Thursday, November 28, 2013
SEJARAH HITAM QARAMITHAH
Qaramithah adalah suatu kelompok yang merupakan bagian dari pengikut ajaran Syiah Ismailiyah dibawah pimpinan Hamdan al Qaramit, sehingga pengikutnya disebut dengan Qaramithah. Ajaran Qaramithah terus berkembang dalam masyarakat terutama diantara kelompok Syiah Ismailiyah. Pada waktu itu Ismailiyah Fatimiyah mengaku bahwa Imam al Mahdi akan datang dari keturunan mereka, sedangkan menurut Qaramithah datangnya Imam Mahdi tetap dengan munculnya Imam ke-tujuh Ismail bin yang sedang menghilang hingga waktu tertentu. Qaramithah sangat membenci kelompok Nasibi, yaitu kelompok yang mengakui kepemimpinan Abubakar, Umar dan Usman bin Affan. Malahan mereka selalu menganggu dan membunuhnya. Pada tahun 294 Hijriyah mereka pernah menghadang jamaah haji yang pulang dari tanah suci dan membunuhnya. Mereka selalu mengintai jamaah haji yang pulang dari menunaikan jamaah haji dan menganggu mereka, atau merampas harta mereka malahan sampai kadang kala membunuh mereka. Khalifah Islam pada waktu itu sangat lemah, sehingga kaum pemberontak Qaramithah sangat berleluasa menganggu keamanan dan ketenteraman umat. Mereka kaum Qaramithah menganggap bahwa tanah Karbala, tempat terbunuhnya Husein itu lebih suci daripada Ka’bah, sebagaimana termaktub dalam halaman 370 dari kitab “ Fiqhul wal Aqaid” karangan ulama mereka Muhammad Huseini Syirazi menyatakan bahwa : “ Dikatakan bahwa tanah Karbala lebih utama daripada tanah Makkah, dan sujud diatas tanah makam Husein itu lebih utama daripada sujud di atas tanah Masjidil haram , apakah itu benar ? Syirazi menjawab : Ya itu benar “. Oleh sebab itu dalam sejarah kaum Qaramithah pernah menyerang Ka’bah, merusak Hajaral Aswad dan membunuh jamaah haji yang ada pada waktu itu.
Ibnu Kasir dalam kitab Bidayah wan Nihayah menceritakan bahwa pada hari Tarwiyah yaitu hari kedelapan Zulhijah tahun 317 Hijriyah bertepatan dengan musim Haji 929 Masehi, pasukan tentera Syiah Qaramithah diketuai oleh Hamadan Ibn Al-Ashath Al-Qurmuti menyerang kota Makkah dan membunuh semua jemaah haji yang datang peda waktu itu. Kemudian Hamdan menyerang Kaabah, dan menageluarkan batu hitam Hajar Aswad dari tempatnya di sudut Ka’bah serta memecah batu tersebut menjadi dekapan potongan kecil, sebagaimana yang terlihat pada batu Hajaral Aswad sekarang.
Hamdan juga menarik keluar pintu Kaabah dan kemudian memecahkannya, menarik kain Kabah dan memotongnya kecil-kecil dan memberikannya kepada sahabat-sahabat beliau. Setelah itu beliau mengarahkan pengikut-pengikut beliau untuk memusnahkan Mizab Al-Kabah, saluran untuk menyalurkan air (sekiranya hujan) yang terletak datas Kaabah. Sewaktusalah seorang pengikut beliau mencoba untuk memusnahkan saluran ini, pengikut yang disuruh tersebut terjatuh dari bumbung Kaabah dan mati.
Hamadan kemudiannya menyuruh pengikutnya mencampakkan mayat-mayat jemaah haji yang telah mereka bunuh ke atas bumbung Kaabah, sehingga Mizab (saluran air) dari atas Kabah itu mengalirkan darah orang muslim buat pertama kalinya dalam sejarah. Beliau kemudian mencampakkan mayat-mayat jamaah haji yang lain kedalam telaga Zam-Zam sehingga telaha zam-zam penuh dan kemudian menutup telaga ini dengan batu yang besar.
Wanita Qaramithah akan membawa air kononnya untuk menyiram mayat-mayat jemaah haji ini atau memberi minum kepada jemaah haji yang tercedera, akan tetapi apabila mereka berjumpa dengan jemaah haji yang masih hidup, mereka akan membunuhnya tanpa memberi air. Wanita Qaramithah percaya bahwa jika mereka perlu membunuh sekurang-kurangnya 3 orang Sunni (Nasibi, gelaran yang mereka berikan pada orang Sunni) yang dahaga itu , maka mereka mendapat tempat di Surga. Sebagian mayat-mayat yang lain ada yang ditanam di dalam Masjidil Haram dimana mereka (jemaah haji) dibunuh tanpa dikafankan, tanpa simandikan dan tanpa disolatkan.
Kemudian Hamadan pemimpin Qaramithah yang menyerang Makkah tersebut berdiri di depan pintu Kaabah dan menjerit ke langit dan berkata: “ Akulah yang berani mencabar ALLAH, akulah yang berani mencabar Tuhan, DIA mencipta kamu dan aku membunuh kamu semua (jemaah haji)”. Pengikut-pengikutnya yang turut memusnahkan Hajar Aswad juga menjerit ke langit: “Dimana burung-burung Ababil ENGKAU? Dimana batu Sijjil (batu dari tanah yang terbakar) ENGKAU?” Merujuk kepada peristiwa serangan bergajah yang dipimpin oleh raja Abrahah sebelum kedatangan agama Islam.
Kemudian Hamdan Qaramitah membawa batu Hajar Aswad ke arah timur yaitu le kota Al-Qatif dengan menggunakan 70 ekor unta sebab dalam perjalanan setiap unta yang membawa batu Hajar Aswad akan jatuh sakit dan kemudian mati di tengah padang pasir. Jika unta yang membawa batu Hajar aswad itu mati, maka Hamdan menggantikan unta itu dengan unta yang lain, sehingga seluruh unta yang membawa sampai ke bilangan tujuh puluh. Di kota al Qatif mereka membangun bangunan seperti Ka’bah yang mereka namakan ‘AinulKuaibah’ dan meletakkan batu Hajar Aswad di bangunan tersebut dan menyuruh orang ramai untuk mengerjakan haji di tempat tersebut, tetapi tidak seorangpun orang muslim yang pergi kesana kecuali pengikut Qaramithah saja. Batu Hajarl Aswad di kuasai oleh Qaramithah selama 22 tahun, hingga pada tahun 339 Hijriyah / 952 Masehi datanglah pasukan Khalifah Al-Muktadir Billah sebanyak 80 ribu tentara menyerang pengikut-pengikut Qarmatiah dan menyerang tiga ribu pasukan Qaramithah. Khalifah al Muktadir Billah setelah mengalahkan pasukan Qaramithah, kemudian baginda mengembalikan batu Hajaral Aswad ketempatnya semula sebagaimana yang kita lihat sekarang. Itulah sebabnya jika kita memperhatikan keadaan batu Hajaral Aswad sekarang terlihat jelas bekas pecahan potingan kecil yang disatukan kembali. Syukur Alhamdulillah batu tersebut tidak dihanciurkan atau dihilangkan tetapi masih dapat ditemukan walaupun telah hilang dari tempatnya selama 22 tahun. Penyerangan Khalifah terhadap pasukan Qaramithah tersebut telah melemahkan kekuatan Qaramithah dan menghilangkan jejak mereka, tetapi diantara pasukan Qaramithah tersebut, terdapat kumpulan kecil, lebih kurang 10 buah keluarga lolos dari serbuan dan dapat melarikan diri ke Syria dan bersembunyi di pegunungan Arab dalam bebrapa lama agar mereka tidak dibunuh. Kelompok kecil ini lama-kelamaan menjadi besar dan menurut kajian sejarah diantara kelompok tersebut lahirlah masyarakat Syiah Nusriyah, Syiah Alawiyah dan diantara mereka terdapat keluarga Al-Assad, yang memerintah Syria pada hari ini.
Dari kilasan sejarah diatas dapat kita lihat bagaimana sejarah mencatat bahwa ada sebagian kelompok Syiah yang sangat membenci masyarakat Islam, sehingga dapat membunuh orang-orang islam yang lain, malahan menyerang Makkah dan mengeluarkan batu Hajaral Aswad dari tempatnya. Oleh sebab itu kita tidak heran jika pada saat ini, pasukan Basyar Assad dengan ringannya membunuh umat Islam dengan alasan pemberontakan atas negara dan lain sebagainya. Padahal ajaran agama Islam sangat melarang umat Islam saling membunuh, malahan tindakan tersebut dinyatakan dalam al Quran : “ Barangsiapa yang membunuh manusia seorang manusia bukan karena dia telah membunuh yang lain, dan bukan karena telah membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya “ ( QS. AlMaidah : 32 ). Jika kita semua menghayati makna dan mengamalkan maksud ayat tersebut, maka perdamaian di dunia akan terwujud, dan sejarah Qaramithah tidak akan terulang lagi. Fa’tabiru Ya Ulil Albab.
GHADIR KHUM
Dalam pelaksanaan haji wada’, Rasulullah berada di Makkah selama sepuluh hari sahaja. Dalam perjalanan menuju Madinah, nabi berhenti di suatu tempat yang bernama Ghadir Khum. Di tempat ini Rasulullah mengumpulkan sahabat dan berkhutbah. Dalam khutbah Nabi menerangkan tentang kelebihan Sayidina Ali bin Abi Thalib yang sedang bertugas di Yaman. Di dalam khutbah itu Rasulullah menyatakan : “ Siapa yang mengakui aku adalah maulanya (tuannya ) maka Aku adalah maulanya, kemudian nabi berdoa : “ Ya Allah tolonglah orang yang menolong Ali, musuhilah orang yang menolong Ali, kasihanilah orang yang mengasihani Ali, bencilah orang yang membenci Ali, tolonglah orang yang menolong Ali, dan hinakan orang yang menghina Ali, dan berilah kebenaran kepada Ali kemana saja dia pergi “.
Sejarah mencatat bahwa khutbah nabi tersebut berkaitan dengan seseorang yang mengadukan kepemimpinan Ali di Yaman. Nabi mengutus Ali ke Yaman untuk menghadapi kabilah Najran di Yaman yang masih tidak patuh kepada kepemimpinan Rasulullah, tetapi Ali mengetahui tentang rencana nabi untuk pergi haji, sehingga dia telah mengatur perjalanan dari yaman untuk dapat haji bersama Rasulullah. Sewaktu nabi berada di makkah, ada seorang sahabat bernama Buraidah datang menghadap Rasulullah mengadukan tentang sikap Ali bin Abi Thalib menjadi utusan khusus Rasulullah dalam menghadapi kabilah Najran di Yaman. Rasulullah saw kemudian berkata : “ Hai Buraidah, janganlah engkau menyebut tentang perlakuan Ali, sebab Ali dari saya dan saya bagian daripada Ali. Bukankah saya harus diutamakan oleh orang beriman daripada diri mereka sendiri ? Benar, ya Rasulullah jawab Buraidah. Kemudian nabi berkata : “ Siapa yang menjadi tuannya, maka Ali adalah tuannya “ . Sabda nabi tersebut sebenarnya di khususkan kepada sahabat Buraidah agar dia percaya sepenuhnya kepada kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Ada juga riwayat yang mengatakan bahwa Usamah bin Zaid berkata kepada Ali bin Abi Thalib : “ Wahai Ali, anda bukanlah tuan saya “. Mendengar itu maka nabi bersabda kepada sahabatnya : “ Siapa yang bertuan kepada saya, maka Ali juga adalah tuannya “.
Setelah sampai di Ghadir Khum, Nabi Muhammad saw kembali menceritakan hal tersebut, agar isu negatif kepada kepemimpinan Ali harus diluruskan kepada semua orang. Semua sahabat mengakui tentang kelebihan Ali dan yakin dengan kepemimpinan Ali, tetapi tidak berarti bahwa pernyataan nabi tersebut tentang Ali sebagai tuan, menjadi wasiat kepemimpinan Ali setelah nabi meninggal dunia. Jika kita perhatikan bahwa pada waktu itu Ali bin Abi Thalib adalah diutus nabi ke Yaman. Oleh sebab itu nabi berkata : “ Ali itu adalah dariku, dan aku adalah daripada Ali “. Artinya Ali diutus nabi ke Yaman, dan dia adalah wakil nabi di kawasan yaman. Oleh sebab itu kepemimpinan Ali di yaman juga bagian dari kepemimpinan nabi. Untuk menguatkan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib tersebut maka nabi berdoa : Ya Allah tolonglah orang yang menolong Ali, hinakan orang yang menghina Ali, dan seterusnya sebagaimana doa nabi diatas.
Sangat disayangkan kelompok Rafidhah menyatakan bahwa peristiwa di Ghadir Khum itu merupakan dalil bahwa Ali adalah pemegang wasiat kepemimpinan setelah Rasulullah, dan menyatakan bahwa kepemimpinan Abubakar, Umar bin Khatab serta Usman bin Affan adalah tidak sah. Padahal jika kita teliti sejarah, bahwa pernyataan Rasulullah tersebut bukan berkaitan dengan kesibnambungan kekhalifahan setelah nabi meninggal tetapi berkaitan dengan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib di intik mengatur dan menghadapi kabilah Najran di kawasan yaman, sebagaimana nabi juga mengutus sahabat-sahabat lain untuk menjadi gubernur di negeri-negeri yang lain seperti negeri Bahrain dan lain sebagainya. Sejarah mencatat bahwa Rasulullah pernah melantik beberapa sahabat beliau untuk memimpin negeri tersebut dan juga kadang kala melantik sahabat tertentu untuk tugas-tugas khusus kepada kabilah tertentu.
Jika benar dakwaan kelompok Rafidhah bahwa itu merupakan wasiat Rasulullah untuk kepemimpinan umat setelah nabi meninggal, maka mustahil sahabat berani melantik Abubakar sebagai pengganti kepemimpinan nabi. Ali sendiri ikut menyetujui kekhalifahan Abubakar, dan juga kemepimpinan kedua kepada Umar bin Khattab dan seterusnya juga setuju dengan kepemimpinan Usman bin Affan. Ada orang yang bertanya kepada Ali mengapa beliau tidak mengambil kekhalifahan Abubakar, maka Ali bin Abi Thalib menjawab : “ Jika memang ada wasiat dari Rasul tentang hal tersebut, maka tidak mungkin saya tidak mengambilnya, dan saya akan berperang untuk itu “ ( Kitab Insanul Uyum, jilid 3, hal. 309 ).
Kaum Rafidhah Syiah juga menyatakan bahwa sahabat yang mendengar khutbah nabi tersebut sengaja menyembunyikan isi khutbah, padahal tidak mungkin ada sahabat yang berani menyembunyikan isi khutbah tersebut apalagi dalam sejarah tercatat bahwa Zaid bin Arqam bercerita : “ Saya adalah salah seorang diantara tiga puluh orang sahabat yang turut mendengar khutbah Rasulullah tentang kelebihan Ali bin Abi Thalib tersebut tetapi saya tidak sebarkan, maka Allah menjadikan saya buta “. Oleh sebab itu sahabat mengakui kelebihan Ali diantara yang lain, tetapi juga mengakui kelebihan sahabat lain seperti Abubakar Shiddiq, malahan Ali bin Abu Thalib sendiri mengakui kelebihan Abubakar sebagaimana dalam kitab Nahjul Balaghah yang berisi ucapan Ali menyatakan bahwa setelah Abubakar menyampaikan pidato pelantikan sebagai kekhalifah, Ali menyahut : “ Kami menyaksikan kepribadian bahwa pribadi AbuBakar paling pantas dan lebih berhak daripada sahabat yang lain..Abubakar juga paling tua dan Rasulullah telah memintanya menjadi imam shalat sedangkan beliau masih hidup “. Lebih lanjut Ali bin Abi Thalib berkata : “ Aku telah dibaiat oleh umat yang pernah membai’at Abubakar, Umar dan Usman dan tidak seorangpun diantara yang hadir mempunyai pilihan lain atau sengaja tidak hadir karena tidak setuju. Semua merupakan hasil musyawarah antara Muhajirin dan Anshar “ ( Nahjul Balaghah, 366-367 )
Bani Hasyim juga menyetujui kekhalifahan Abubakar sebagaimana dinyatakan dalam satu riwayat bahwa Khalid bin Saad ibn As, sahabat nabi dari yaman mendatangi Bani Hasyim dan bertanya : “ Apakah kalian membaiat Abubakar dengan rela dan ikhlas ? Mereka menjawab : “ Benar demikian “.
Ali bin Abi Thalib juga menerima pepemimpinan Umar dan memuji Umar atas keberanian, dan kepemimpinannya malah sewaktu Umar ingin berangkat memimpin perang melawan Romawi, Ali mencegahnya dan berkata : “ Jika umar gugur di medan perang maka umat akan kehilangan pemimpin yang handal “. Ali menyerankan agar Umar mengutus seorang yang ahli perang “. Ali juga berkata : “ Sekiranya aku dapat menangkap orang yang mengatakan aku lebih utama daripada Abubakar dan Umar, niscaya aku akan menghukumnya dengan hukuman orang yang membuat pendustaan “ ( Ibnu Taimyah, Manhaj Sunnah, 219-220). Malahan pada suatu hari, Ali bin Abi Thalib berpidato di mimbar Kufah : “ Sebaik-baik umat ini slepas nabinya adalah Abubakar dan Umar “ ( alQafari, Masalah taqrib baina ahlusunah wa syiah, hal.134).
Sejarah juga mencatat bahwa hari khutbah nabi tersebut yaitu pada tanggal 18 Dzulhijah telah dijadikan oleh kelompok Rafidhah menjadi hari raya mereka dan mereka namakan dengan “Ied Ghadir “, untuk menampakkan seakan-akan mereka adalah kelompok yang mencintai Ali bin Abi Thalib. Cinta Ali dan keluarga nabi merupakan keharusan bagi umat Muhammad, tetapi jangan sampai cinta Ali dan keluarag nabi tersebut menjadi motivasi untuk mencaci maki sahabat nabi yang lain, apalagi mencaci maki sahabat dan khalifah Abubakar, Umar dan Usman.
Munculnya kaum seperti ini telah digambarkan oleh Rasulullah sebagaimana diceritakan Ali bin Abi Talib bahwa Rasulullah saw pernah bersabda "Akan muncul satu golongan di akhir zaman yang dipanggil Rafidhah. Mereka menolak Islam" (Ahmad, al-Musnad, j.1, hal.103). Demikian juga Imam az-Zahabi telah mengemukakan satu riwayat daripada Ali bin Abi Thalib sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Hajar al-Haithami bahawa Saidina Ali berkata Rasulullah saw bersabda "Akan muncul didalam umatku di akhir zaman nanti satu golongan yang dinamakan Rafidhah. Mereka menolak Islam". Imam ad-Daraqutni mengemukakan hadis ini dengan sedikit tambahan iaitu Rasulullah saw berkata kepada Ali "Sekiranya kamu menemui mereka hendaklah kamu bunuh mereka kerana mereka adalah golongan musyrikun. Ali berkata "Aku bertanya Rasulullah saw "Apakah tanda yang ada pada mereka? Baginda bersabda "Mereka terlalu memuji-muji engkau dengan sesuatu yang tidak ada pada engkau dan mereka memburuk-burukkan para Sahabat" (Imam Ibnu Hajar al-Haithami, as-Sawa'iqu al-Muhriqah, hal 102). Semoga umat Islam tidak terpengaruh dengan hakwaan mereka, dan tetap mencintai nabi, keluarga nabi dan juga sahabat-sahabat beliau sebagaimana Rasulullah bersabda : “ Ikutilah sunahku dan sunah khulafa Rasyidin setelahku nanti “. Fa’tabiru Ya Ilil Albab.
HIJRAH MENUJU “SHIRATAL MUSTAQIM “
Hijrah berasal dari kata-kata bahAsa arab “ ha-ja-ra ” yang berarti berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain atau dari suatu keadaan kepada keadaan yang lebih baik. Dalam kajian sejarah Islam, hijrah adalah peristiwa berpindahnya Nabi Muhammad sallahu alaihi wa salam dari kota kelahirannya Makkah al Mukarramah ke kota Yatsrib ( sekarang bernama Madinah). Sebenarnya hijrah adalah merupakan “sunnatullah” dalam sejarah kehidupan manusia. Nabi Adam hijrah dari surga ke atas bumi untuk mengemban amanat khalifah. Nabi Nuh hijrah dengan kapal yang menyelamatkan beliau dan pengikutnya dari bencana banjir. Nabi Ibrahim hijrah dari negeri Babilonia ke negeri Mesir dan negeri Palestina. Nabi Ismail hijrah dari negeri Palestina ke kota Makkah. Nabi Musa hijrah dari Mesir ke negeri Palestina. Nabi Yusuf hijrah dari negeri Kanan ke negeri Mesir.
Dalam al Quran banyak makna yang dimaksudkan dengan kata-kata hijrah. Diantaranya makna hijrah adalah meninggalkan perbuatan dosa (QS.Muddasir : 1-5).Hijrah juga bermakna hijrah menjauhi kawan dan lingkungan yang tidak baik dan mencari lingkungan yang lebih baik dengan cara yang baik dan bijaksana ( Surah AlMuzammil: 10 ). Hijrah adalah suatu usaha untuk melakukan sesuatu yang diperintahkan oleh Tuhan (QS.Al Ankabut : 26 ) Dalam ayat yang lain dinyatakan Hijrah juga bermakna meninggalkan cara hidup, adat, kebiasaan orang kafir sebab mereka akan selalu berusaha menjadikan ummat Islam agar mempunyai sikap hidup, tradisi, budaya, cara berpikir, cara bekerja, cara berdagang, cara berpakaian, cara hidup yang sama dengan cara dan pola mereka ( QS. An Nisa : 89).
Pasa saat sekarang ini, bagaimana negara barat dengan slogan demokrasi, transformasi dan hak asasi manusia, dan kebebasan sedang berusaha keras agar seluruh negara ummat Islam ikut peraturan, undang-undang yang mereka buat. Mereka menginginkan agar cara hidup, dan aturan ummat Islam sama dengan cara hidup dan aturan mereka, padahal umat Islam telah memiliki aturan, cara hidup yang berdasarkan nilai-nilai Islam. Padahal hidup mereka berbedan dengan cara hidup Islam. Mereka disibukkan oleh hidup keduniaan dengan memakai gaya hidup materialistik ( hanya mementingkan materi ) , atau gaya hidup hedonis ( hidup hanya untuk mencari kesenangan dengan menurutkan keinginan hawa nafsu perut dan syahwat) dan tidak pernah memikirkan bahwa di akhirat nanti masih ada kehidupan yang lebih abadi,padahal dalam Islam hidup akhirat lebih utama dari dunia. Hidup mereka dalam sehari-hari telah terpisah dari agama ( hidup sekular ) dan bagi mereka agama hanyalah urusan individu belaka, padahal bagi Islam agama harus menjadi landasan hidup yang tak terpisahkan. Mereka berekonomi dengan gaya kapitalis yang penuh dengan unsur riba,padahal dalam Islam riba adalah haram dan memudaratkan masyarakat.
Dalam bekerja yang menjadi tujuan utama adalah uang, karier, popularitas, padahal dalam Islam kerja adalah melaksanakan amanah khalifah. Mencari ilmu juga dengan tujuan sekular, agar nanti dapat kerja, kedudukan, titel dan lain sebagainya, sedangkan dalam Islam belajar adalah ibadah. Hubungan keluarga, antara anak dan bapak hanya sekedar hubungan darah. Hukum dan ikatan kekeluargaan tidak lagi mempunyai nilai-nilai spiritual , sehingga boleh jadi seorang anak tidak akan peduli dengan kematian orangtuanya, dan seorang bapak tidak lagi peduli dengan kemaksiatan yang dilakukan oleh anak-anaknya. Dalam perpakaian mereka tidak lagi memperdulikan masalah aurat, atau malu.. Busana bagi mereka hanyalah hiasan belaka bukan padahal dalam Islam adalah melaksanakan perintah Tuhan untuk menutup aurat. Dalam makanan mereka memakan apa saja yang penting enak dan bermanfaat tanpa memikirkan apakah makanan ini halal atau haram. Dalam bermasyarakat mereka menjadi insan individualis, sehingga boleh jadi seorang kaya tidak lagi mengenal siapakah nama dan bagaimanakah keadaan tetangga yang berada disamping rumahnya, padahal dalam Islam setidak beriman seseorang yang perutnya kennyang, sedangkan tetangga kelaparan. Ini adalah beberapa bentuk sikap hidup orang kafir yang tanpa sadar telah banyak mempengaruhi sikap hidup ummat Islam, padahal seharusnya cara hidup muslim berbeda dengan kafir secara totalitas.
Tanpa sadar kita telah mengikuti cara hidup mereka, padahal agama dan aqidah kita berlainan dengan agama mereka. Oleh sebab itulah kita harus selalu bersikap hijrah..hijrah…dan hijrah. Hijrah bukan berarti pindah tempat, tetapi hijrah dalam arti kita mempunyai niat, motivasi, sikap , penampilan, gaya hidup, cara berpikir yang tidak sama dengan mereka. Mengapa…? Karena mereka tidak beriman kepada Tuhan, apalagi kepada nabi Muhammad sedangkan kita manusia yang beriman kepada Allah dan Rasulullah; maka gaya hidup dan cara berpikir kita harus sesuai dengan petunjuk kehidupan yang telah Allah berikan dan juga dicontohkan oleh Rasulullah saw… Kita mempunyai Kitab Suci Al Quran, kita mempunyai Hadis dan Sunnah, maka hidup kita harus sesuai dengan kedua pedoman tersebut; bukan sesuai dengan kehidupan dan gaya mereka yang kafir. Itulah sebabnya kita membaca “ Ihdinasshiratal Mustaqim, shiratalladzina an’amta alaihim “. Hidup di atas “ Shiraatal Mustaqim “ hidup berdasarkan petunjuk Ilahi, bukan hidup dengan mengikut cara hidup orang - orang kafir yang sudah jelas telah mendapat predikat “ Maghduub alaihim , orang yang mendapat kemarahan Tuhan “ dan cara hidup mereka yang telah sesat , cara hidup “ Dhaaallin “. Inilah makna hijrah . Hijrah dari kondisi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, hijrah dari cara hidup “maghdub alaihin “ atau cara hidup “Dhallin “ kepada cara hidup “ Shiraatal Mustaqim “ seperti cara hidup “alladzi an’amta alaihim” cara hidup para nabi, dan orang shaleh yang telah mendahului kita.
Hijrah berarti juga usaha untuk mengembangkan potensi diri agar diri lebih baik sehingga dapat mengemban amanat khalifah di muka bumi. Hijrah dalam karier berarti berusaha untuk meningkatkan karier dengan tujuan mencari keridhaan Ilahi. Hijrah dalam ilmu juga berarti berusaha untuk mencari ilmu yang lebih banyak dengan tujuan agar dapat berguna bagi masyarakat . Hijrah dalam harta berarti berusaha mencari kekayaan yang lebih banyak untuk dapat menolong sesama manusia Tetapi itu semua harus dilakukan dengan motivasi yang suci, yaitu motivasi dan niat untuk mencari keridhaan Ilahi. Oleh karena itu mengapa rasulullah sejak awal sudah memperingati kita dengan sebuah hadis tentang niat berhijrah. Mengapa ini penting..? Karena banyak orang melakukan perubahan sikap , meningkatkan karier ( agar kedudukannya lebih baik ), mencari kekayaan ( agar hartanya lebih banyak ) atau mencari dan menambah ilmu bukan dengan niat “ untuk Allah dan rasul-Nya”. Inilah yang dijelaskan Nabi dalam hadis beliau yang maksudnya : “ Sesungguhnya setiap pekerjaan itu akan dinilai sesuai dengan niat dan motivasi dalam melakukannya. Oleh karena itu setiap orang akan mendapat balasan ataupun hasil sesuai dengan niat dan motivasinya tersebut. Maka barangsiapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya akan sampai kepada Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa yang melakukan hijrah karena mencari dunia atau mencari wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya akan sesuai dengan niat dan motivasi tersebut ( mendapat dunia atau wanita ) “.
Menurut Ibnu Daqiq, hadis ini terjadi disebabkan ada seorang sahabat yang berhijrah ke Madinah disebabkan oleh wanita yang bernama Ummu Qais…Dari hadis ini dapat disimpulkan bahwa niat dan motivasi berbuat adalah ukuran dari segalanya. Niat dan motivasi tersebut biasanya berdasarkan pada tiga hal. Pertama, hidup dan berbuat sesuatu dengan niat dan tujuan mencari kepuasaan keduniaan seperti mencari populeritas, mencari kedudukan, mencari kekayaan, dan lain sebagainya. Inilah sikap seorang materialis.Inilah yang dimaksud dalam hadis diatas dengan hijrah untuk dunia. Kedua, ada lagi manusia berbuat bukan mencari populeritas, kedudukan atau pangkat tetapi mencari kepuasan hawa nafsu, seperti untuk bersenang-senang , berfoya-foya, dan lain sebagainya. Inilah yang dinamakan hidup hedonis, yaitu hidup hanya untuk mencari kesenangan dan kepuasan belaka.Inilah yang dimaksud dalam hadis diatas dengan hijrah kepada wanita. Yang ketiga adalah hidup dan bekerja dengan niat mencari keridhaan Allah dengan cara menjalani petunjuk-Nya dan mengikuti cara hidup yang telah dicontohkan oleh rasul-Nya Muhammad saw. Inilah cara hidup seorang muslim. Inilah maksud hijrah kepada Allah dan RasulNya.
Mari kita perhatikan cara hidup kita selama ini. Sudahkah kita hidup, bekerja, berkeluarga, mendidik anak, memberi makan anak, berdagang, berkarya, berkarier, belajar, mencari ilmu, menjadi guru, mengajarkan ilmu, menjadi ustadz, menjadi da’i, menjadi direktur, menjadi ayah, menjadi ibu, menjadi isteri, menjadi pemimpin, menjadi pengurus, menjalankan ibadah shalat, menunaikan zakat, menunaikan rukun haji, mendatangi majlis pengajian, menjadi dosen, menikah, berpakaian, berpenampilan, benar-benar dengan niat mencari keridhaan Allah, dengan niat menjalankan sunnah Rasulullah, dengan niat ibadah ataukah sewaktu kita melakukan itu semua masih tersisa disana niat-niat keduniaan dan hawa nafsu….? Apakah hidup kita masih mengikuti cara hidup mereka yang “maghdub alaihim “ atau cara hidup orang yang “dhallin “ ? Mari kita berubah dan berhijrah dari cara hidup orang yang “maghduub alaihin “ tau cara hidup mereka yang “dhallin”, kepada cara hidup orang yang telah berada dalam jalan “ shiratal mustaqin “ dengan niat hijrah “ kepada Alah dan Rasulnya” bukan hidup hanya untuk tujuan dunia atau hawa nafsu belaka. Selamat Tahun Baru Hijrah. Selamat berhijrah..!
Subscribe to:
Posts (Atom)