SUNNATULLAH PERBEDAAN DAN KEWAJIBAN PERSATUAN
Orang yang ingin menyatukan kaum
muslimin dalam satu pendapat tentang hukum-hukum ibadah, muamalah, dan
cabang-cabang agama lainnya, hendaknya mengetahui dan menyadari bahwa
sebenarnya mereka menginginkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi…upaya seperti
ini hanyalah menunjukkan kejahilan mereka sendir karena perbedaan dalam
memahami hukum-hakam syariat yang tidak bersifat asas itu merupakan kemestian
dan tidak dapat dihindari ( Yusuf Qardhawi, fiqh perbedaan, hal. 69 ). Malahan usaha untuk menyatukan
seluruh kaum muslimin dalam masalah khilafyah fiqih dan hukum hakam agama yang
bukan bersifat asas sebab perbedaan tersebut perbedaan ulama dalam masalah khilafiyah itu dapat menambah perpecahan sebab semua
pendapat ulama dalam perbedaan tersebut memiliki rujukan keilmuan dengan
nash-nash baik dari al Quran, al Hadis. Perbedaan itu juga merupakan tabiat
agama, tabiat bahasa arab, tabiat manusia dan tabiat alam.
Tabiat agama.
Tabiat agama maksudnya adalah
bahwa dalam memahami nash-nash agama ada hukum yang dapat dipahami secara nyata
dan langsung dari ayat-ayat yang dapat dipahami secara jelas (ayat-ayat
muhkamat ), da nada juga hukum yang dipahami dari nash ayat-ayat yang harus
dipahami melalui penafsiran ( ayat-ayat mutasyabihat ). Dalam ayat-ayat
mutasyabihat, ulama akan berbeda pendapat dengan mencari korelasi dengan ayat
yang lan, mencari makna yang terbaik dari berbagai makna, mencari korelasi
dengan hadis-hadis yang berkaitan,sehingga menimbulkan banyak perbedaan dalam
mengambil kesimpulan hukum dari ayat tersebut.
Kadangkala dalam suatu
permasalahan khilafiyah, seperti letak tangan dalam shalat atau dalam masalah
yang sunat lainnya, akan terdapat bilangan hadis yang banyak, sehingga ulama
akan berbeda dalam mengambil salah satu hadis tersebut, sehingga jika seorang
ulama mengambil satu hadis maka dia tidak akan mengatakan bahwa hadis yang
diambilnya itu saja yang dilakukan oleh Rasulullah, sebab Rasulullah juga
melakukan hal yang berbeda berdasarkan hadis yang lain. Oleh sebab itu ulama
dahulu, seperti Imam Syafii, sewaktu dia mengambil satu hadis untuk dijadikan
dalil atas pendapat dan mazhabnya, dia tidak berani mengatakan pendapat itu
dengan “ menurut sunnah”, sebab masih ada hadis lain yang tidak menjadi
rujukan, sehingga setiap imam mazhab hanya mengatakan ini pendapat mazhabku,
dalam arti ini adalah pendapatku berdasarkan hadis yang aku pilih dalam perkara
tertentu, sedangkan disana ada hadis lain yang menjadi dalil bagi imam mazhab
yang lain. Jika dia memilih satu hadis yang menjadi rujukan dan mengatakan
bahwa “inilah cara sunnah “, maka kalimat itu seakan-akan mengatakan bahwa
pendapat yang lain itu tidak mengikuti sunah, padahal pendapat yan lain juga
memiliki rujukan dari hadis dan sunnah nabi.
Sahabat Nabi, Ibnu Mas’ud
menyatakan bahwa dia mendengar seorang sahabat membaca ayat-ayat al Quran
dengan bacaan (qiraat ) yang berbeda dengan bacaan yang pernah dia dengar dari
Nabi, sehingga dia mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah, setelah itu aku
melihat kebencian di wajah nabi seraya nabi bersabda : “ Kedua bacaan itu
adalah baik, janganlah kamu berselisih tentang hal tersebut “. ( Diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dalam bab, Tafsir dan keutamaannya )
Tabiat Bahasa
Rujukan agama adalah al Quran dan
Hadis yang tertulis alam bahasa Arab. Setiap bahasa memiliki tabiat bahasa ,
kaedah bahasa, makna bahasa, makna susunan ayat, dan lain sebagainya. Dalam
bahasa Arab terdapat kata-kata yang memiliki makna yang banyak ( musytarak ),
disamping kata yang memiliki makna tunggal. Dalam makna juga terdapat makna
yang langsung, ada juga makna kiasan ( majaz ), makna yang tersurat ( dalalah
mutabaqah ) dan makna yang tersirat ( dalalah tadhamun ). Ada lafadz yang
bersifat am da nada yang bersifat khas, sehingga perbedaan ulama dalam melihat
kata-kata tersebut menimbulkan perbedaan pendapat.
Sebagai contoh, dalam hukum
bersuci ( taharah ) yang diambil dari ayat 6 surah al Maidah : “ Hai orang yang
beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah wajah kamu, dan
tangan kamu sampai ke siku tangan, dan basuhlah kepala kamu dan kaki kamu
sampai kepada buku lali “( Surah al Maidah : 6 ). Dalam ayat sapulah kepala
kamu terdapat kata-kata “ bi ru’uusikum “, yang bermakna “dengan kepala kamu”.
Dari adanya kata-kata “ bi “ ( dengan ) , ulama berbeda pendapat apakah menyapu
kepala itu sebagian kepala atau semua kepala, atau sekedar kata-kata tambahan
yang tidak memiliki makna apapun juga. Sebab jika semua kepala, mengapa Allah
tidak menyatakan dengan “ wam sahuu ru’uusakan “ ( sapulah kepala kamu ),
sebagaimana kata-kata yang lain “ faghsilu wujuhakakum “ ( basuhlah wajah kamu
). Perbedaan tersebut dikuatkan lagi
dengan adanya berbagai hadis nabi yang menyapu dengan sebagian kepala dan juga
ada hadis nabi yang menyapu seluruh kepala. Sehingga perbedaan pendapat apakah
sebagian kepala atau seluruh kepala merupakan perbedaan pendapat yang tidak
dapat dielakkan. Ulama bersepakat tentang kewajiban menyapu kepala, tetapi
berbeda dalam batas yang disapu dari kepala tersebut. Kewajiban menyapu kepala
adalah asas sedangkan batasan menyapu antara seluruh atau sebagian adalah
masalah khilafiyah, yang berbeda dengan dalil masing-masing.
Tabiat manusia
Setiap manusia memiliki sifat dan
tabiat yang berbeda dengan yang lan, seperti sikap keras dan sikap lembut,
berbeda dalam kecintaan dan kecenderungan terhadap sesuatu, berbeda dalam cara
pandang, sehingga hal tersbeut berakibat berbeda dalam mengambil keputusan
dalam sesuatu perkara. Sejarah mencatat bahwa sahabat nabi, pribadi Abubakar
Siddiq yang kasih sayang dan penuh kelembutan berbeda dengan pribadi Umar bin
Khatab yang etegas dan berani. Sebagai contoh dalam menghadapi tawanan perang
Badar dimana menurut Umar bin Khtab tawanan tersebut dibunuh sajaha, sedangkan
menurut Abubakar, tawanan itu dimaafkan dengan memberikan tebusan. Demikian
juga perbedaan antara Ibnu Umar dengan Ibnu Abbas dalam beebrapa perkara. Ibnu
Umar selalu membasuh bagian dalam kedua matanya dalam berwudhu, sedangkan Ibnu
Abbas tidak berpendapat demikian. Ibnu Umar berpendapat berhenti di Mishab (
nama sebuah tempat ) termasuk sunat dalam ibadah haji, sedang Ibnu Abbas
berpendapat itu tidak sunat, sebab berhentinya nabi di tempat itu bukan
termasuk amalan ibadah yang disyariatkan.
Rahmat di balik perpedaan pahaman
agama
Perbedaan dalam pehaman agama
dalam hal yang bukan asas dan pada perkara yang dibolehkan berbeda, merupakan
rahmat bagi umat, sehingga umat dapat memilih, sebab dengan perbedaan pendapat tersebut memudahkan
umat dalam menjalankan agama. Dalam agama, ada perkara yang
telah ditentukan kewajibannya, sehingga menjadi wajib, ada perkara yang telah
ditentukan larangannya sehingga menjadi haram. Disamping itu ada perkara yang
dianjurkan untuk dilakukan, yaitu perkara yang sunat, da nada perkara yang
dianjurkan untuk tidak dilakukan, yaitu perkara makruh. Setelah itu ada perkara
yang tidak diwajibkan, juga tidak dilarang, juga tidak dianjurkan dilakukan
atau tidak dilakukan, itu adalah perkara harus atau mubah,yaitu perkara yang
tidak ditentukan sama sekali. Hal ini dinyatakan dalam hadis : “ Sesungguhnya
Allah Taala telah membuat ketentuan ketentuan ( hudud ), maka janganlah kamu
melanggarnya. Allah Taala juga telah menetapkan kewajiban-kewajiban, maka
jangan kamu mengabaikannya. Allah juga telah mengharamkan beberapa perkara,
maka jangan kamu melanggarnya, dan Allah juga telah mendiamkan banyak perkara
sebagai rahmat bagi kamu, bukan karena lupa, dan janganlah kamu mencari-carinya
” ( Hadis diriwayatkan oleh Daruqtni, dengan kedudukan hadis hasan ).
Dalam hadis yang lain,
disampaikan oleh Abu darda’ dinyatakan : Apa yang Allah telah halalkan dalam
kitabnya maka itu menjadi halal, dan apa yang Allah haramkan dalm kitabnya, itu
juga menjadi haram, dan apa yang Allah diamkan ( tidak diharamkan dan tidak
diwajibkan ) itu merupakan kemurahan Allah, maka terimalah kemurahanNya
tersebut. Sesungguhnya Allah tidak pernah lupa akan sesuatu, kemudian nabi
membaca ayat “ dan tidaklah Tuhanmu itu lupa “ ( Surah Maryam /16 : 64 ) Perkara yang didiamkan ( tidak
diwajibkan dan juga tidak dilarang dan tidak ada dalam nash ) berarti membuka peluang ijtihad bagi ulama
untuk mengambil hukumnya, apakah dengan jalan ijtihad melalui ijma (
kesepakatan sahabat ), atau dengan jalan qiyas ( analogy ), atau memakai jalan
istihsan ( mencari sesuatu yang lebih baik ), atau dengan jalan istislah (
sesuatu yang lebih sesuai ) atau dengan memakai jalan “urf “ ( kebiasaan dalam
masyarakat ).
Sewaktu Rasulullah akan mengutus sahabat
Muadz bin Jabaluntuk menjadi gubernur negeri Yaman, maka Rasulullah bertanya :
“ Wahai Muadz, dengan apa engkau menghukum sesuatu ? Muadz menjawab : Dengan
Kitabullah “. Rasul bertanya lagi : Jika engkau tidak mendapatkan perkara
tersbeut di dalam Kitabullah, maka dengan apa engau mengambil keputusan ? “
Muadz menjawab : “ Dengan Sunnah Rasulullah “. Kemduian rasulullah bertanya
lagi : “ Jika perkara tersebut tidak engkau dapatkan di dalam kitabullah dan
sunnah rasulNya, maka dengan apa engkau memutuskan ? “,. Muadz menjawab : “
berijtihad dengan akal pikiranku “. ( riwayat Tirmidzi ). Hadis ini menjadi
dalil bagi ulama bahwa dalam akal pikiran dapat dipakai dalam mengambil
keputusan hukum, hanya saja akal pikiran yang dipakai bukan semua pendapat dan
pikiran tetapi akal pikiran yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang terdapat
dalam Kitabullah dan Sunah rasul, sebagaimana disebutkan dalam syarat-syarat
pengambilan hukum melalui ijtihad dan qiyas.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz
berkata : “ Saya tidak suka jika para sahabat itu tidak berbeda pendapat, sebab
seandainya mereka tidak berbeda pendapat niscaya tidak aka nada keringanan bagi
kita hari ini untuk menjalankan agama “. ( riwayat Baihaqi ).
Syeikh Mar’I al Hanbali dalam
kitab Tanwiru Masyairil Muqallidin berkata : “ Sesungguhnya perbedaan madzhab
dalam agama ini merupakan rahmat dan keutamaan yang besar. Rahasia ini hanya
diketahui oleh orang yang alim, dan tidak dapat diketahui oleh orang yang
jahil. Perbedaan pendapat merupakan kekhususan umat Islam dan keluasan dalam
syariat yang mudah ini “.
Mengikut Mazhab dan Sunnah
Pada awal perkembangan hukum
Islam, tidak ada mazhab, sebab semua merujuk kepada Nabi Muhammad saw, dan
setelah meninggal Rasul, sahabat menjadi rujukan hukum sebab mereka yang paling
mengetahui ucapan, dan perbuatan Rasulullah. Pada masa khalifah Umar bin
Khattab, dengan bertambah luasnya daerah kekuasaan Islam, maka banyak sahabat
dari madinah berpindah ke Bandar-bandar kawaan Islam seperti Mesir, Syam,
Kufah, Baghdad, Yaman, dan lain sebagainya. Di kawasan tersebut, sahabat nabi
mengajarkan agama Islam dan hukum-hakam, dan mereka menjadi tempat rujukan
masyarakat disekitarnya. Masyarakat disekitarnya belajar dari sahabat-sahabat
tersebut dan mengambil bacaan al Quran, dan Hadis tersebut dari mereka.
Pengikut dan murid dari sahabat itu dinamakan Tabi’in, dan murd dari Tabiin
dinamakan Tabiut Tabiin. Pemahaman agama yang berkatan dengan hukum fiqah ini
menjadi pegangan bagi masyarakat di Kufah, Madinah, Yaman, Mesir dan lain
sebagainya. Tidak semua sahabat akan mendengar hadis yang sama, dalam satu
perkara, sehingga kadag kala hadis yang disampakan oleh sahabat di
masyarakat Mesir, tidak sama dengan
ajaran dari saabat yang tinggal Madinah, walaupun kedua pendapat tersebut
adalah benar, sebab kedua sahabat tersebut sama-sama mendengar dari Nabi
Muhammad tentang satu perkara dalam dua hadis yang berbeda, dalam keadaan yang
berbeda. Biasanya perbedaan tersebut bukan pada ajaran asa agama seperti
tauhid, tetapi berkaitan dengan amal-amal yang dibolehkan berbeda dalam masaah
khiafiyah dalam perkara yang sunat.
Imam Hanafi pengasas hukum mazhab
Hanafi, lahir di Kufah, tahun 80 Hijah
dan berguru dengan Tabi’in Ikrimah, pembantu Abdullah bin Abbas, Nafi’,
pembantu Umar bin Khattab, Hammad bin Abi Sulaman, murid dari sahabat Ibrahim
al Nakhai, dari Alqamah dan dari sahabat nabi Abdullah bin Mas’ud. ( Pengantar
Syariat Islam, Mohd Salleh Ahmad, 142 ). Ilmu yang diperoleh dari Abdullah bin
Mas’ud tersebut dikembangkan baik keputusan hukumnya, maupun dalam metodologi
cara mengambil keputusan hukum oleh Imam Hanafi. Metodologi pengambilan
keputusan hukum yang dikembangkan oleh Imam Hanafi tersebut disebut dengan
Mazhab Hanafi. Berarti keputusan hukum mazhab Hanafi berdasarkan ilmu fiqah
yang diajarkan oleh sahabat Nabi dan tabiin.
Imam Malik, pengasas mazhab
Maliki, lahir tahun 93 Hijrah, dan berguru dengan Abdurahman bin Hurmuz,
Rabi’ah bin Abdurrahman, Muhammad bin Muslim bin Syihab az Zuhri, Ja’far bin
Muhammad Baqir, dan tabiin yang lain yang berdiam di kota Madinah. ( Haji Mohd
. Salleh Ahmad, Pengantar Syariat Islam, ms. 45 ). Sejarah mencatat bahwa Imam
malik berguru lebih dari 70 ulama tabiin yang berada di Madinah. Imam Malik
mengajarkan dan mengembangkan metodologi ilmu fiqah yang didapat dari para
tabiin tersebut sehingga dikenal dengan mazhab Maliki berdasarkan keputusan
hukum, dan fatwa guru-guru beliau yang terdiri dari para Tabiin yang
mendapatkan ilmu tersbut dari para sahabat nabi yang terdahulu.
Imam Syafi’I, pengasas mazhab
Syafii, lahir pada tahun 150 Hijrah, di Ghaza, Palestina, dan kemudian beliau
dibesarkan di Makkah. Selama di Makkah, beliau berguru dengan mufti Makkah,
Muslim bin Khalid al Zanji. Beliau kemudian mengembara ke Madinah dan bergur
dengan Imam Malik dan duduk di Madinah sampai Imam Malik meninggal dunia.
Kemudian beliau berangkat ke Yaman dan berguru dengan Umar bin Abi Salamah,
sahabat dari Imam Auza’i. Setelah dari Yaman, beliau pergi ke Irak, dan berguru
dengan Imam Syaibani, sahabat dari Imam Abu Hanifah. Setelah itu beliau
berangkat ke Mesir dan berguru dengan Imam Lait bin Sa’ad. ( Haji Saleh Ahmad,
Pengantar Syariat Islam, ms. 151 ). Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa Imam
Syafii jga berguru yang bersanad dengan para sahabat dan tabiin yang tersebar
di Bandar-banar negara Arab.
Imam Ahmad bin Hanbal, lahir
tahun 164 Hijrah di Baghdad. Beliau berguru dengan ulama besar seperti Sofyan
bin Uyanah, Yahya al Qattaan, Walid bin Muslim, Qadzi Abu Yusuf ( murid Imam
Hanafi ), dan juga berguru dengan Imam Syafii sendiri (Pengantar Syariat Islam,
m.s.162 ) Beliau mendapatkan ilmu dari Tabi’in, dan tabiut Tabiin, dan
mengembangkan ilmu dan metodologi pemikiran fikah yang dipelajarinya dan
berkembang dengan nama Mazhab Hanbali.
Dari keterangan diatas dapat
diketahui bahwa seluruh Imam Mazhab adalah murid daripada Tabiin atau Tabiut
Tabiin (generasi Salaf ) yang mendapatkan ketetapan hukum berasal dari hadis dan atasr yang
bersumber dari para sahabat nabi yang
tersebar di seluruh negeri Islam. Oleh sebab itu tidaklah layak jika ada yang
menyatakan bahwa pendapat mazhab itu tidak sesuai dengan sunnah, sebab pendapat
mereka semua berdasarkan sunnah yang mereka dapat dari guru mereka dengan ilmu
yang datang daripada sahabat nabi.
Hanya saja pada saat ini, setelah
seluruh kitab hadis tertulis, maka ada sebagian masyarakat yang ingin membaca
hadis langsung dari kitabnya dan mencari kesimpulan hukum dari hadis dan sunnah
yang dibaca, tanpa melalui metodologi yang dipakai oleh Imam Mazhab. Mereka
menamakan diri dengan pengikut sunnah, sama dengan pengikut mazhab yang
mengambil hukum dari Imam Mazhab mengambil keputusan hukum berdasarkan sunnah
yang disampaikan oleh pengikut sahabt, Tabiin yang berguru kepada para Sahabat
Nabi. Baik para pengikut mazhab, maupun pengikut sunnah, keduanya adalah benar,
sebab kedua pengikut tersbeut mengambil hukum dari al Quran dan Hadis atau Sunnah
Nabi Muhammad saw.
Salaf adalah masa sahabat,
pengikut sahabat, dan pengikut Tabiin, sebagaimana hadis Nabi menyebutkan : “
Sebaik-baik masa adalah masaku, masa setelahku, kemudian setelah itu, dan
kemudian setelah itu “. Berarti masa yang dimaksud dengan masa salaf adalah
masa sahabat, masa tabiin ( pengikut sahabat ), dan masa pengikut tabiin, yang
disebut dengan nama tabiut tabiin. Dari kajian sejarah Imam Mazhab diaats dapat
dilihat bahwa Imam Mazhab juga merupakan Imam yang mengambil hukum dari para
safafussaleh, sehingga pengikut mazhab juga dapat disebut dengan pengikut ulama
salaf, malahan seperti Imam Hanifah itu termasuk dalam Tabiut Tabiin, sebab
beliau berguru dengan Tabiin.
Adab berbeda pendapat.
Dari penjeasan diatas dapat
disimpulkan bahwa perbedaan fahaman agama antar mazhab dan juga antar pengikut
sunnah dengan pengikut mmazhab sebenarnya perbedaan yang dibenarkan oleh agama,
sebab perbedaan tersebut berdasarkan dalil-dalil dari al Quran , dan sahabat
nabi, sehingga setiap perbedaan itu bersumber dari rujukan yang sama dan
disjarkan oleh sahabat nabi yang tersebar di selurh pelosok negeri kekuasaan
islam. Untuk mensikapi perbedaan mazhab dan fahaman tersebut sehingga tidak
menimbulkan perpecahan, maka diperlukan adab dalam berbeda pendapat, sehingga
perbedaan itu merupakan rahmat dan menunjukkan keluasan ajaran Islam. Dalam
kitab “ Fiqh perbedaan Pendapat “, dinyatakan bahwa diantara adab perpedaan
pendapat adalah :
1. Menghormati pendapat yang berbeda.
2. Meninggalkan fanatik / ta’assub
terhadap pendapat.
3. Tidak menuduh pendapat lain dengan tuduhan yang menyakitkan
seperti tuduhan sesat, kafir dan lain sebagainya hanya disebabkan perbedaan.
4. Berprasangka baik kepada pendapat lain dengan meyakini bahwa
pendpat mereka juga memiliki dalil yang beluk kita ketahui.
5. Menjauhkan diri dari pertengkaran akibat perbedaan pendapat.
6. Berdialog dengan cara yang baik sehingga menimbulkan kesepahaman
pendapat.
Kewajiban Umat untuk bersatu
Persatuan dan perpaduan hanya akan tercapai
jika sesama umat dapat memahami perbedaan dan menghormati setiap perbedaan
pendapat, sehingga umat terhindar dari pertengkaran dan perpecahan, sebab
perpecahan umat merupakan sesuatu yang dilarang oleh agama.
“ Dan berpegang teguhlah kamu
semuanya di jalan Allah dan janganlah kamu berpecah belah “ (Surah Ali Imran :
103 )
“ janganlah kamu seperti mereka
yang berpecah belah, dan berselisih sesudah datangnya keterangan, dan mereka
akan mendapat siksa yang berat “ ( Surah Ali Imran : 105 ).
“ Janganlah kamu bertengkar,
sebab pertengkaran itu akan membuat kamu menjadi lemah dan hilang kekuatan “ (
Surah al Anfal : 48 )
“ Janganlah kamu seperti orang
kafir dimana mereka berpecah dalam dalam agama mereka, sehingga mereka berpecah
menjadi beberapa kelompok, dan setiap kelompok bangga dengan kelompoknya
masing-masing “ ( Surah ar Rum : 32 )
“ janganlah kamu berselisih dan
bertengkar sebab umat sebelum kamu itu menjadi hancur sebab mereka saling
bertengkar “
Oleh sebab itu Allah dan rasul
sangat menganjurkan perpaduan sebagaimana dinyatakan dalam ayat al quran dan
hadis nabi :
“ Sesungguhnya Allah sangat
menyukai orang yang berperang di jalan Allah dengan berbaris rapi seolah-oleh
mereka itu bangunan yang kuat “ ( Surah Saff : 4 )
“ Dan sesungguhnya inilah umatmu,
umat yang satu, dan Akulah Rabbmu, maka hendaklah kamu bertaqwa kepadaKu “ (
Surah al Mukminun : 52 ).
“ Sesungguhnya orang beriman itu
bersaudara, maka damaikanlah pertengkaran antara kedua kamu dan bertaqalah
kepada Allah, sehingga engkau mendapat rahmat “ ( Surah al Hujurat : 49 ).
Wallahu a’lam.
Muhammad Arifin Ismail.