“ Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu adalah mereka yang paling bertaqwa” ( QS.Hujurat : 13 ).
Dalam kitab sejarah “ Bidayah wan Nihayah “, Ibnu Kasir menyatakan bahwa : “ Sewaktu Sayidina Ali in Abi Thalib dalam keadaan kritis, akibat ditikam oleh Ibnu Muljam, maka kaum muslimin berkata kepada Ali bin Abi Thalib : “ Wahai Amirul Mukminin, lantiklah seseorang sebagai penggantimu “. Beliau menjawab : “ Tidak, aku tidak akan melantik seorangpun sebagi penggantiku, tetapi yang ingin aku lakukan adalah meninggalkan kamu sebagaimana Rasulullah sallahu alihi wasallam meninggalkan kamu tanpa seorangpun yang dilantik sebagai khalifah. Sekirannya Allah menghendaki kebaikan pada diri kamu, niscaya Dia akan menghimpunkan kamu dibawah pimpinan orang yang paling baik diantara kamu semua sebagaimana Dia telah telah menghimpunkan kamu semua dibawah orang yang paling baik diantara kamu setelah wafatnya Rasulullah sallahu alaihi wasallam “. Setelah sayidina Ali menghembuskan nafas yang terakhir, jenazahnya disembahyangkan oleh kaum muslimin dan Hasan bin Ali bertindak sebagai imam shalat tersebut. Setelah urusan jenazah Amirul Mukminin Ali selesai, barulah Qays ibnu Sa’ad ibnu Ubaudah menjumpai Hasan bin Ali dan berkata : “ Ulurkan tanganmu, aku ingin berbai’at kepadamu berdasarkan al Quran dan Sunnah NabiNya”. Hasan, anak sulung kepada Ali terdiam, dan setelah itu berduyun-duyun kaum muslimin melakukan bai’at kepada Hasan bin Ali dan mengangkatnya sebagai penganti Khalifah. ( Ibnu Katsir, Bidayah wan Nihayah , jilid 8, hal. 20 ).
Peristiwa diatas dimana Sayidina Ali bin Abi Thalib tidak mau melantik siapapun sebagai khalifah pengganti beliau, merupakan bukti bahwa sebenarnya dalam pemilihan khalifah tidak ada wasiat khalifah kepada ahli bait Rasulullah sebagaimana yang didakwa oleh kaum syiah. Dalam riwayat tersebut juga terdapat bukti bahwa Rasulullah juga tidak pernah mewasiatkan seseorang untuk menjadi khalifah pengganti beliau setelah beliau wafat, sebagaimana yang didakwa oleh kaum syiah. Sebab jika memang benar ada wasiat kepada Ali bin Abi Thalib, maka tidak mungkin seorang sahabat Nabi apalagi setingkat sayidina Ali akan menyembunyikan wasiat dari Rasulullah, demikian juga tidak ada seorangpun sahabat yang mendengar wasiat tersebut, sebab Nabi telah menjamin bahwa sahabatnya tidak akan sepakat dalam kebatilan, sebagaimana sabda Rasulullah : “ Tidaklah bersepakat umatku di dalam kebatilan “. Terlebih lagi sejarah menyatakan bahwa sewaktu Khalifah dipilih oleh umat Islam untuk menjadi khalifah, maka sayidina Ali ikut berbai’at kepada kekhalifahan Abu Bakar; demikian juga sewaktu Umar bin Khattab dipilih menjadi khalifah, sayidina Ali juga ikut berbai’at. Jika memang nabi telah mewasiatkan siapa pengganti beliau, tidak mungkin Ali bin Abi Thalib dan sahabat-sahabat yang lain setuju dengan pelantikan Abubakar, Umar dan Usman, sebagai khalifah sebelum Ali Bin Abi Thalib.
Sebenarnya isu tentang ketokohan Sayidina Ali bin Abi Thalib sebagai pewaris kekhalifahan tidak terjadi dalam masa kekhalifahan Abubakar dan Umar bin Khttab, sampai kepada masa Usman bin Affan, masuklah seorang rabbi yahudi Abdullah bin Saba memeluk agama Islam. Di dalam ajaran agama yahudi, Yusha’ bin Nun adalah penerima wasiat daripada nabi Musa alaihisalam. Ajaran ini masih membekas dalam pikiran Abdullah bin Saba’ sehingga dia menyebarkan isu bahwa sebenarnya kekhalifahan dalam Islam itu bukan dengan pilihan, tetapi dengan wasiat, sehingga dia mendakwa bahwa orang yang paling berhak untuk menjadi khalifah adalah Ali bin Abi Thalib. Menurut Syahrastani, dalam kitab al Milal wan Nihal menyatakan bahwa : “ Abdullah bin Saba’ adalah orang yang pertama kali mengatakan bahwa adalah imam yang ditetapkan dengan wasiat dan nash. “
Sejarah juga menyatakan bahwa sewaktu Abdullah bin saba masuk Islam dia datang kepada khalifah Usman bin Affan dan meminta agar diberi kedudukan. Khalifah Usman tidak memberikan kepadanya kedudukan sehingga dia mennyebarkan fitnah di tengah masyarakat. Ibnu Kasir dalam kitab Bidayah wan Nihayah menceritakan : “ Sayf bin Umar menceritakan bahwa sebab timbulnya pemberontakan terhadap khalifah Usman adalah seorang lelaki bernama Abdullah bin Saba,seorang yahudi yang masuk Islam berangkat ke Mesir. Disana, dia telah berhasil mempengaruhi sekelompok masyarakat dengan kata-katanya yang dikarangnya sendiri. Dia berkata : “ Rasulullah telah memberikan wasiatnya kepada Ali bin Abi Thalib sedang baginda adalah KhatimunNabiyin (penutup semua nabi ), maka Ali bin Abi thalib adalah Khatimul Ausiya ( penutup orang yang diberi wasiat ). Dengan demikian, kedudukan Ali lebih layak daripada kedudukan Usman bin Afan. Apalagi, kekhalifahan Usman bin Affan telah banyak melakukan kedzaliman dalam roda pemerintahannya yang tidak patut dilakukannya. Oleh sebab itu lakukanlah pengingkaran dan pemberontakan kepadanya “. Ucapan ini banyak mempengaruhi masyarakat Mesir, ditambah lagi dengan adanya beberapa kejadian dimana khalifah Usman menggantikan gubernur Mesir dari Amr bin Ash kepada Abdullah bin Sa’ad, padahal masyarakat Mesir merasakan ketegasan Amr bin Ash terhadap kelompok Khawarij, sedangkan Abdullah bin Sa’ad tidak bersikap tegas terhadap mereka.
Abdullah bin Saba begitu mengagungkan Ali bin Abi Thalib, sehingga sewaktu Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah, maka Abdullah bin Saba pernah berkata kepada Ali : “ Wahai Ali, engkaulah adalah Tuhan “. Akibat bucapan ini Abdullah bin Saba diasingkan oleh Ali bin Abi thalib ke kampong Mada’in. Setelah meninggal Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Saba berkata : Ali tidak meninggal, karena pada dirinya terdapat unsure ketuhanan yang tidak mungkin musnah. Karena itu Ali berada di atas awan, petir sebagai suaranya, kilat sebagai senyumannya, dan dia akan turun kembali ke dunia pada saat dunia dilanda oleh kejahatan dan ketidakadilan “. ( Syahrastani, Milal wan Nihal, hal.153) Setelah Ali bin Abi Thalib meninggal dunia , maka Abdullah bin Saba menyebarluaskan ajaran dan pemahamannya tersebut, sehingga sebagaian masyarakat terpengaruh dengan ajarannya tersebut.
Ajaran Abdullah bin saba” tersebut pada awalnya dikenal dengan ajaran Saba’iyah, sedangkan nama Syi’ah adalah nama kelompok pendukung Ali bin Abi Thalib, sebab makna syi’ah dalam bahasan adalah kelompok, sehingga pendukung Ali bin Abi Thalib dalam peperangan melawan Muawiyah dinamakan Syi’ah Ali. Kelompok pendukung Ali ini adalah gholongan sahabat dan tabi’in dari kelompok pemahaman islam yang benar, sebagaimana pemahaman ahlussunah waljamaah dan bukan dari kelompok Saba’iyah, yang mengagungkan Ali. Syiah pada zaman Ali tidak pernah mengangungkan Ali, apalagi mengatakan Ali sebagai Tuhan atau penerima wasiat. Tetapi dengan perjalanan waktu yang panjang, maka akhiurnya banyak orang yang menyangka bahwa ajaran Sabaiyah itulah ajaran Syiah, sehingga ajaran tersebut terus berkembang menjadi Imamiyah Isna Asy’ariyah yang mengakui adanya dua belas imam dua belas,dan kelompok Ismailiyah yang tidak mengakui dua belas imam, tetapi berhenti pada imam yang ke- yaitu Ismail bin Ja’far, dan lain sebagainya. Diantara kelompok syiah sebenarnya masih ada yang hanya mengakui kelebihan Ali bin Abi Thalib, tetapi tidak mengagungkan Ali seperti syiah zaidiyah, hanya saja ajaran ini tidak berkembang sehebat ajaran Imamiyah Isna Asyariyah dan Ismailiyah.
Islam bukan agama ta’asub apalagi agama warisan, sebab Nabi Muhammad sendiri tidak mewasiatkan seseorang , tetapi hanya meninggalkan al Quran dan Sunnahnya. Siapa saja yang mengikuti al Quran dan Sunnah, maka itulah yang benar, bukan mengikuti seseorang baik itu dari keluarga nabi, keturunan nabi, dan lain sebagainya. Ukuran keislaman seseorang adalah ketaqwaan bukan keturunan, kelompok, bangsa, dan lain sebagainya. Sebab itu dalam alQuran dinyatakan : “ Sesungguhnya yang paling mulia daripada kamu adalah orang yang paling bertaqwa “ ( QS.Hujurat : 13 ). Dalam hadis juga Rasulullah telah menyatakan : “ Tidak ada keutamaan bagi orang arab atau orang ajam (bukan arab ) kecuali dengan taqwa “ . Fa’tabiru ya Ulil albab.
Monday, February 27, 2012
KEABSAHAN KEKHALIFAHAN ABU BAKAR
Perbedaan yangutama antara keyakinan kelompok Ahlussunnah wal Jamaah ( sunni ) dengan kelompok Syiah adalah masalah Imam. Bagi Syiah Imam itu tidak berdosa ( maksum ) dan merupakan pewaris risalah agama, yang berhak menggantikan nabi Muhammad setelah beliau meninggal dunia. Menurut Syiah Imamiyah ( syiah yang berkembang pada saat ini ), setelah nabi Muhammad meninggal dunia, maka risalah agama, dan pemerintahan dipegang oleh keluarga nabi yang dua belas dari (1)Ali bin Abi Thalib, (2) Hasan bin Ali- (3) Husen bin Ali (4)Ali Zainal Abidin bin Husen (5) Muhammad Baqir bin Ali Zainal Abidin (6) Ja’far Shadiq bin Muhamad Baqir (7) Musa al Kazim bin Ja’far Shadiq, (8) Hasan Ridha bin Musa Kadzim (9) Muhammad Jawab bin Hasan Ridha (10) Ali al Hadi bin Muhammad Jawad (11) Hasan al Askari bin Ali alHadi (12 ) Muhammad Mahdi alMuztadzar ( hilang pada tahun 260 Masehi dan diyakini akan muncul kembali pada akhir zaman nanti ). Inilah nama-nama yang berhak menjadi Imam menurut Syiah Imamiyah atau disebut juga dengan syiah Istna Asyariya (syiah dua belas ) hsebab meyakini dua belas imam. Oleh sebab itu mereka menganggap Khalifah Abubakar as Shiddiq dan Khalifah Umar bin Khattab adalah dzalim, karena telah merampas kekuasaan setelah meninggal nabi Muhammad saw. Padahal dalam kitab sejarah al Bidayah wan Nihayah saja tertulis bahwa Sayidina Ali bin Abi Thalib mengakui kekkhalifahan Abubakar shiddiq.
Dalam riwayat yang disampaikan oleh Said al Khudri menyatakan bahwa : “Setelah Rasulullah saw wafat, kaum muslimin berhimpun di rumah Sa’ad ibnu Ubaidah. Juru bicara kaum Anshar berkata : Bukankah kamu mengetahui semua bahwa orang anshar adalah penolong Rasulullah. Oleh karena itu, kamu juga adalah penolong khalifah (pengganti ) Rasululah. Sebagaimana kamu pernah menjadi penolong Rasulullah. “. Umar bin Khatab berdiri dan berkata : Benar apa yang dikatakan oleh wakil kamu tadi, setelah itu Umar bin Khatab memegang tangan Abubakar dan berkata : Inilah yang paling layak dipilih sebagai penganti (khalifah ), maka berbai’atlah kepadanya. “. Umar merupakan orang yang pertama berbaiat (janji setia), kemudian diikuti oleh seluruh sahabat yang hadir baik dari kaum muhajirin dan Anshar. Abubakar segera naik ke mimbar dan melihat kepada semua yang hadir, maka dia merasa bahwa Zubair tidak terlihat. Maka beliau menyuruh memanggil Zubair datang dan berfkata kepadanya: Wahai anak paman Rasulullah apakah engkau hendak mengingkari keputusan kaum muslimin ? Zubair menjawab : Tidak demikian wahai Khalifah, dia terus berdiri dan berbaiat”. Abubakar melihat lagi kesekeliling dan tidak terlihat Ali bin Abi Thalib, maka Ali segera dipanggil datang., dan tak lama Ali bin Abu Thalib datang dan berbaiat dengan Abubakar. Kemudian Abubakar berkata : “ Demi Allah aku tidak pernah cenderung dan berminat kepada soal kekuasaan baik siang maupun malam “. Aku tidak pernah memohon (mendambakan ) kekuasaan kepada Allah sama ada dengan diam-diam atau terang-terangan.Mendengar ucapan itu kaum muslimin semua setuju. Malahan Ali bin Abu Thalib dan zubair yang terlambat datang berkata : “ Kami minta maaf karena kami tidak dapat menghadiri majelis yang penting ini. Keterlambatan kami bukan kami sengaja. Kami berpendapat bahwa Abu Bakar merupakan orang yang paling layak untuk memegang tampuk pemerintahan ini. Hal ini disebabkan beberapa perkara yaitu beliau pernah menjadi teman Rasulullah saw semasa mereka berdua bersembunyi di dalam Gua Tsur (sewaktu dlaam perjalanan hijrah dari makkah ke madinah ). Kami sangat mengetahui tentang kebaikan kemuliaan dirinyan dan keluhuran budinya. Rasulullah saw juga pernah menjadikan dia sebagai pengganti imam shalat berjamaah sewaktu Rasulullah padahal rasulullah pada waktu itu masih hidup “.
Ada juga riwayat lain yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib berbaiat kepada Abu bakar setelah enam bulan kemudian. Padahal sejarah telah mencatat bahwa Ali telah berbaiat kepada Abubakar bersamaan dengan baiat kaum muslimin, hanya saja Ali datang terlambat. Jika ada riwayat yang menyatakan bahwa Ali berbaiat kepada Abu bakar setelah enam bulan kemudian, itu adalah untuk menghilangkan keraguan umat, disebabkan adanya [perselisihan antara Abubakar dengan Fatimah putrid Rasulullah. Setelah Rasul meninggal, Fatimah datang kepada Abubakar untuk meminta bagian daripada harta warisan Rasulullah. Khalifah Abubakar sebagai pemimpin, menyatakan bahwa dia dan seluruh sahabat mendengatr ada hadis nabi yang menyatakan bahwa keluarga Raululah tidak dapat menerima warisan. Abubakar berkata :bahwa Rasulullah perbah bersabda : “ Kami para nabi tidak meninggalkan harta warisan. Segala yang kami tinggalkan diperuntukkan sebagai sedekah “. Kemudian Abubakar berkata : Saya akan menaggung siapa saja dahulu yang ditanggung oleh Rasulullah (maksudnya biaya kehidupan nabi akan ditanggung oleh khalifah ) Maka jika aku memberikan warisan, aku khawatir nanti termasuk orang yang sesat, sebab telah meninggalkan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah”. Oleh sebab itu Abubakar tidak memberikan warisan tersebut kepada keluarga Rasulullah, tetapi dimasukkan ke dalam Baitul Mal. Pernyataan Abubakar tersebut membuat Fatimah agak bersedih, tetapi kejadian ini menunjukkan bagaimana ujian bagi seorang khalifah dalam menegakkan keadilan, walaupun kepada keluarga Rasulullah, sebab Khalifah Abubakar akan memutuskan hukum sesuai dengan amanah dari Rasulullah.
Kejadian tersebut memicu isu di masyarakat bahwa keluarga Ali dan Fatimah tidak setuju dengan pemerintahan Abubakar, padahal seebnarnya tidak terjadi apa yang disangkakan. Malahan pada waktu Fatimah sakit, maka Abubakar datang melawat Fatimah dan berkata : “ Demi Allah, aku tidak meningalkan rumah, harta serta kaum keluargaku semata-mata untuk mencapai keredhaan Allah, keredhaan RasulNya dan keredhaan ahli keluarga Rasulullah saw “. Setelah mendengar itu Fatimah memaafkan Abubakar dan merasa gembira dengan kedatangannya. Hal ini diriwayatkan oleh Baihaqi. Malahan sejarah mencatat bahwa Fatimah mewasiatkan agar setelah kematiannya nanti, maka dia ingin agar yang memandikan mayatnya adalah Asma binti Uways, (istri khalifah Abubakar ).
Riwayat mengatakan bahwa Ali Bin Abi Thalib setelah kepergian Fatimah, kembali berbaiat kepada Khalifah Abubakar. Hal ini dilakukan untuk menghapuskan sangkaan dan isu di tengah masyarakat yang disebabkan persoalan harta warisan keluarga nabi tersebut. Dengan kedatangan Abubakar ke rumah Fatimah, dan istri Abubakar memandikan mayat Fatimah, serta baiat Ali bin Abi Thalib yang kedua kalinya merupakan bukti bahwa Sayidina Ali bin Abi Thalib mengakui kekhalifahan Abubakar dan bukan merupakan taqiyah sebagaimana yang disebutkan oleh orang syiah Imamiyah.
Dari catatan sejarah diatas dapat dilihat bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib sejak dari awal sudah setuju dengan pemerintahan Abubakar Shiddiq, sebab memang semua sahabat telah sepakah bahwa kepribadian, akhlak dan jasa Abubakar dalam Islam lebih utama daripada sahabat-sahabat yang lain, terlebih lagi umur Abubakar merupakan lebih tua dari umur sahabat-sahabat nabi yang lain, sebab Abubakar dan rasulullah hanya berselisih umur dalam 2 tahun saja. Hanya saja, setelah beberapa tahun kemudian sebab timbulnya peperangan antara Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib, sehingga muncul kelompok penyokong Ali ( syiah Ali ) dan penyokong Muawiyah. Syiah makna asal dalam bahasa arab adalah penyokong. Pada awalnya pengikut Ali hanya menyokong Ali dalam politik dan pembelaan, tetapi lama-kelamaan sokongan terhadap Ali bin Abi Thalib berubah menjadi pemahaman agama dan ajaran yang mendakwa Ali bin Abi Thalib yang patut menjadi imam dan khalifah, sedangkan ketiga khalifah yang lain adalah dianggap sebagai orang yang merampas kekuasaan tersebut. Pemahaman ini adalah pemahaman yang datang dalam kuruin masa akhir dan didakwa dibuat oleh oknum yahudi yang masuk Islam dengan nama Abdullah bin Saba’. Dari saat ini kita lihat adanya perbedaan antara pengikut Syiah (pengikut ) Ali bin Abi Thalib yang sebenarnya tetap dalam keyakinan yang sama dengan Ahlussunnah waljamah dan semua sahabat yang lain, dan keyakinan kelompok Syiah yang telah direkayasa menjadi ajaran yang fanatic kepada Ali dan membenci sahabat yang lain. Tapi disayangkan banyak umat islam menyangka bahwa keyakinan dan pahaman Islam Syiah(pengikut ) Ali bin Abi Thalib adalah sama seperti keyakinan kelompok Syiah Imamiyah sekarang ini, sehingga banyak yang mengatakan Syiah itu sama dengan kita, padahal kenyataannya ajaran mereka berbeda dengan akidah dan ajaran Ahlussunnah waljamaah, yang berasal dari Rasulullah, Sahabat , tabiin, Salafussaleh, dan sampai sekarang kepada kita semua. Fa’tabiru Ya Ulil albab.
Dalam riwayat yang disampaikan oleh Said al Khudri menyatakan bahwa : “Setelah Rasulullah saw wafat, kaum muslimin berhimpun di rumah Sa’ad ibnu Ubaidah. Juru bicara kaum Anshar berkata : Bukankah kamu mengetahui semua bahwa orang anshar adalah penolong Rasulullah. Oleh karena itu, kamu juga adalah penolong khalifah (pengganti ) Rasululah. Sebagaimana kamu pernah menjadi penolong Rasulullah. “. Umar bin Khatab berdiri dan berkata : Benar apa yang dikatakan oleh wakil kamu tadi, setelah itu Umar bin Khatab memegang tangan Abubakar dan berkata : Inilah yang paling layak dipilih sebagai penganti (khalifah ), maka berbai’atlah kepadanya. “. Umar merupakan orang yang pertama berbaiat (janji setia), kemudian diikuti oleh seluruh sahabat yang hadir baik dari kaum muhajirin dan Anshar. Abubakar segera naik ke mimbar dan melihat kepada semua yang hadir, maka dia merasa bahwa Zubair tidak terlihat. Maka beliau menyuruh memanggil Zubair datang dan berfkata kepadanya: Wahai anak paman Rasulullah apakah engkau hendak mengingkari keputusan kaum muslimin ? Zubair menjawab : Tidak demikian wahai Khalifah, dia terus berdiri dan berbaiat”. Abubakar melihat lagi kesekeliling dan tidak terlihat Ali bin Abi Thalib, maka Ali segera dipanggil datang., dan tak lama Ali bin Abu Thalib datang dan berbaiat dengan Abubakar. Kemudian Abubakar berkata : “ Demi Allah aku tidak pernah cenderung dan berminat kepada soal kekuasaan baik siang maupun malam “. Aku tidak pernah memohon (mendambakan ) kekuasaan kepada Allah sama ada dengan diam-diam atau terang-terangan.Mendengar ucapan itu kaum muslimin semua setuju. Malahan Ali bin Abu Thalib dan zubair yang terlambat datang berkata : “ Kami minta maaf karena kami tidak dapat menghadiri majelis yang penting ini. Keterlambatan kami bukan kami sengaja. Kami berpendapat bahwa Abu Bakar merupakan orang yang paling layak untuk memegang tampuk pemerintahan ini. Hal ini disebabkan beberapa perkara yaitu beliau pernah menjadi teman Rasulullah saw semasa mereka berdua bersembunyi di dalam Gua Tsur (sewaktu dlaam perjalanan hijrah dari makkah ke madinah ). Kami sangat mengetahui tentang kebaikan kemuliaan dirinyan dan keluhuran budinya. Rasulullah saw juga pernah menjadikan dia sebagai pengganti imam shalat berjamaah sewaktu Rasulullah padahal rasulullah pada waktu itu masih hidup “.
Ada juga riwayat lain yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib berbaiat kepada Abu bakar setelah enam bulan kemudian. Padahal sejarah telah mencatat bahwa Ali telah berbaiat kepada Abubakar bersamaan dengan baiat kaum muslimin, hanya saja Ali datang terlambat. Jika ada riwayat yang menyatakan bahwa Ali berbaiat kepada Abu bakar setelah enam bulan kemudian, itu adalah untuk menghilangkan keraguan umat, disebabkan adanya [perselisihan antara Abubakar dengan Fatimah putrid Rasulullah. Setelah Rasul meninggal, Fatimah datang kepada Abubakar untuk meminta bagian daripada harta warisan Rasulullah. Khalifah Abubakar sebagai pemimpin, menyatakan bahwa dia dan seluruh sahabat mendengatr ada hadis nabi yang menyatakan bahwa keluarga Raululah tidak dapat menerima warisan. Abubakar berkata :bahwa Rasulullah perbah bersabda : “ Kami para nabi tidak meninggalkan harta warisan. Segala yang kami tinggalkan diperuntukkan sebagai sedekah “. Kemudian Abubakar berkata : Saya akan menaggung siapa saja dahulu yang ditanggung oleh Rasulullah (maksudnya biaya kehidupan nabi akan ditanggung oleh khalifah ) Maka jika aku memberikan warisan, aku khawatir nanti termasuk orang yang sesat, sebab telah meninggalkan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah”. Oleh sebab itu Abubakar tidak memberikan warisan tersebut kepada keluarga Rasulullah, tetapi dimasukkan ke dalam Baitul Mal. Pernyataan Abubakar tersebut membuat Fatimah agak bersedih, tetapi kejadian ini menunjukkan bagaimana ujian bagi seorang khalifah dalam menegakkan keadilan, walaupun kepada keluarga Rasulullah, sebab Khalifah Abubakar akan memutuskan hukum sesuai dengan amanah dari Rasulullah.
Kejadian tersebut memicu isu di masyarakat bahwa keluarga Ali dan Fatimah tidak setuju dengan pemerintahan Abubakar, padahal seebnarnya tidak terjadi apa yang disangkakan. Malahan pada waktu Fatimah sakit, maka Abubakar datang melawat Fatimah dan berkata : “ Demi Allah, aku tidak meningalkan rumah, harta serta kaum keluargaku semata-mata untuk mencapai keredhaan Allah, keredhaan RasulNya dan keredhaan ahli keluarga Rasulullah saw “. Setelah mendengar itu Fatimah memaafkan Abubakar dan merasa gembira dengan kedatangannya. Hal ini diriwayatkan oleh Baihaqi. Malahan sejarah mencatat bahwa Fatimah mewasiatkan agar setelah kematiannya nanti, maka dia ingin agar yang memandikan mayatnya adalah Asma binti Uways, (istri khalifah Abubakar ).
Riwayat mengatakan bahwa Ali Bin Abi Thalib setelah kepergian Fatimah, kembali berbaiat kepada Khalifah Abubakar. Hal ini dilakukan untuk menghapuskan sangkaan dan isu di tengah masyarakat yang disebabkan persoalan harta warisan keluarga nabi tersebut. Dengan kedatangan Abubakar ke rumah Fatimah, dan istri Abubakar memandikan mayat Fatimah, serta baiat Ali bin Abi Thalib yang kedua kalinya merupakan bukti bahwa Sayidina Ali bin Abi Thalib mengakui kekhalifahan Abubakar dan bukan merupakan taqiyah sebagaimana yang disebutkan oleh orang syiah Imamiyah.
Dari catatan sejarah diatas dapat dilihat bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib sejak dari awal sudah setuju dengan pemerintahan Abubakar Shiddiq, sebab memang semua sahabat telah sepakah bahwa kepribadian, akhlak dan jasa Abubakar dalam Islam lebih utama daripada sahabat-sahabat yang lain, terlebih lagi umur Abubakar merupakan lebih tua dari umur sahabat-sahabat nabi yang lain, sebab Abubakar dan rasulullah hanya berselisih umur dalam 2 tahun saja. Hanya saja, setelah beberapa tahun kemudian sebab timbulnya peperangan antara Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib, sehingga muncul kelompok penyokong Ali ( syiah Ali ) dan penyokong Muawiyah. Syiah makna asal dalam bahasa arab adalah penyokong. Pada awalnya pengikut Ali hanya menyokong Ali dalam politik dan pembelaan, tetapi lama-kelamaan sokongan terhadap Ali bin Abi Thalib berubah menjadi pemahaman agama dan ajaran yang mendakwa Ali bin Abi Thalib yang patut menjadi imam dan khalifah, sedangkan ketiga khalifah yang lain adalah dianggap sebagai orang yang merampas kekuasaan tersebut. Pemahaman ini adalah pemahaman yang datang dalam kuruin masa akhir dan didakwa dibuat oleh oknum yahudi yang masuk Islam dengan nama Abdullah bin Saba’. Dari saat ini kita lihat adanya perbedaan antara pengikut Syiah (pengikut ) Ali bin Abi Thalib yang sebenarnya tetap dalam keyakinan yang sama dengan Ahlussunnah waljamah dan semua sahabat yang lain, dan keyakinan kelompok Syiah yang telah direkayasa menjadi ajaran yang fanatic kepada Ali dan membenci sahabat yang lain. Tapi disayangkan banyak umat islam menyangka bahwa keyakinan dan pahaman Islam Syiah(pengikut ) Ali bin Abi Thalib adalah sama seperti keyakinan kelompok Syiah Imamiyah sekarang ini, sehingga banyak yang mengatakan Syiah itu sama dengan kita, padahal kenyataannya ajaran mereka berbeda dengan akidah dan ajaran Ahlussunnah waljamaah, yang berasal dari Rasulullah, Sahabat , tabiin, Salafussaleh, dan sampai sekarang kepada kita semua. Fa’tabiru Ya Ulil albab.
Subscribe to:
Posts (Atom)