Friday, November 12, 2010
MENSIKAPI PERBEDAAN IDUL ADHA 1431
Pada tanggal 6 November 2010 pukul 11.55 WIB , pemerintah melakukan pemantauan anak bulan di Pelabuhan Ratu untuk menentukan awal Dzulhijjah. Pada saat maghrib, maka anak bulan sudah ada pada ketinggian 1 derjat, 44. ( Anak bulan menurut kajian fiqih baru nampak terlihat jika berada pada ketingian 2 derjat ). Keberadaan anak bulan tersebut terdapat di Afrika Utara, Arab Saudi, Indoa dan Indosenesia bagian utara. Dengan adanya bulan pada ketinggian 1 derjat 44 tersebut akan menimbulkan perbedaan pendapat dalam menentukan awal Dzulhijjah antara hari Mingu, 7 November 2010 atau di hari senin, 8 November 2010, sebab ada perbedaan pandangan dalam menentukan awal bulan. Sebagian berpendapat bahwa wujudnya anak bulan ( hilal) walaupun belum sampai 2 derajat, berarti sudah dapat dipakai sebagai hukum, sehingga menurut kelompok wujdul hilal, awal Dzulhijjah jatuh pada hari Minggu 7 Novemver 2010. Sedang bagi kelompok kedua, jika anak bulan tidak sampai 2 derjat, berarti anak bulan tidak mungkin terlihat, sedangkan hukum baru jatuh jika anak bulan mungkin terlihat ( imkanurru’yah ), oleh sebab itu awal Dzulhijjah jatuh pada hari Senin, 8 Dzulhijjah.
Pada sidang itsbat 8 November 2010 yang merupakan forum resmi yang dihadiri perwakilan ormas-ormas Islam dan pakar hisab rukyat, pemerintah memutuskan Idul Adha jatuh pada 17 November 2010 ( mengikut penetapan satu Dzulhijjah jatuh pada hari Senin, 8 November 2010 ) , sebab pemerintah dan pakar hisab dari beberapa ormas Islam seperti Nahdatul Ulama, Persis, AlWashliyah, mengambil “imkanurru’yah” ( nampaknya anak bulan dengan kedudukan diatas 2 derajat ). Sedangkan dua Ormas Islam, Muhammadiyah berdasarkan kriteria wujudul hilal menyatakan Idul Adha jatuh pada 16 November ( mengikut penentuan satu Dzulhijjah jatuh pada hari Minggu, 7 November 2010 ) . Sedangkan Hizbut Tahrir, dan beberapa kelompok umat Islam yang lain akan menetapkan hari raya dengan melihat hari wukuf di Arafah. Jika hari wukuf jatuh pada 15 November 2010, maka hari raya pada 16 November 2010.
Perbedaan metrode nampaknya anak bulan antara “ wujudul hilal ( nampaknya “ dan “imkanurrukyah “ terjadi disebabkan perbedaan dalam memahami nash dalil tentang melihat anak bulan, daripada hadis nabi Muhammad saw : “ Hendaklah kamu berpuasa karena melihat anak bulan, dan berbukalah kamu karena melihat anak bulan, dan jika langit mendung maka cukupkanlah tiga puluh hari “ ( riwayat Muslim.). Kalimat “ melihat anak bulan “ ditafsirkan dengan dua metode. Metode pertama melihat anak bulan dalam arti “ mungkin dilihat anak bulan “, sehingga jika anak bulan tidak terlihat , seperti jika ada awan, atau belum sampai ke derjat yang terlihat, maka dianggap anak bulan belum nampak. Untuk itu perhitungan bulan hijriyah sebelumnya digenapkan tiga puluh hari. Metode kedua menyatakan bahwa “melihat anak bulan “ dalam arti “ sudah adanya bulan ( wujudul hilal ) “, sehingga jika bulan sudah ada, apakah terlihat atau tidak terlihat, disebabkan kecangkihan teknologi, dan perkiraan perhitungan ( hisab ), maka sudah dapat dipakai sebagai hukum.
Perbedaan juga terjadi dengan perbedaan Matla ( tempat keluar anak bulan ). Bagi sebagian ulama, muncul anak bulan di sauatu tempat di muka bumi ini, misalnya di Saudi Arabia, di Afrika, sudah dapat dijadikan patokan adanya bulan, walaupun di negeri lain tidak terlihat. Sedangkan bagi sebagian ulama lain seperti mazhab Syafii, menyatakan bahwa perbedaan Matla’ diambil kira, sebab nampak di suatu tempat, untuk hukum di tempat terbeut, dan tidak dapat berlaku bagi tempat yang belum nampak anak bulan. Pendapat ini berdasarkan bahwa waktu shalat juga berbeda dengan adanya matla’, sebab itu perbedaan menentukan awal bulan juga dibenarkan.
Dalam Fiqih Islam, perbedaan tersebut tidak menjadi masalah, apakah itu perbedaan metodologi, ataupun perbedaan matla’, tidak harus membuat umat Islam berpecah, sebab kedua metodologi tersebut mengacu kepada dalil yang sah berdasarkan nash yang kuat. Demikian juga perbedaan matla . Dalam hadis daripada Kuraib, menyatakan bahwa Ummu Fadl menghantarkannya menemui Muawiyah di negeri Syam ” Aku tiba di Syam dan menunaikan hajatnya sedangkan pemberitahuan anak bulan berkumandang di udara. Aku melihat anak bulan pada malam Jumat kemudian aku balik ke Madinah pada akhir bulan. Pada waktu itu aku ditanya oleh Ibnu Abbas yang menyebut anak bulan. Kata Ibnu Abbas, ” Bilakah kamu melihat anak bulan ? ” Aku menjawab : ” Kami melihatnya pada malam Jumat ”. Ibnu Abbas bertanya lagi : ” Adakah engkau sendiri melihat anak bulan ? ”. Aku menjawab : ” Ya, dan orang lainpun melihatnya, mereka berpuasa dan Muawiyah juga berpuasa ”. Ibnu Abbas berkata : ” Kami disini melihat anak bulan pada malam Sabtu, oleh karena itu kami terus berpuasa hingga kami sempurnakan 30 hari atau hingga kami melihat anak bulan syawal ”. Aku bertanya lagi : ” Tidakkah memadai bagi kalian dengan terlihatnya anak bulan itu dan puasanya khalifah Muawiyah ”. Ibnu Abbas menjawab : ” Tidak, beginilah caranya Rasulullah saw menyuruh kami ”. Hadis ini menjadi dalil bahwa terlihatnya bukamn d suatu negeri tidak dapat menjadi hukum bagi negeri yang lain, dan dalil bagi dibolehkannya berbeda dalam melihat anak bulan antara satu negeri dengan negeri yang lain. Kedua-duanya adalah sah dan tidak ada yang salah. Oleh sebab itu perbedaan hari raya nanti apakah 16 November atau 17 November jangan dijadikan alasan perpecahan umat. Kedua hari tersebut adalah benar, sebab perbedaan terletak dalam perbedaan metodologi pengambilan hukum penentuan awal bulan antara ” wujudul hilal ” dan ” imkanul hilal ”, atau perbedaan mengambil satu matla’ untuk seluruh dunia, atau menjadikan perbedaan matla dengan perbedaan hari menentukan awal bulan.
Sedangkan terkait dengan perbedaan puasa hari Arafah dijelaskan sebagai berikut. Ada dua pendapat terkait hari Arafah. Pendapat pertama mengaitkan puasa hari arafah dengan wukuf jamaah haji di Arafah. Pendapat kedua tidak mengaitkan dengan wukuf, tetapi dikaitkan dengan tanggal 9 Dzulhijjah, sebab puasa itu bukan karena wukuf tetapi karena jatuhnya 9 dzulhijjah. Pendapat yang mengaitkan dengan wukuf di Arafah berpendapat bahwa puasa/shaum Arafah tergantung tanggal pelaksanaan wukuf di Arafah. Pada musim haji 1431/2010 saat ini wukuf di Arafah ditetapkan pada 15 November 2010. Jadi, pada hari itulah mereka melaksanakan shaum Arafah dan beridul Adha pada 16 November 2010. Sedangkan pendapat mayoritas ulama di Indonesia dan Malaysia serta beberapa negara lainnya menyatakan bahwa puasa hari Arafah itu terjadi pada tanggal 9 Dzulhijjah yang ditetapkan secara lokal, sehingga jika hari raya 17 November maka puasa Arafah jatuh pada 16 November.
Sebagian masyarakat bingung, karena khawatir haram bila melakukan puasa pada tanggal 16 Dzulhijjah karena sebagian masyarakat sudah a beridul adha. Tidak perlu bingung, karena ibadah didasarkan pada keyakinan. Pilih dulu hari Idul Adha yang paling meyakinkan. Kalau seseorang memilih hari raya pada tanggal 17 November karena itu merupakan hasil sidang itsbat (penentuan ) pemerintah dan ormas Islam yang berdasarkan dalil syar’i, maka puasa arafah jatuh pada tanggal 16 November. Jika seseorang memilih hari raya pada 16 November sebab telah ditetapkan oleh ormas yang memakai dalil syari ” wujudul hilam ”, maka puasa Arafah jatuh pada hari Selasa 15 November. Sehingga pada hari Rabu nanti, ada kelompok yang berpuasa Arafah dan ada kelompok yang sudah shalat hari raya. Semua kelompok benar, sebab semua kelompok memakai metodologi penentuan berdasarkan dalil syar’i, hanya mereka berbeda metodologi. Hal yang paling utama, sesama pengikut kelompok jangan saling menyalahkan kelompok yang lain, atau menghina kelompok yang lain sebab semua berdasarkan kepada dalil yang kiuat. Selamat berhari raya Idul Adha, Mari berkorban dan jangan sampai menjadi korban propaganda musuh untuk memecahkan umat Islam. Fa’tabiru Ya Ulil albab.
Pada tanggal 6 November 2010 pukul 11.55 WIB , kementerian agama, pemerintah Indonesia melakukan pemantauan anak bulan di Pelabuhan Ratu untuk menentukan awal Dzulhijjah. Pada saat maghrib, maka anak bulan sudah ada pada ketinggian 1 derjat, 44. ( Anak bulan menurut kajian fiqih baru nampak terlihat jika berada pada ketingian 2 derjat ). Keberadaan anak bulan tersebut terdapat di Afrika Utara, Arab Saudi, Indoa dan Indosenesia bagian utara. Dengan adanya bulan pada ketinggian 1 derjat 44 tersebut akan menimbulkan perbedaan pendapat dalam menentukan awal Dzulhijjah antara hari Mingu, 7 November 2010 atau di hari senin, 8 November 2010, sebab ada perbedaan pandangan dalam menentukan awal bulan. Sebagian berpendapat bahwa wujudnya anak bulan ( hilal) walaupun belum sampai 2 derajat, berarti sudah dapat dipakai sebagai hukum, sehingga menurut kelompok wujdul hilal, awal Dzulhijjah jatuh pada hari Minggu 7 Novemver 2010. Sedang bagi kelompok kedua, jika anak bulan tidak sampai 2 derjat, berarti anak bulan tidak mungkin terlihat, sedangkan hukum baru jatuh jika anak bulan mungkin terlihat ( imkanurru’yah ), oleh sebab itu awal Dzulhijjah jatuh pada hari Senin, 8 Dzulhijjah.
Pada sidang itsbat 8 November 2010 yang merupakan forum resmi yang dihadiri perwakilan ormas-ormas Islam dan pakar hisab rukyat, pemerintah memutuskan Idul Adha jatuh pada 17 November 2010 ( mengikut penetapan satu Dzulhijjah jatuh pada hari Senin, 8 November 2010 ) , sebab pemerintah dan pakar hisab dari beberapa ormas Islam seperti Nahdatul Ulama, Persis, AlWashliyah, mengambil “imkanurru’yah” ( nampaknya anak bulan dengan kedudukan diatas 2 derajat ). Sedangkan dua Ormas Islam, Muhammadiyah berdasarkan kriteria wujudul hilal menyatakan Idul Adha jatuh pada 16 November ( mengikut penentuan satu Dzulhijjah jatuh pada hari Minggu, 7 November 2010 ) . Sedangkan Hizbut Tahrir, dan beberapa kelompok umat Islam yang lain akan menetapkan hari raya dengan melihat hari wukuf di Arafah. Jika hari wukuf jatuh pada 15 November 2010, maka hari raya pada 16 November 2010.
Perbedaan metrode nampaknya anak bulan antara “ wujudul hilal ( nampaknya “ dan “imkanurrukyah “ terjadi disebabkan perbedaan dalam memahami nash dalil tentang melihat anak bulan, daripada hadis nabi Muhammad saw : “ Hendaklah kamu berpuasa karena melihat anak bulan, dan berbukalah kamu karena melihat anak bulan, dan jika langit mendung maka cukupkanlah tiga puluh hari “ ( riwayat Muslim.). Kalimat “ melihat anak bulan “ ditafsirkan dengan dua metode. Metode pertama melihat anak bulan dalam arti “ mungkin dilihat anak bulan “, sehingga jika anak bulan tidak terlihat , seperti jika ada awan, atau belum sampai ke derjat yang terlihat, maka dianggap anak bulan belum nampak. Untuk itu perhitungan bulan hijriyah sebelumnya digenapkan tiga puluh hari. Metode kedua menyatakan bahwa “melihat anak bulan “ dalam arti “ sudah adanya bulan ( wujudul hilal ) “, sehingga jika bulan sudah ada, apakah terlihat atau tidak terlihat, disebabkan kecangkihan teknologi, dan perkiraan perhitungan ( hisab ), maka sudah dapat dipakai sebagai hukum.
Perbedaan juga terjadi dengan perbedaan Matla ( tempat keluar anak bulan ). Bagi sebagian ulama, muncul anak bulan di sauatu tempat di muka bumi ini, misalnya di Saudi Arabia, di Afrika, sudah dapat dijadikan patokan adanya bulan, walaupun di negeri lain tidak terlihat. Sedangkan bagi sebagian ulama lain seperti mazhab Syafii, menyatakan bahwa perbedaan Matla’ diambil kira, sebab nampak di suatu tempat, untuk hukum di tempat terbeut, dan tidak dapat berlaku bagi tempat yang belum nampak anak bulan. Pendapat ini berdasarkan bahwa waktu shalat juga berbeda dengan adanya matla’, sebab itu perbedaan menentukan awal bulan juga dibenarkan.
Dalam Fiqih Islam, perbedaan tersebut tidak menjadi masalah, apakah itu perbedaan metodologi, ataupun perbedaan matla’, tidak harus membuat umat Islam berpecah, sebab kedua metodologi tersebut mengacu kepada dalil yang sah berdasarkan nash yang kuat. Demikian juga perbedaan matla . Dalam hadis daripada Kuraib, menyatakan bahwa Ummu Fadl menghantarkannya menemui Muawiyah di negeri Syam ” Aku tiba di Syam dan menunaikan hajatnya sedangkan pemberitahuan anak bulan berkumandang di udara. Aku melihat anak bulan pada malam Jumat kemudian aku balik ke Madinah pada akhir bulan. Pada waktu itu aku ditanya oleh Ibnu Abbas yang menyebut anak bulan. Kata Ibnu Abbas, ” Bilakah kamu melihat anak bulan ? ” Aku menjawab : ” Kami melihatnya pada malam Jumat ”. Ibnu Abbas bertanya lagi : ” Adakah engkau sendiri melihat anak bulan ? ”. Aku menjawab : ” Ya, dan orang lainpun melihatnya, mereka berpuasa dan Muawiyah juga berpuasa ”. Ibnu Abbas berkata : ” Kami disini melihat anak bulan pada malam Sabtu, oleh karena itu kami terus berpuasa hingga kami sempurnakan 30 hari atau hingga kami melihat anak bulan syawal ”. Aku bertanya lagi : ” Tidakkah memadai bagi kalian dengan terlihatnya anak bulan itu dan puasanya khalifah Muawiyah ”. Ibnu Abbas menjawab : ” Tidak, beginilah caranya Rasulullah saw menyuruh kami ”. Hadis ini menjadi dalil bahwa terlihatnya bukamn d suatu negeri tidak dapat menjadi hukum bagi negeri yang lain, dan dalil bagi dibolehkannya berbeda dalam melihat anak bulan antara satu negeri dengan negeri yang lain. Kedua-duanya adalah sah dan tidak ada yang salah. Oleh sebab itu perbedaan hari raya nanti apakah 16 November atau 17 November jangan dijadikan alasan perpecahan umat. Kedua hari tersebut adalah benar, sebab perbedaan terletak dalam perbedaan metodologi pengambilan hukum penentuan awal bulan antara ” wujudul hilal ” dan ” imkanul hilal ”, atau perbedaan mengambil satu matla’ untuk seluruh dunia, atau menjadikan perbedaan matla dengan perbedaan hari menentukan awal bulan.
Sedangkan terkait dengan perbedaan puasa hari Arafah dijelaskan sebagai berikut. Ada dua pendapat terkait hari Arafah. Pendapat pertama mengaitkan puasa hari arafah dengan wukuf jamaah haji di Arafah. Pendapat kedua tidak mengaitkan dengan wukuf, tetapi dikaitkan dengan tanggal 9 Dzulhijjah, sebab puasa itu bukan karena wukuf tetapi karena jatuhnya 9 dzulhijjah. Pendapat yang mengaitkan dengan wukuf di Arafah berpendapat bahwa puasa/shaum Arafah tergantung tanggal pelaksanaan wukuf di Arafah. Pada musim haji 1431/2010 saat ini wukuf di Arafah ditetapkan pada 15 November 2010. Jadi, pada hari itulah mereka melaksanakan shaum Arafah dan beridul Adha pada 16 November 2010. Sedangkan pendapat mayoritas ulama di Indonesia dan Malaysia serta beberapa negara lainnya menyatakan bahwa puasa hari Arafah itu terjadi pada tanggal 9 Dzulhijjah yang ditetapkan secara lokal, sehingga jika hari raya 17 November maka puasa Arafah jatuh pada 16 November.
Sebagian masyarakat bingung, karena khawatir haram bila melakukan puasa pada tanggal 16 Dzulhijjah karena sebagian masyarakat sudah a beridul adha. Tidak perlu bingung, karena ibadah didasarkan pada keyakinan. Pilih dulu hari Idul Adha yang paling meyakinkan. Kalau seseorang memilih hari raya pada tanggal 17 November karena itu merupakan hasil sidang itsbat (penentuan ) pemerintah dan ormas Islam yang berdasarkan dalil syar’i, maka puasa arafah jatuh pada tanggal 16 November. Jika seseorang memilih hari raya pada 16 November sebab telah ditetapkan oleh ormas yang memakai dalil syari ” wujudul hilam ”, maka puasa Arafah jatuh pada hari Selasa 15 November. Sehingga pada hari Rabu nanti, ada kelompok yang berpuasa Arafah dan ada kelompok yang sudah shalat hari raya. Semua kelompok benar, sebab semua kelompok memakai metodologi penentuan berdasarkan dalil syar’i, hanya mereka berbeda metodologi. Hal yang paling utama, sesama pengikut kelompok jangan saling menyalahkan kelompok yang lain, atau menghina kelompok yang lain sebab semua berdasarkan kepada dalil yang kiuat. Selamat berhari raya Idul Adha, Mari berkorban dan jangan sampai menjadi korban propaganda musuh untuk memecahkan umat Islam. Fa’tabiru Ya Ulil albab.
Subscribe to:
Posts (Atom)