“ Dan janganlah kamu memberikan sesuatu untuk mendapatkan balasan yang lebih banyak ”
( QS. Muzammil : )
Ibnu Abbas menceritakan bahwa dia mendengar Rasulullah bersabda : “ Ulama umat ini terbagi dua. Bahagian pertama adalah ulama yang dianugerahkan Allah ilmu pengetahuan lalu diberikannya kepada orang lain dengan tidak mengharapkan apa-apa dan tidak diperjualbelikan. Ulama seperti ini akan didoakan oleh burung di udara, ikan dalam air, hewan diatas bumi, dan para malaikat yang menuliskan amal manusia. Dia dibawa ke hadapan Allah pada hari kimat nanti sebagai tuan yang mulia, sehingga menjadi teman bagi para rasul Tuhan. Bahagian kedua adalah ulama yang dianugerahi Allah akan ilmu pengetahuan dan kikir untuk memberikannya kepada hamba Allah yang lain, mengharapkan sesuatu dan memperjualbelikan ilmu tersebut. Ulama seperti ini akan datang nanti pada hari kiamat dengan mulut yang dikekang dengan kekangan api neraka. Dihadapkan kepada orang ramai, tampil seorang penyeru berkata : “ Inilah si fulan, anak dari si fulan, dianugerahkan ilmu pengetahuan di dunia tetapi dia kikir untuk memberikan ilmunya kepada orang lain, dia mengharapkan sesuatu dari ilmunya dan memperjual-belikan ilmunya, maka ilama tadi akan diazab sampai selesai perhitungan amalan manusia yang lain ( Hadis riwayat Thabrani ).
Dari hadis siatas dapat dilihat bahwa ulama dalam menyampaikan ilmu kepada masyarakat akan tebagi dua, pertama ulama yang mengajarkan ilmunya sebagai meneruskan apa yang diketahuinya kepada orang yang tidak diketahui dengan niat untuk menjadi khalifah Allah di muka bumi, sebagai tanda bersyukur atas ilmu yang didapat sehingga merasa berkewajiban untuk menyampaikannya kepada orang yang tidak mengetahu. Kedua adalah ulama atau orang yang berilmu baik dalam agama atau bidang lain yang sangat kikir dengan ilmu sehingga jika dia menyampaikan ilmu tersebut harus mendapatkan imbalan dunia dan lain sebagainya. Ulama, pakar, saintis, yang mempunyai tanggungjawab kemanusiaan dengan memberikan ilmunya kepada masyarakat merupakan titik kelangsungan suatu peradaban Islam, sebab peradaban dibina atas kelangsungan ilmu dalam masyarakat. Tetapi ulama yang seallu memperhitungkan informasi dengan imbalan materi akan menghambat kelangsungan peradaban dalam masyarakat, sebab ilmu yang dimilikinga merupakan komoditi yang diperjual belikan.
Untuk kelangsungan peradaban manusia itu maka Rasulullah bersabda : “ Jika manusia itu meninggal dunia, maka terputusnya amal baginya kecuali tiga : Sedekah Jariyah ( sedekah seperti wakaf yang terus dipakai manfaatnya sehingga pahalanya mengalir terus sepanjang pemakaian ), ilmu yang bermanfaat dan doa anak yang saleh “. Ilmu yang bermanfaat menjadi sumber pahala bagi si pemberi sebab ilmu tersebut akan terus berkembang sampai akhir zaman. Dengan ilmu yang terus berkembang tersebut akan menghasilkan masyarakat yang berilmu sebagai asas suatu peradaban. Tetapi jika ilmu itu diperjual belikan maka peradaban akan bergerak lambat.
Oleh sebab itu Ibnu Mas’ud berkata : ‘ Akan datang kepada manusia suatu masa, yang terbalik sehingga kemanisan hati menjadi asin, dimana pada hari itu orang yang berilmu dan mencari ilmu tidak dapat mengambil manfaat dari ilmunya. Hati orang yang berilmu itu laksana tanah yang kosong dan bergaram, jika hujan lebat turun di atas tanah tersebut, air hujan tersebut tidak dapat menghilangkan asin garam tanah tersebut. Hati mereka itu sangat condong kepada kehidupan dunia, dan mengutamakan dunia daripada akhirat. Pada saat itulah dicabut Allah sumber-sumber hikmah dan dipadamkannya lampu petunjuk dari hati mereka. Mereka takut kepada Allah dengan lisannya, tetapi kedzaliman terdapat pada amal perbuatannya. Lidah mereka subur tetapi hati mereka tandus. Hal ini terjadi karena para guru mengajar bukan karena Allah dan murid juga belajar bukan karena Allah “.
Inilah kondisi masyarakat hari ini. Masyarakat belajar ilmu dengan kewajiban belajar dan lain sebagainya, pendidikan dasar sampai perguruan tinggi bertaburan di seluruh penjuru tempat. Ijazah, gelar , titel telah diperjual belikan, tetapi kedzaliman tetap dimana mana. Jika kita meneliti kalimat Ibnu Mas’ud diatas dapat dilihat sebab keberkatan ilmu tidak di dapat dalam masyarakat disebabkan niat ilmu dan pendidikan bukan lagi karena Allah tetapi sudah bergeser menjadi komoditi bisnis, baik itu ilmu agama maupun ilmu pengetahuan yang lain.
Kaab bin Akhbar berkata : “ Pada akhir zaman nanti orang yang berilmu menyuruh manusia zuhud dari dunia tetapi mereka sendiri tidak zuhud. Menyuruh manusia takut kepada Tuhan tetapi mereka sendiri tidak takut. Malarang manusia untuk menjumpai penguasa negeri, sedangkan mereka sendiri datang kepada penguasa negeri. Mereka telah memilih dunia daripada akhirat, mereka makan dari hasil usaha lidah mereka sendiri. Mereka hanya mendekati orang yang kaya, dan tidak peduli dengan orang yang miskin. Mereka cemburu kepada ilmu pengetahuan seperti cemburunya wanita kepada kaum lelaki. Orang yang berilmu seperti ini adalah orang yang keras hatinya, dan mereka itulah musuh-musuh Allah”.
Ternyata niat belajar dan mengajar mempunyai dampak positif dan negatif dalam masyarakat, sebagaimana dikatakan oleh Imam Malik berkata : “ Menuntut ilmu itu baik dan mengembangkannya akan baik apabila niat itu betul “. Abu Darda menyatakan bahwa diwahyukan Allah kepada sebagian nabi-nabi bahwa : “ Katakanlah kepada mereka yang menuntut ilmu bukan untuk agama, belajar bukan untuk beramal, dan mencari dunia dengan amal perbuatannya :” Bahwa mereka telah memebri pakaian kulit kambing qibas kepada manusia. Hati mereka seperti hati serigala. Lidah mereka tidak lebih manis daripada madu. Hati mereka lebih pahit daripada buah paria. NamaKu ( Nama Allah ) dipermaikan. Sesunguhnya Allah akan membukakan fitnah (bencana bagi agama ) mereka yang akan menjadikan orang yang benar terkejut dan meninggalkan mereka dengan penuh keheranan “.
Sayidina Ali bin Abu Thalib berkata : “ Ada dua orang yang mendatangkan bala bencana kepada kita, yaitu orang yang berilmu tetapi tidak menjaga kehormatan ilmunya dan orang yang bodoh yang kuat ibadahnya. Orang yang bodoh itu menipu manusia dengan peribadatannya dan orang yang berilmu itu menipu manusia dengan kelengahannya “. Ilmu, ibadah, hanya bersifat formalitas sehingga Ibnu Sammak berkata : “ Berapa banyak orang yang memberikan peringatan kepada orang lain untuk mengingat Allah sedangkan mereka lupa kepada Allah. Berapa banyak orang yang memberi peringatan supaya takut kepada Allah tetapi mereka menentang perintah Allah. Berapa banyak orang yang mengajak orang lain untuk mendekatkan diri kepada Allah tetapi mereka sendiri jauh daripada Allah. Berapa banyak orang yang menyerukan agar mendekat kepada Allah tetapi mereka sendiri lari daripada Allah. Berapa banyak orang yang membaca kitab Allah padahal ayat-ayat Allah terhapus dari hatinya “. Oleh sebab itu Rasulullah mengingatkan umatnya bahwa : “ Orang yang binasa daripada umatku adalah orang yang berilmu yang dzalim dan orang yang bodoh. Kejahatan yang paling jahat adalah kejahatan orang yang berilmu dan kebaikan yangpaling baik adalah kebaikan orang yang berilmu “. ( Hadis mursal dari Darimi )
Dari beberapa keterangan diatas dapat dilihat bahwa niat seorang ulama dalam mengajarkan ilmunya, niat seorang penguasa dalam mengatur negara, niat seorang peniaga dalam berniagaannya, harus dapat dilakukan dengan ikhlas, sehingga menghasilkan dampak positif bagi masyarakat, tetapi jika mengajar, memerintah, berniaga, dan segala sesuatu dilakukan dengan niat dunia seperti niat dan tujuannya dalam beramal itu hanya untuk mencari uang, mencari kedudukan, mencari pangkat, mencari populeritas, maka akan berdampak negatif dalam masyarakat.
Baru-baru ini timbul polemik apakah boleh seorang penceramah memasang tarif sebagaimana penceramah, konsultan, dan lain sebagainya sebagaimana pemberi layanan jasa lainnya. Tarif merupakan transaksi bisnis dan jual beli, sehingga dengan memasang tarif ilmu berubah dari aset amal jariyah atau menjadi aset bisnis. Tanpa sadar kadang-kadang penentuan tarif dapat merubah niat dalam memberikan ilmu, walaupun kadangkala tarif dilakukan agar orang menghargai ilmu yang disampaikan. Oleh sebab itu ulama Islam zaman dahulu dijamin kehidupannya oleh masyarakat khususnya Baitul Maal, sehingga untuk menjaga niat mengajar bagi ulama sehingga tidak menjadi komoditi bisnis, maka semua ulama zaman silam mendapat bantuan dari Baitul Maal, malahan seorang ulama yang menulis buku, maka bukunya ditimbang dan ulama itu diberikan emas seberat timbangan buku tersebut. Malahan pada masa kejayaan Islam di masa Salahuddin al Ayubi bukan hanya ulama , atau istadz yang diberi bantuan oleh Baitul Maal, malahan orang yang datang ke masjid, masjid taklim, pelajar, pembaca di perpustakaan mereka semua mendapat bantuan keuangan dari Baitul Maal. Pada saat ini, Baitul Maal perhatian kepada fakir miskin lebih daripada ilmu dan keadaan ulama, sehingga muncul polemik diatas. Sudah saatnya masyarakat memperikan perhatian kepada ulama, pelajar , mahasiswa dan segala yang berkaitan dengan ilmu sehingga terjaga niat ilmu tetap terjaga sebagai mata-rantai peradaban Islam dan kunci kebaikan masyarakat dimasa mendatang. Fatabiru Ya Ulil albab.
No comments:
Post a Comment