa” yang berarti suci. Safa dalam arti suci maksudnya adalah terbebas daripada sesuatu yang kotor atau tidak bersih, maka safa maksudnya adalah sesuatu yang terpilih dengan kesucian daripada yang lain. Orang yang bersifat safa tersebut dinamakan dengan sufi, yaitu orang yangselalu dalam keadaan suci, baik suci dalam keilmuan, suci dalam setiap keadaan, dan suci dalam mengadakan hubungan dengan Allah subhana wataala. Ibnu Qayim al Jauzi membagi safa dan tasawuf ( kesuxcian) dalam tiga bentuk :

1. Tasawuf dalam ilmu pengetahuan.

Ilmu yang suci ( ilmu tasawuf ) adalah ilmu yang dapat membimbing orang yang mempunyai ilmu kepada menncapai tujuan mendekatkan diri kepada Allah, yaitu ilmu yang bersumber daripada ilmu yang dibawa dan disampaikan oleh Rasulullah saw. Seorang ulamai tasawu dari Baghdad, Al Juneid berkata : “ilmu kami berkaitan erat dengan Kitabullah dan sunnah Rasulullah. Sesiapa yang tidak menghafal daripada ayat-ayat Al Quran dan tidak berdasarkan daripada hadis-hadis nabi dan tidak memahami (tafaqquh) dalam hukum-hukum syariat, maka orang itu tidak boleh diikuti “. Ulama tasawuf yang lain, Nasr al Abadi berkata : “ Golongan sufi adalah kelompok yang mengikuti Kitabullah dan Sunnah rasulullah, meninggalkan keinginan diri sendiri dan sesuatu yang bid’ah(sesuatu yang tidak berasaskan kepada dalil syariat), mengikuti orang-orang salaf ( ulama terdahulu ), meninggalkan bid’ah yang diciptakan oleh orang lain, dan tetap istiqamah atas apa yang pernah dilalui dan dilakukan oleh ulama terdahulu “. Syekh sufi Sulaiman Darani juga berkata : “Sesungguhnya engkau akan menjalani titik-titik perjalanan suatu kaum, maka janganlah engkau terima setiap perjalanan itu kecuali jika sesuatu itu mempunyai dalil yang jelas daripada kitab dan sunnah.

Dalam Al Quran disebutkan : “ janganlah kamu berdiri dibelakang sesuatu yang tidak mempunyai ilmu “ ( Surah al Isra/17 : 36 ). Orang dzalim adalah orang yang mengikuti sesuatu tanpa berdasarkan kepada ilmu “ bahkan mereka mengikuti orang dzalim dengan hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan “ ( Surah Rum/30: 29 ). Ilmu harus berdasarkan kepada sesuatu kebenaran berdasarkan nash yang jelas bukan kepada sangkaan “ Apakah kamu tidak melihat orang yang mengambil hawa nafsu sebagai tuhan dan disesatkan oleh ilmu pengetahuan mereka “ ( Surah al jasiyah/45 : 23 ) “ Tidaklah mereka itu berasaskan kepada ilmu tetapi mereka itu hanya berasaskan kepada sangkaan dan dugaan “ ( Surah alJasiyah/45:24).

Oleh sebab itu ulama menetapkan bahwa rujukan ilmu dalam islam adalah merujuk dan berasaskan kepada Al Quran, Sunnah, Ijma ( persetujuan sahabat/ulama )dan Qiyas ( analogi ). Ijma dijadikan rujukan sebab ada hadis yang menyatakan bahwa umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan: “ Tidak akan bersepakan umatku atas kesesatan dan tangan Allah diatas jamaah “ ( hadis sahih riwayat Tirmidzi ). Qiyas merupakan dalil hukum sebab ada hadis Rasulullah kepada Muadz bin Jabal “ wahai Muadz, bagaimana nanti engkau memutuskan suatu perkara? Muadz menjawab : Aku akan putuskan sesuatu dengan Al Quran. Rasul bertanya lagi, bagaimana jika tidak engkau dapatkan di dalam Al Quran? Muadz menjawab : Aku akan putuskan dengan Sunnah rasulullah. Rasul bertanya lagi : bagaimana jika engkau tidak daptkan dalam Sunnah? Muadz menjawab ; Dengan : Aku berijtihad dengan akal. Rasul segera menepuk dada Muadz dan berkata Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kepadanya sesuatu yang disetujui oleh rasulNya “ ( hadis sahih riwayat Ahmad, Abu daud dan Tirmidzi ).

2.Tasawuf (safa) dalam keadaan.

Tasawuf atau Safa dalam keadaan adalah hasil daripada kesucian dalam keilmuan. Tasawuf dalam keadaan maksudnya adalah terpeliharanya hati dalam melakukan sesuatu amal perbuatan. Dimanapun seorang hamba berada, dalam keadaan apapun , maka dirinya tetap bersih dan suci dari kemaksiatan, kekafiran, kemusyrikan, kemunafikan, dan sifat-sifat tercela. Inilah keadaan orang yang sufi, bukan hanya dalam ibadah, tetapi sufi dalam ekonomi, dalam budaya, dalam politik, dalam berkeluarga, dalam bermasyarakat. Keadaan ini dapat tercapai dengan cara :

a. Mengetahui sumber ilmu yang benar ( tasawuf dalam ilmu) sehingga menimbulkan keyakinan dalam beramal, bukan hanya beramal dengan ikut-ikutan atau hanya dengan sangkaan. Keyakinan tersebut akan membuat hamba berusaha tetap menjalan perintah Allah dan menjauhi laranganNya ( hukum SYARIAT ) dengan penuh kesadaran.Oleh sebab itus eorang sufi adalah orang yang selalu menalankan syariat.

b. Merasakan kelezatan dan manisnya amal berbuatan, sehingga membuatnya tetap istiqamah umtuk tetap beramal dalam keadaan susah dan senang, baik dikala seorang diri maupun bersama orang lain, diwaktu miskin atau kaya. Hal ini akan membuat seorang hamba akan tetap dalam jalan menuju Allah. Inilah yang dimaksud dengan tarekat ( Jalan = THARIQAT ), yaitu cara hidup dengan menjalankan semua perintah dan larangan Allah dengan penuh keghairahan dan kecintaan.

c. Terciptanya keadaan diri yang suci dalam hati, ibadah, akhlak dan tindakan, baik kepada Allah melalui amal ibadah maupun dalam hubungan dan pelayanan kepada manusia dan alam semesta. Keadaan diri dalam kesucian baik dalam ibadah kepada Allah maupun dalam pelayanan kepada manusia dan alam, merupakan HAKIKAT penghambaan manusia dalam melaksanakan tugas hamba Allah (ibadah) dan tugas khalifah Allah di muka bumi.

3.Tasawuf dalam hubungan

Tasawuf dalam hubungan adalah sucinya dan tetapnya hubungan seorang hamba kepada Allah dalam setiap keadaan dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan, dengan doa dan munajat, dengan cinta , dan ghairah, dengan harapan dan takut akan siksa(khauf), dengan menghilangkan keinginan diri , kecenderungan nafsu duniawi, dan hubungan ini tidak dapat diputuskan kecuali dengan kematian yang datang. Tasawuf hubungan juga menghubungkan diri dengan sifat dan asma ilahi, menghubungkan pikiran, perasaan, jiwa, keinginan dengan keridhaan Ilahi. Sesiapa yang beramal ibadah dengan kesucian hubungan tersebut tidak akan menuntut balasan atas amal ibadah sedikitpun sebab baginya beramal ibadah merupakan hak Allah dan kewajiban yang harus ditunaikan sebagai seorang hamba yang bersyukur kepada Allah. Itulah sebabnya nabi Muhammad sewaktu ditanya oleh Aisyah, mengapa Rasulullah melakukan shalat sedangkan dosa-dosanya telah diampukan oleh Allah, maka rasul menjawab bahwa beliau hanya ingin menjadi hamba yang bersyukur. Demikian juga sewaktu nabi berkata bahwa seseorang itu tidak akan dimasukkan surga dengan amalnya, tetapi dengan rahmat Allah kepadanya. Sahabat bertanya : Apakah rasulullah juga demikian? Rasul menjawab : “ Ya, walaupun aku sebagai rasul, maka aku juga dimasukkan ke dalam surga bukan karena amal ibadahku tetapi karena rahmat Allah kepadaku”.

Seorang yang bertasawuf adalah seorang hamba yang selalu bertaqarrub kepada Allah dan tetap dalam keadaan safa (suci ), baik dalam ilmu , suci dalam setiap keadaan, dan suci dalam hubungan kepadaNya; dan bagi mereka yang telah dapat melakukan tasawuf dalam ketiga hal tersebut biasanya disebut dengan “ sufi “ ( orang yang dalam keadaan suci ) dan ilmu untuk mencapai kesucian dalam ilmu, keadaan dan hubungan itulah yang disebut dengan ilmu tasawuf. Ilmu tasawuf adalah ilmu untuk mencapai kesucian diri dengan berpedoman kepada Syariat yang digariskan dalam Kitabullah dan Sunnah , serta dengan cara (thariqah/tarekat ) yang pernah dilakukan oleh rasul , sahabat dan tabiin, dan salihin, untuk mencapai hakikat penghambaan diri kepada Allah dalam menjalankan tugas ibadah khalifah. Imam Zakaria Anshari berkata : “ Syariat adalah mengenal jalan menuju Allah. Hakikat adalah mengekalkan penglihatan (istiqamah) kepada jalan menuju Allah, dan tarekat adalah menempuh jalan yang telah dibentangkan oleh syariat “. Oleh sebab itu Abu Yazid al Bustami berkata ; “Jika kamu melihat seorang yang mengaku wali yang dapat duduk bersila di atas udara, janganlah kamu terpedaya dengannya, sebelum kamu melihat bagaimana dia menjalankan syariat Allah, melaksanakan perintahNya dan meninggalkan laranganNya “. Fa’tabiru ya Ulil albaab.