ALHIKAM 10 : IKHLAS ADALAH ROH AMAL PERBUATAN
AMAL PERBUATAN ITU ADALAH KERANGKA SEDANGKAN ROHNYA TERDAPAT PADA KEIKHLASAN YANG TERSEMBUNYI DALAM AMALAN TERSEBUT.( IBNU ATHAILLAH SAKANDARY )
PENJELASAN :
Setiap perbuatan manusia terdapat sesuatu yang dzahir dari perbuatan tersebut, yaitu yang dilakukan oleh anggota badan dan sesuatu yang dalam batin yaitu niat perbuatan yang tersembunyi di dalam hati sanubari si pembuat amal itu sendiri. Nilai suatu perbuatan akan ditentukan oleh kualitas perbuatan dan niat perbuatan, malahan niat perbuatan merupakan landasan dari seluruh perbuatan. Allah Taala hanya menerima perbuatan yang dilakukan dengan ikhlas. Ikhlas bukan berarti kosong, walaupun makna asal kata ikhlas yaitu “kha-la-sa” adalah kosong. Secara definisi ikhlas adalah sesuatu perbuatan yang dilakukan hanya karena Allah Taala. Hal ini dinyatakan dalam kitab suci Al Quran :
QS. Bayinah 5 : Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya untuk menyembah Allah dengan penuh keikhlasan dalam menjalankan agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.
QS. AlKahfi : 110. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".
QS.Zumar : 3. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).
QS. An Nisa : 146. kecuali orang-orang yang taubat dan Mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.
QS. AlAn’am : 162-163: Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)".
Ikhlas adalah melakukan sesuatu perbuatan hanya karena Allah, karena perintah Allah “lillah “. Itulah sbabnya dalam setiap niat terdapat kalimat “lillahi Taala “. Keikhlasan niat karena Allah itu merupakan syarat diterimanya amal perbuatan, sebagaimana dinyatakan dalam hadis nabi : “ Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu dilakukan dengan niat. Dan setiap seuatu itu mendapatkan balasan sesuai dengan niat amal perbuatannya. Barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan RasulNya maka dia akan mendapatkan Allah dan RasulNya. Barangsiapa yang berhijrah karena mencari dunia atau mencari perempuan yang akan dinikahinya maka dia akan mendapatkan apa yang diniatkannya ”. ( riwayat Bukhari,Muslim,Abu Daud,Tirmidzi,Nasai ). Dari hadis ini ada tiga kategori tujuan amal yaitu Allah dan rasulNya, dunia ( lambang dari materi ) dan perempuan ( lambang dari hawa nafsu ). Setiap orang dalam berbuat tidak terlepas dari niat karena Allah, nitat karena materi atau niat karena mencari kepuasan hawa nafsu. Dan Allah Taala hanya menerima sesuatu perbuatan yang hanya diniatkan karena Allah, dan untuk Allah. Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah dinyatakan : ” Allah akan berkata nanti pada hari kiamat kepada orang yang syirik dalam beramal kepadaNya : Ambillah amal perbuatan itu untuk sesuatu yang engkau tujukan dan niatkan ” ( Hadis riwayat Thabrani dan Hakim ). Dalam hadis dari Abu Hurairah dinyatakan bahwa Rasulullah saw bersabda : ” Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk kamu dan juga kepada tidak melihat kepada badan kamu tetapi Dia hanya melihat kepada hati dan perbuatan kamu ”. Hal ini sesaui dengan ayat Al Quran :
QS. Ali Imran : 29. Katakanlah: "Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah Mengetahui"
QS. Al hajj : 37. Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamu itulah yang dapat mencapainya.
Abu Hurairah mendengar nabi bersabda : ” Nanti manusia yang pertama disoal di hari kiamat adalah orang yang berperang di jalan Allah, sewaktu ditanya Allah : Apa yang telah engkau lakukan dalam hidupmu ? Orang itumenjawab : Saya telah berperang di jalanMu sehingga aku mati syahid ”. Allah menjawab : ” engkau telah berdusta, sebab engkau berperang bukan karena Aku, tetapi agar engkau disebut sebagai pahlawan, dan engkau telah mendapatkan sebutan tersebut, maka neraka tempatmu ”. Manusia kedua orang yang mengajar manusia, ditanya Allah : Apa yang engkau lakukan dalam hidupmu ? Orang itu menjawab : Saya telah mengajar ilmu dan al Quran.” Allah menjawab : “ engkau berdusta, sebab engkau mengajarkan ilmu bukan karena Aku, tetapi agar engkau dianggap sebagai orang alim, dan engkau mengajarkan Quran agar engkau dianggap Qari, dan engkau telah mendapatkan panggilan tersebut, maka ekarang neraka tempatmu “. Manusia ketiga adalah orangkaya yang banyak bersedekah, Allah bertanya : “ Apa yang telah engkau lakukan dalam hidupmu?”.Orang itu menjawab : “ aku telah membelanjakan hartaku , bersedekah siang dan malam “. Allah menjawab : engkau melakukan itu bukan karena Aku tetapi agar engkau dipanggil sebagai seorang yang dermawan, dan engkau telah mendapatkan itu, maka neraka tempatmu “. ( Hadis Muslim /1905). Mengapa Allah tidak menerima amal perbuatan ketiga orang tersebut ? Karena mereka melakukan untuk dipanggil sebagai syahid,alim dan dermawan adalah riya’, dan riya’ itu adalah syirik, dalam arti menduakan niat dalam suatu perbuatan. Orang yang ikhlas dalam al Quran disebut dengan alabrar yaitu mereka yang berkata:
QS. Al Insan : 9. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih ”.
Sebab itu ulama mendefinisikan ikhlas yaitu (1) melakukan perbuatan hanya karena Allah (2) Melupakan pandangan makhluk dan thanya mengharapkan pandangan Allah. Oleh sebab itu Ibnu Qayim menyatakan : ” Barangsiapa yang mengharapkan ucapan ikhlas dari perbuatannya maka dia itu belum mencapai tingkatan ikhlas ”. Sehingga seorang ulama, Fudail berkata : Meninggalkan sesuatu perbuatan karena manusia adalah riya’ dan melakukan perbuatan karena manusia adalah syirik, sedangkan ikhlas adalah engkau selamat dari keduanya. Dengan ikhlas dalam beramal maka kita terhindar dari mereka yang mendapat kerugian beramal sebagaimana dinyatakan dalam al uran :
QS. AlKahfi 103-104 : Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya ”. Wallahu A’lam.
( Muhammad Arifin Ismail/ Pengajian Ummahatul Muslimah, Kuala Lumpur, Jumat 28 Januari 2011)
Showing posts with label Tazkirah. Show all posts
Showing posts with label Tazkirah. Show all posts
Sunday, January 30, 2011
Tuesday, January 25, 2011
AL MALIK
Al MALIK ( Tuhan Yang Maha Kuasa )
Makna al Malik : Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki ( Surah al hasyr /23 : 23 )
Sebutan al malik dapat juga disebutkan kepada manusia tetapi dengan keyakinan bahwa pemilikan dan kekuasaan itu adalag datang dari Allah ( Surah al baqarah /2 : 246 , Surah Ali Imran /3 : 26 ).
Al Malik dalam al Quran memiliki makna :
a.Menghidupkan dan Mematikan ( Surah at taubah /9 : 116 ).
b.memberi rezeki ( Surah an Nahl/16 : 73 )
c. Memberi dzurriyat kepada manusia ( surah as Syura/42 : 49 ).
d. Menguasai pendengaran dan penglihatan ( Surah Yunus/10 : 31 ).
e. Menentukan mudharat dan manfaat ( surah al Maidah /5 : 76 ; al Isra/17 : 56 )
f.Menguasai hari pembalasan di hari akhirat
( surah Al fatihah/1 : 4 , Al An’am/6 : 73, Al hajj/22 : 56 , al Furqan/25 : 26 , Ghafir/40 : 16).
g.Mengazab dan memaafkan ( surah al maidah/5:40, alFath/48 :14 ).
h.Memberi syafaat ( surah az Zumar/39 : 44 )
i.Menguasai manusia sepenuhnya ( an nas/114:2 )
j.Menguasai segala sesuatu ( surah ali Imran/3 : 189 ).
Sikap manusia dengan memahami sifat al malik :
a. Beribadah kepadaNya ( alMukminun/23 : 116 ).
b. Meminta ditambahkan ilmu ( surah taha/20 :118 ).
c.Meyakini bahwa segala sesuatu akan kembali kepadaNya ( surah Nur/24:42)
d.Bertasbih memujiNya ( Yasin/36:83, AlJumuah/62:1, Taghabun/64:1)
e.Berdoa dengan meminta kekuasaan kepadaNya ( Ali Imran/3:26)
Hadis tentang kekuasaan :
“Setiap dari kamu adalah pemimpin dan setiap kamu bertanggungjawab atas kepemimpinannya masing-masing “ ( hadis riwayat Ahmad )
“Tujuh orang yang akan mendapat perlindungan di hari akhirat nanti, pertama adalah Pemimpin yang adil ‘ ( riwayat Bukhari dan Muslim).
“ Pemimpin yang adil adalah salah seorang dari tiga orang yang tidak akan ditolak doanya “ ( hadis riwayat Tirmidzi )
“ Orang yang adil akan mendapat minbar dari cahaya disisi Tuhan Yang Maha pemurah “ ( hadis riwayat Muslim dan nasai )
“ Satu jam keadilan yang dilakukan oleh seorang pemimpin nilainya sama dengan ibadah enam puluh tahun “ ( riwayat Thabrani ).
“ Satu jam kedzaliman lebih berat disisi Allah daripada kemaksiatan selama enam puluh tahun “ ( Isbahani ).
“ Wahai manusia, sesunguhnya Allah tidak menerima shalat pemimpin yang dzalim ‘ (Hakim )
“ Sesiapa yang meminta kekuasaan atas manusia dan dia mendapatkannya kemudian kedzalimannya mengalahkan keadilannya maka baginya neraka jahannam “ ( riwayat Abu daud ).
“ Manusia yang paling dicintai Allah adalah pemimpin yang adil “ ( riwayat Tirmidzi )
“Tidak ada seseorang yang memimpin tiga orang atau lebih kecuali tangannya akan terbelenggu dan belenggu itu tidak akan dibukakan kecualid dengan keadilannya “ ( riwayat Ibnu Hibban ).
“ Orang yang pertama masuk neraka adalah pemimpin yang memiliki kekayaan dan tidak menunaikan kewajibannya kepada Allah “ ( ibnu khuzaimah )
“Sesiapa yang mendapat kekuasaan kemudian tidak menjaga kekuasaan tersebut sebagaimana menjaga dirinya sendiri maka dia tidak mendapat waanginya surga “ ( riwayat Thabrani ).
“Allah selalu bersama seorang pemimpin selala pemimpin itu tidak melakukan kedzaliman, jika dia berbuat kedzaliman, maka Allah akan meninggalkannya dan dia akan berada bersama syetan “ ( Tirmidzi ).
“ Sesiapa yang mendapatkan kekuasaan tetapi tidak melihat kepada keperluan dan hajat orang ramai maka Allah tidak akan melihat kepadanya ‘ ( Thabrani ).
“ Sesiapa yang diberi Allah kekuasaan tetapi dia menipu rakyatnya maka Allah haramkan dia daripada masuk ke dalam surge “ ( Bukhari Muslim ).
“ Sesiapa yang diberi kuasa dan tidak melakukannya dengan sungguh-sungguh dan dengan sebaik-baiknya maka dia tidak akan masuk ke dalam surga “ ( Muslim dan Thabrani ).
“ Sesiapa pemimpin yang menutup pintunya daripada orang yang menghajatkan pertolongannya , atau orang faqir dan miskin maka Allah akan menutup langit daripadanya “ ( Hakim ).
“ Sesiapa yang memilih seseorang karena ta’asub sedangkan diantara mereka ada orang yang lebih layak untuk melakukannya maka dia telah mengkhianati allah , RasulNya dan orang yang beriman “ ( Hakim ).
“Sesiapa yang memilih pemimpin karena kecintaan, sedangkan dia tidak layak untuk memimpin maka kutukan Allah akan datang kepadanya “ ( Hakim ).
“ Abu Dzar bertanya kepada rasulullah : ya Rasulullah, mengapa baginda tidak memilihku untuk memegang sesuatu kekuasaan? Rasul memegang bahu Abu dzar sambil bersabda : “ Wahai abu dzar, sesungguhnya engkau ini lemah, sedangkan kekuasaan itu adalah amanah, dan amanah itu nanti pada hari kiamat itu akan menjadi penyesalan di hari kiamat, kecuali orang yang mengambil amanat itu dengan menjalankan kewajiban-kewajibannya “( Muslim ).
( Abu dzar adalah sahabat nabi yang sangat taat dalam menjalankan agama, dan termasuk ahli suffah ( kelompok yang selalu beribadah , berzikir di tempat belakang rumah nabi ), tetapi nabi tidak memberikannya kekuasaan disebabkan dia orang yang lemah, maka nabi tidak memberikannya kekuasaan walaupun dia orang yang rajin beribadah ).
Wallaahu a’lam.
Makna al Malik : Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki ( Surah al hasyr /23 : 23 )
Sebutan al malik dapat juga disebutkan kepada manusia tetapi dengan keyakinan bahwa pemilikan dan kekuasaan itu adalag datang dari Allah ( Surah al baqarah /2 : 246 , Surah Ali Imran /3 : 26 ).
Al Malik dalam al Quran memiliki makna :
a.Menghidupkan dan Mematikan ( Surah at taubah /9 : 116 ).
b.memberi rezeki ( Surah an Nahl/16 : 73 )
c. Memberi dzurriyat kepada manusia ( surah as Syura/42 : 49 ).
d. Menguasai pendengaran dan penglihatan ( Surah Yunus/10 : 31 ).
e. Menentukan mudharat dan manfaat ( surah al Maidah /5 : 76 ; al Isra/17 : 56 )
f.Menguasai hari pembalasan di hari akhirat
( surah Al fatihah/1 : 4 , Al An’am/6 : 73, Al hajj/22 : 56 , al Furqan/25 : 26 , Ghafir/40 : 16).
g.Mengazab dan memaafkan ( surah al maidah/5:40, alFath/48 :14 ).
h.Memberi syafaat ( surah az Zumar/39 : 44 )
i.Menguasai manusia sepenuhnya ( an nas/114:2 )
j.Menguasai segala sesuatu ( surah ali Imran/3 : 189 ).
Sikap manusia dengan memahami sifat al malik :
a. Beribadah kepadaNya ( alMukminun/23 : 116 ).
b. Meminta ditambahkan ilmu ( surah taha/20 :118 ).
c.Meyakini bahwa segala sesuatu akan kembali kepadaNya ( surah Nur/24:42)
d.Bertasbih memujiNya ( Yasin/36:83, AlJumuah/62:1, Taghabun/64:1)
e.Berdoa dengan meminta kekuasaan kepadaNya ( Ali Imran/3:26)
Hadis tentang kekuasaan :
“Setiap dari kamu adalah pemimpin dan setiap kamu bertanggungjawab atas kepemimpinannya masing-masing “ ( hadis riwayat Ahmad )
“Tujuh orang yang akan mendapat perlindungan di hari akhirat nanti, pertama adalah Pemimpin yang adil ‘ ( riwayat Bukhari dan Muslim).
“ Pemimpin yang adil adalah salah seorang dari tiga orang yang tidak akan ditolak doanya “ ( hadis riwayat Tirmidzi )
“ Orang yang adil akan mendapat minbar dari cahaya disisi Tuhan Yang Maha pemurah “ ( hadis riwayat Muslim dan nasai )
“ Satu jam keadilan yang dilakukan oleh seorang pemimpin nilainya sama dengan ibadah enam puluh tahun “ ( riwayat Thabrani ).
“ Satu jam kedzaliman lebih berat disisi Allah daripada kemaksiatan selama enam puluh tahun “ ( Isbahani ).
“ Wahai manusia, sesunguhnya Allah tidak menerima shalat pemimpin yang dzalim ‘ (Hakim )
“ Sesiapa yang meminta kekuasaan atas manusia dan dia mendapatkannya kemudian kedzalimannya mengalahkan keadilannya maka baginya neraka jahannam “ ( riwayat Abu daud ).
“ Manusia yang paling dicintai Allah adalah pemimpin yang adil “ ( riwayat Tirmidzi )
“Tidak ada seseorang yang memimpin tiga orang atau lebih kecuali tangannya akan terbelenggu dan belenggu itu tidak akan dibukakan kecualid dengan keadilannya “ ( riwayat Ibnu Hibban ).
“ Orang yang pertama masuk neraka adalah pemimpin yang memiliki kekayaan dan tidak menunaikan kewajibannya kepada Allah “ ( ibnu khuzaimah )
“Sesiapa yang mendapat kekuasaan kemudian tidak menjaga kekuasaan tersebut sebagaimana menjaga dirinya sendiri maka dia tidak mendapat waanginya surga “ ( riwayat Thabrani ).
“Allah selalu bersama seorang pemimpin selala pemimpin itu tidak melakukan kedzaliman, jika dia berbuat kedzaliman, maka Allah akan meninggalkannya dan dia akan berada bersama syetan “ ( Tirmidzi ).
“ Sesiapa yang mendapatkan kekuasaan tetapi tidak melihat kepada keperluan dan hajat orang ramai maka Allah tidak akan melihat kepadanya ‘ ( Thabrani ).
“ Sesiapa yang diberi Allah kekuasaan tetapi dia menipu rakyatnya maka Allah haramkan dia daripada masuk ke dalam surge “ ( Bukhari Muslim ).
“ Sesiapa yang diberi kuasa dan tidak melakukannya dengan sungguh-sungguh dan dengan sebaik-baiknya maka dia tidak akan masuk ke dalam surga “ ( Muslim dan Thabrani ).
“ Sesiapa pemimpin yang menutup pintunya daripada orang yang menghajatkan pertolongannya , atau orang faqir dan miskin maka Allah akan menutup langit daripadanya “ ( Hakim ).
“ Sesiapa yang memilih seseorang karena ta’asub sedangkan diantara mereka ada orang yang lebih layak untuk melakukannya maka dia telah mengkhianati allah , RasulNya dan orang yang beriman “ ( Hakim ).
“Sesiapa yang memilih pemimpin karena kecintaan, sedangkan dia tidak layak untuk memimpin maka kutukan Allah akan datang kepadanya “ ( Hakim ).
“ Abu Dzar bertanya kepada rasulullah : ya Rasulullah, mengapa baginda tidak memilihku untuk memegang sesuatu kekuasaan? Rasul memegang bahu Abu dzar sambil bersabda : “ Wahai abu dzar, sesungguhnya engkau ini lemah, sedangkan kekuasaan itu adalah amanah, dan amanah itu nanti pada hari kiamat itu akan menjadi penyesalan di hari kiamat, kecuali orang yang mengambil amanat itu dengan menjalankan kewajiban-kewajibannya “( Muslim ).
( Abu dzar adalah sahabat nabi yang sangat taat dalam menjalankan agama, dan termasuk ahli suffah ( kelompok yang selalu beribadah , berzikir di tempat belakang rumah nabi ), tetapi nabi tidak memberikannya kekuasaan disebabkan dia orang yang lemah, maka nabi tidak memberikannya kekuasaan walaupun dia orang yang rajin beribadah ).
Wallaahu a’lam.
YA RAHMAN
RAHMAN DAN RAHIM
1. Makna rahman : Yang Maha Pengasih ( Surah ar Rahman /55 : 1-7 ).
Makna Rahim : Yang Maha Penyayang
( Surah al baqarah/2 : 105 ; Al Araf/7 : 156 , Al Ahzab/33 : 43.
2. Sifat yang menerangkan ar Rahman
a. Menciptakan langit dan bumi dan apa yang diantara keduanya
( Al Furqan/25 :59 , Al Mulk/67:3 )
b. Menurunkan al Quran yang merupakan petunjuk hidup
( Al Fushilat/41 :2 )
c. Mengajarkan Al Quran dan menetangkan penjelasannya
( ar Rahman/55 : 1-4 ).
d.Memberikan pertolongan kepada hamba-hambaNya.
( Al Mulk /67 : 20 ).
e. Memberikan penangghuna azab ( al Maryam/19 : 75 ).
f. Memberikan kasih sayang ( Maryam/19 :96 ).
g.Berkuasa ke atas makhlukNya di dunia ( al Mulk/67:19 ).
h.Berkuasa atas makhluk di akhirat ( an naba/78 : 37-38 ).
3. Sikap setelah memahami ar Rahman
a. Senantiasa beriman dan bertawakkal kepada Allah ( al Mulk/67 : 29 ).
b. Meminta pertolongan kepada Allah dalam setiap perkara ( al Fatihah/1 :1)
c.Bersyukur dan berterima kasih kepada Allah ( al Fatihah/1:2 ).
d.Beribadah kepada Allah ( al hasyr/59 :22 ).
e.Menyeru dan memohon pertolongan hanya kepada Allah
(Maryam/19:18; AlIsra/17:110 , An naml/27 : 30)
f. Merendahkan diri di hadapan Allah ( al Furqan/25 : 63 ).
g.Senantiasa berasa takut terhadap murka Allah ( ysain/36 : 11 ).
h.Senantiasa mengingat Allah Yang Maha Pengasih ( Azzukhruf/43:63 ).
4. Makna Rahim dalam al Quran
a.Menerima taubat ( Al baqarah/2 : 37, 54 ).
b.Memberi pahala ( AlBaqarah /2 : 143 ).
c. Mengutus rasulullah ( Anbiya/21 : 107 ).
d.Melembutkan hati ( Ali Imran/3 : 159 ).
e.Memberikan keselamatan ( Yunus/10:86;Hud/11: 66,94 ).
f. Memberikan penyembuhan ( Anbiya/21 : 84 ).
g.Memelihara HambaNya dari mengikuti hawa nafsu ( Yusuf/12 : 53 ).
h.Memelihara hambaNya sehingga tidak mengikuti syetan ( an nisa/4:83 ).
i. Menjadikan wajah orang beriman berseri ( Ali Imran/3 : 107 ).
j.Menjauhkan azab daripada hambaNya di dunia dan akhirat ( Nur/24 : 14 ).
5.Sikap setelah memahami ar rahim
a. mentaati Allah dan rasul ( ali Imran/3 : 132 ).
b. Meminta diberi rahmat ( Ali Imran/3 :8, al A’raf/7 :23, al Kahfi/18: 10 ).
c. Mendengarkan al Quran ( al A’raf/7 : 204 ).
d. mengikuti al Quran ( al Al’am /6 : 155 ).
e. Beriman, berhijrah dan berjihad ( Al Baqarah /2 : 218 ).
6.Doa dengan nama Rahman
a. membaca Bismilahirahmanirahim dalam permulaan setiap pekerjaan dengan memahami makna bahwa segala yang dikerjakan maka Allah akan membrikan rahmat dan kasih sayangNya.
b.membaca Ya rahman Ya rahim : Wahai Allah Yang maha Pengasih dan maha Penyayang, sehingga Allah memebrikan rahmat kepada diri kita dalam menghadapi setiap kesulitan.
c. Membaca : Ya Arhamarrahimin irhamna…
Ya Allah yang maha Pengasih dan Penyayang kasihanilah kami, agar setiap apa yang apa yang terjadi merupakan rahmat daripada Allah, dan Allah akan memberikan kasihsayangNya.
1. Makna rahman : Yang Maha Pengasih ( Surah ar Rahman /55 : 1-7 ).
Makna Rahim : Yang Maha Penyayang
( Surah al baqarah/2 : 105 ; Al Araf/7 : 156 , Al Ahzab/33 : 43.
2. Sifat yang menerangkan ar Rahman
a. Menciptakan langit dan bumi dan apa yang diantara keduanya
( Al Furqan/25 :59 , Al Mulk/67:3 )
b. Menurunkan al Quran yang merupakan petunjuk hidup
( Al Fushilat/41 :2 )
c. Mengajarkan Al Quran dan menetangkan penjelasannya
( ar Rahman/55 : 1-4 ).
d.Memberikan pertolongan kepada hamba-hambaNya.
( Al Mulk /67 : 20 ).
e. Memberikan penangghuna azab ( al Maryam/19 : 75 ).
f. Memberikan kasih sayang ( Maryam/19 :96 ).
g.Berkuasa ke atas makhlukNya di dunia ( al Mulk/67:19 ).
h.Berkuasa atas makhluk di akhirat ( an naba/78 : 37-38 ).
3. Sikap setelah memahami ar Rahman
a. Senantiasa beriman dan bertawakkal kepada Allah ( al Mulk/67 : 29 ).
b. Meminta pertolongan kepada Allah dalam setiap perkara ( al Fatihah/1 :1)
c.Bersyukur dan berterima kasih kepada Allah ( al Fatihah/1:2 ).
d.Beribadah kepada Allah ( al hasyr/59 :22 ).
e.Menyeru dan memohon pertolongan hanya kepada Allah
(Maryam/19:18; AlIsra/17:110 , An naml/27 : 30)
f. Merendahkan diri di hadapan Allah ( al Furqan/25 : 63 ).
g.Senantiasa berasa takut terhadap murka Allah ( ysain/36 : 11 ).
h.Senantiasa mengingat Allah Yang Maha Pengasih ( Azzukhruf/43:63 ).
4. Makna Rahim dalam al Quran
a.Menerima taubat ( Al baqarah/2 : 37, 54 ).
b.Memberi pahala ( AlBaqarah /2 : 143 ).
c. Mengutus rasulullah ( Anbiya/21 : 107 ).
d.Melembutkan hati ( Ali Imran/3 : 159 ).
e.Memberikan keselamatan ( Yunus/10:86;Hud/11: 66,94 ).
f. Memberikan penyembuhan ( Anbiya/21 : 84 ).
g.Memelihara HambaNya dari mengikuti hawa nafsu ( Yusuf/12 : 53 ).
h.Memelihara hambaNya sehingga tidak mengikuti syetan ( an nisa/4:83 ).
i. Menjadikan wajah orang beriman berseri ( Ali Imran/3 : 107 ).
j.Menjauhkan azab daripada hambaNya di dunia dan akhirat ( Nur/24 : 14 ).
5.Sikap setelah memahami ar rahim
a. mentaati Allah dan rasul ( ali Imran/3 : 132 ).
b. Meminta diberi rahmat ( Ali Imran/3 :8, al A’raf/7 :23, al Kahfi/18: 10 ).
c. Mendengarkan al Quran ( al A’raf/7 : 204 ).
d. mengikuti al Quran ( al Al’am /6 : 155 ).
e. Beriman, berhijrah dan berjihad ( Al Baqarah /2 : 218 ).
6.Doa dengan nama Rahman
a. membaca Bismilahirahmanirahim dalam permulaan setiap pekerjaan dengan memahami makna bahwa segala yang dikerjakan maka Allah akan membrikan rahmat dan kasih sayangNya.
b.membaca Ya rahman Ya rahim : Wahai Allah Yang maha Pengasih dan maha Penyayang, sehingga Allah memebrikan rahmat kepada diri kita dalam menghadapi setiap kesulitan.
c. Membaca : Ya Arhamarrahimin irhamna…
Ya Allah yang maha Pengasih dan Penyayang kasihanilah kami, agar setiap apa yang apa yang terjadi merupakan rahmat daripada Allah, dan Allah akan memberikan kasihsayangNya.
SIRR ( RAHASIA )
SIRR ( RAHASIA/SEMBUNYI)
Makna Sirr adalah rahasia, tetapi sirr dalam ibadah maksudnya adalah mengadakan hubungan dan bertaqarrub kepada Allah dengan rahasia (tanpa diketahui oleh orang ramai ) dan juga Allah akan menghubungkan diri kepada hambanya dengan secara rahasia ( sirr ).
Hal ini berlandaskan kepada ayat suci Al Quran :
" Dan Aku tidak mengatakan kepada kamu (bahwa): "Aku mempunyai gudang-gudang rezki dan kekayaan dari Allah, dan Aku tiada mengetahui yang ghaib", dan tidak (pula) Aku mengatakan: "Bahwa Sesungguhnya Aku adalah malaikat", dan tidak juga Aku mengatakan kepada orang-orang yang dipandang hina oleh penglihatanmu: "Sekali-kali Allah tidak akan mendatangkan kebaikan kepada mereka". Allah lebih mengetahui apa yang ada pada diri mereka; Sesungguhnya aku, kalau begitu benar-benar termasuk orang-orang yang zalim ( Surah Hud /11 : 31 ).
Ulama menafsirkan maksud ayat " Allah lebih mengetahui apa yang ada pada dalam diri mereka ", maksudnya adalah Allah mengetahui segala apa saja yang ada dalam diri mereka , baik itu yang mereka rahasiakan ataupun yang tidak mereka rahasiakan.
Dalam sebuah hadis bahwa Saad bin Abi Waqqas ditanya oleh anaknya : wahai ayah, mengapa ayah berada disini, sedangkan orang ramai sedang sibuk berselisih mengenai kepemimpinan umat dan khilafah ?". Saad bin Abi waqqas menjawab : " Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda : " Sesungguhnya Allah menyukai hambaNya yang bertaqwa, kaya dan sembunyi-sembunyi (tentang keadaan dirinya )".
Demikian juga dalam hadis yang lain disebutkan :
Berapa banyak orang rambutnya pakaian dan rambutnya berdebu, tertolak di depan pintu , tidak dipedulikan manusia tetapi jika dia bersumpah atas nama Allah, niscaya Allah akan segera mengabulkannya ". Hadis ini menyatakan bahwa keadaan seorang mansuia yang tidak dikenal, tetapi dia mempunyai hubungan rahasia dengan Tuhan, sehingga Tuhan akan mengabulkan permintaannya dengan segera.
Pada suatu hari seorang sahabat berjalan di depan sahabat yang lain, maka rasulullah bertanya kepada sahabat-sahabat beliau : " Apakah komen kamu semua terhadap orang itu ? Sahabat-sahabat nabi segera menjawab : " Dia itu orang yang baik dan pantas. Jika dia memnita syafaat, pastilah diberi; dan jika dia mengajukan lamaran untuk menikah , pastilah dia akan diterima; dan jika dia berkata, pastilah didengar orang perkataannya ". Tak lama kemudian berjalanlah di depan sahabat nabi tersebut seorang sahabayt yang lain, dan nabi segera bertanya kepada sahabat-sahabatnya : "Bagaimana pula komen kalian kepada orang itu ? ". Sahabat-sahabat menjawab ; Dia itu orang yang biasa-biasa saja, jika dia meminta syafaat , maka dia itu tidak layak mendapatkan pertolongan, dan jika dia itu mengajukan lamaran, maka dia akan ditolak, dan jika dia berkata-kata, maka perkataannya tidak layak untuk didengar ". Mendengar komen sahabat beliau, rasulullah bersabda : " Orang ini lebih baik daripada isi dunia semuanya ".
Orang yang memiliki rahasisa (sirr ) ini terbagi dalam tiga kelompok :
Kelompok pertama adalah golongan yang mempunyai hasrat yang tinggi, tujuan yang bersih, dengan perjalanan yang benar, tidak berhenti pada suatu bentuk, dan tidak mengkaitkan kepada sesuatu nama dan mereka tidak dianggap oleh manusia . Merekalah simpanan-simpanan Allah.
Mereka mempunyai hasrat yang tinggi, maksudnya bahwa mereka tidak mempunyai keinginan dan hasrat kecuali hanya untuk Allah semata-mata. Keinginan mereka, hanyalah mencari keridhaan Allah, kegembiraan mereka hanyalah bersama allah, kecintaan mereka adalah berjumpa dengan Allah Hasrat mereka ini tidak boleh dikotori dengan keinginan diri, keinginan nafsu, keinginan materi, keinginan dunia, sebab segala sesuatu hanyalah untuk Allah.
Tujuan yang bersih maksudnya tujuan amal perbuatan dan ibadah mereka hanyalah Allah, matlamat hidup hanyalah Allah; tujuan mereka hanyalah penghambaan kepada allah, melaksanakan perintah Allah, mencari keridhaan Allah; tidak ada dalam hatinya tujuan keduniaan atau tujuan hawa nafsu, semuanya hanya untuk mengabdikan diri kepada Allah.
Perjalanan yang benar, maksudnya dalam melaksanakan perintah Allah, dalam beribadah kepada allah semuanya dilaksanakan dengan cara yang benar sesuai dengan yang dicontohkan dan diarahkan oleh Rasulullah. Ibnu Qayim dalam menjelaskan perjalanan yang benar menyatakan ada tiga cara :
a. Harus berada di jalan yang dilalui oleh Rasulullah, bukan jalan yang dibuat-buat oleh mansuia.
b. Berjalan yang benar bermaksud tidak memenuhi panggilan-pangilan yang bathil dan panggilan yang membuatnya harus menghentikan perjalanan.
c. Berjalan yang benar, juga bermakna bahwa dalam perjalanan itu harus melihat kepada tujuan, sehingga tidak salah arah.
Tidak berhenti pada suatu bentuk maksudnya, bahwa perjalanan itu tidak akan berhenti, sebelum mencapai tujuan , mencari ridha Allah. Perjalanan itu tidak berhenti disebabkan oleh orang ramai, atau oleh orang lain.
Perjalanan ibadah juga tidak dikaitkan dengan suatu nama, sebab ibadah dilakukan karena Allah, dengan mengikuti sunnah Rasul, bukan karena nama tertentu, atau kelompok tertentu, atau sebab tertentu.
Tidak dikenal oleh manusia, maksudnya adalah menjadi kebiasaan mereka menyembunyikan amal ibadahnya, sehingga orang lain tidak mengetahui ketekunan ibadahnya , sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis : " Setiap orang yang beramal mempunyai ketekunan, dan setiap ketekunan mempunyai waktu rehat. Jika dia benar-benar beramal dan bertaqarrub, maka engkau boleh berharap kepadanya, dan jika dia dalam beramal ibadah menginginkan tunjuk jari orang kepadanya , maka janganlah kamu menganggap sedikitpun kepadanya ". Sewaktu ditanya kepada nabi, apa maksud orang yang ingin ditunjuk dengan jari , nabi menjawab : Itulah orang yang mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama dan yang berbuat kerusakan dengan dunianya ".
Golongan kedua adalah golongan yang mempunyai kalimat-kalimat yang diucapkannya dengan pemahaman yang berkaitan dengan Allah, sedangkan mansuia akan memahaminya dengan pemahaman yang berlainan dengan pemahaman orang tersebut. Contohnya adalah :jika mereka berkata : " Aku adalah kaya ", maksudnya bahwa kaya itu adalah kaya dengan Allah, cukup dengan Allah; sedangkan orang lain memahami makna kaya itu adalah kekayaan dunia. Orang ini akan selalu menjaga adab-adab seperti tawadhu, dan menjaga maruah, sehingga mereka terpelihara daripada sangkaan orang ramai. Jika mereka bersama orang ramai, maka dia akan memakai bahasa orang ramai, tanpa memperlihatkan kelebihannya daripada orang ramai, dan mereka tidak akan berbicara dengan manusia dengan bahasa yang asing, atau yang tidak dapat dipahami. Orang menyangkan mereka manusia biasa walaupun sebenarnya merwka manusia yang lebih daripada biasa. Dalam hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwasanya nabi isa berkata kepada : " Apabila kamu sedang berpuasa, maka beri minyaklah rambutmu, dan sapulah (basahkanlah) kedua bibirmu, sehingga jika engkau keluar kepada orang ramai, nanti orang akan berkata bahwasanya dia itu tidak berpuasa ".
Kelompok yang ketiga adalah kelompok yang kelompok yang sibuk beribadah kepada Allah, sibuk berbuat baik kepada orang lain,, tetapi Allah menyembunyikan amal ibadahnya, dan kebaikannya, sehingga tidak ada manusia yang nampak kebaikannya, hanya Allah sahaja yang mengatahuinya. Mereka ini tidak akan hina walaupun manusia menghinanya, sebab tujuan mereka adalah hnya Allah bukan manusia.
Contoh manusia yang disembunyikan Allah daripada mansuia yang lain adalah Uwais al Qarni. Pada suatu hari Rasulullah saw bersabda kepada Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib : " wahai umar dan ali, pada suatu hari nanti apabila kamu berjumpa dengan orang yang bernama Uwais al qarni, maka mintalah agar dia mendoakan agar kamu mendapat ampunan Allah, sebab dia adalah orang yang dimakbulkan Allah setiap doanya ". Wahai umar dan ali, Uwais al Qarni itu mempunyai rambut yang merah, jauh jarak antara kedua bahunya, sederhana tingginya, berkulit hitam campur putih, senantiasa merapatkan dagunya ke dadanya,(selalu menunduk), tangan kanannya diletakkan diatas tangan kirinya, senantiasa membaca al Quran,. Dia mempunyai kain buruk daripada bulu, dia tidak dikenal oleh manusia di muka bumi, tetapi terkenal di atas langit ".
Selama sepuluh tahun, Umar dan Ali mencari orang yang disifatkan oleh rasulullah, sehingga pada suatru musim haji, datanglah kabilah dari yaman. Ali bertanya kepada pengetua kabilah : " Apakah tidak ada lagi orang dalam kabilahntuan ? ". Pengetahua kabilah berkata : " ada seorang pemuda yang tidak terkenal, pengembala kambing, pakaiannya buruk, dia kami beri upah satu dirham ". Ali bertanya : apakah orang itu mempunyai sifat-sifat mempunyai rambut pirang, selalu menundukkan kepala..?". Pengetua kabilah membenarkan segala sifat tersebut.". Ali dan Umar segera bertanya dimana pemuda tersebut, dan mereka berlomba untuk mendapatkannya. Sampai mereka di jabal Qubais, terlihat seorang pemuda pengembala kambing, Ali dan Umar segera memberi salam : dan setelah salam itu dijawab oleh pemuda, Ali dan Umar bertanya : Siapakah tuan ini? Pemuda menjawab : Saya adalah pengembala dengan menerima upah ". Umar tanya lagi ; Siapakah nama anda ? Pemuda menjawab : saya adalah hamba Allah. Umar menjawab : Kami tahu dibumi ini semua hamba allah, tetapi siapakah nama tuan ? ".
Pemuda menjawab : apakah maksud tuan menanyakan nama saya ?" Akhirnya Ali dan Umar menceritakan hadis rasulullah, dan sifat-sifat itu ada pada diri tuan.
Ali dan Umar segera memintakan doa kepada pemuda itu : Saya tidak pernah mengkhususkan doa kepada seseorang, saya hanya mendoakan untuk seluruh kaum muslimin dan muslimat ". Pemuda itu bertanya : Siapakah anda berdua? Ali menjawab : Ini adalah Umar, amirul mukminin, dan saya adalah Ali. Mendengar itu, pemuda tadi memberi salam kepada amirul mukminin dan ali . Umar berkata : Wahai Uwais, ajarilah kami ". Uwais menjawab : tuntutlah rahmat Allah ketika melaksanakan ketaatan kepadanya dan berharaplah tuan dicelah-celah amal tersebut". Ali berkaya : " wahai Uwais, rasulullah pernah bersabda : " Uwais adalah semulia-mulia tabi'in ", maka bagaimanakah engkau dapat menggembirakan nabi? ". Uwais menjawab : Wahai Ali, tuan telah beroleh nikmat bersahabat dengan nabi, tuan bahagia dapat melihat nabi, sedangkan saya hanya melihat nabi dengan mata hati. Nabi adalah cahaya yang memancar memenuhi alam dan menjalar kepada seklain yang ada, saya lihat Rasulullah kepalanya sampai ke arsy, dan kakinya di bawah biumi yang ketujuh ".
Khalifah Umar bertanya ; " bagaimana keadaan engkau wahai Uwais ? Uwais menjawab : " Bagaimana seorang lelaki ketika pada pagi hari dia mengira tidak akan sampai pada petang hari, dan jika hari petang maka dia mengira tidak sampai pada pagi hari ".
Umar bertanya lagi : " bagaimana engkau dapat mencapai kedudukan yangb mulia sebagaiman disebutkan oleh rasululah ? ". Uwais menjawab : " Saya hidup dengan takut kepada Allah , dan jika seseorang sudah takut kepada Tuhan maka dia akan takut berbuat dosa sekecil apapun juga ".
Umar memberikan pakaian dan belanja kepada Uwais, tetapi Uwais menolak dan berkata : " Apa gunanya pakaian dan benja ini buat saya. Bukankah tuan melihat, pakaian saya dari bulu, apakah dia akan habis? Pekerjaan saya mengembala kambing dengan upah empat dirham, cuba tuan kira berapa lama saya memakan uang yang empat dirham itu, sedangkan di depan saya dan di depan tuan banyak rintangan yang sukar untuk dilalui, oleh sebab itu wahai Umar tinggalkanlah dunia ini, takutlah akan suatu hari dimana tidak berguna harta dan anak ".
Uwais akan pergi, Ali memegang tangannya, dan berkata : kami dating hendak berbicara dengan tuan, mengapa tuan pergi? Uwais menjawab : " Aneh sekali tuan Ali, saya kira tidak seorangpun yang mengenal tuhannya akan merasa senang dan tenteram dengan selain daripada Tuhannya ". Setelah berkata demikian, dia berlari dengan kencang meninggalkan Ali dan Umar.
Demikianlah contoh manusia "sirr", Uwais al Qarni yang lebih senang mendengarkan kalam Tuhan daripada ucapan mansuia, dan selalu berusaha berhubungan dengan Tuhan secara bersendirian, sembunyi-sembunyi, sehingga manusia tidak mengenalnya, tetapi alah mengenalnya. Di akhir hayatnya, Uwais meninggal sebagai syahid dalam peperangan antara umat islam dngan pasukan Romawi, gugur sebagai syuhada.Wallahu A'lam ( muhammad Arifin ismail , 15 rabiul awal 1427/3April2007)
Makna Sirr adalah rahasia, tetapi sirr dalam ibadah maksudnya adalah mengadakan hubungan dan bertaqarrub kepada Allah dengan rahasia (tanpa diketahui oleh orang ramai ) dan juga Allah akan menghubungkan diri kepada hambanya dengan secara rahasia ( sirr ).
Hal ini berlandaskan kepada ayat suci Al Quran :
" Dan Aku tidak mengatakan kepada kamu (bahwa): "Aku mempunyai gudang-gudang rezki dan kekayaan dari Allah, dan Aku tiada mengetahui yang ghaib", dan tidak (pula) Aku mengatakan: "Bahwa Sesungguhnya Aku adalah malaikat", dan tidak juga Aku mengatakan kepada orang-orang yang dipandang hina oleh penglihatanmu: "Sekali-kali Allah tidak akan mendatangkan kebaikan kepada mereka". Allah lebih mengetahui apa yang ada pada diri mereka; Sesungguhnya aku, kalau begitu benar-benar termasuk orang-orang yang zalim ( Surah Hud /11 : 31 ).
Ulama menafsirkan maksud ayat " Allah lebih mengetahui apa yang ada pada dalam diri mereka ", maksudnya adalah Allah mengetahui segala apa saja yang ada dalam diri mereka , baik itu yang mereka rahasiakan ataupun yang tidak mereka rahasiakan.
Dalam sebuah hadis bahwa Saad bin Abi Waqqas ditanya oleh anaknya : wahai ayah, mengapa ayah berada disini, sedangkan orang ramai sedang sibuk berselisih mengenai kepemimpinan umat dan khilafah ?". Saad bin Abi waqqas menjawab : " Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda : " Sesungguhnya Allah menyukai hambaNya yang bertaqwa, kaya dan sembunyi-sembunyi (tentang keadaan dirinya )".
Demikian juga dalam hadis yang lain disebutkan :
Berapa banyak orang rambutnya pakaian dan rambutnya berdebu, tertolak di depan pintu , tidak dipedulikan manusia tetapi jika dia bersumpah atas nama Allah, niscaya Allah akan segera mengabulkannya ". Hadis ini menyatakan bahwa keadaan seorang mansuia yang tidak dikenal, tetapi dia mempunyai hubungan rahasia dengan Tuhan, sehingga Tuhan akan mengabulkan permintaannya dengan segera.
Pada suatu hari seorang sahabat berjalan di depan sahabat yang lain, maka rasulullah bertanya kepada sahabat-sahabat beliau : " Apakah komen kamu semua terhadap orang itu ? Sahabat-sahabat nabi segera menjawab : " Dia itu orang yang baik dan pantas. Jika dia memnita syafaat, pastilah diberi; dan jika dia mengajukan lamaran untuk menikah , pastilah dia akan diterima; dan jika dia berkata, pastilah didengar orang perkataannya ". Tak lama kemudian berjalanlah di depan sahabat nabi tersebut seorang sahabayt yang lain, dan nabi segera bertanya kepada sahabat-sahabatnya : "Bagaimana pula komen kalian kepada orang itu ? ". Sahabat-sahabat menjawab ; Dia itu orang yang biasa-biasa saja, jika dia meminta syafaat , maka dia itu tidak layak mendapatkan pertolongan, dan jika dia itu mengajukan lamaran, maka dia akan ditolak, dan jika dia berkata-kata, maka perkataannya tidak layak untuk didengar ". Mendengar komen sahabat beliau, rasulullah bersabda : " Orang ini lebih baik daripada isi dunia semuanya ".
Orang yang memiliki rahasisa (sirr ) ini terbagi dalam tiga kelompok :
Kelompok pertama adalah golongan yang mempunyai hasrat yang tinggi, tujuan yang bersih, dengan perjalanan yang benar, tidak berhenti pada suatu bentuk, dan tidak mengkaitkan kepada sesuatu nama dan mereka tidak dianggap oleh manusia . Merekalah simpanan-simpanan Allah.
Mereka mempunyai hasrat yang tinggi, maksudnya bahwa mereka tidak mempunyai keinginan dan hasrat kecuali hanya untuk Allah semata-mata. Keinginan mereka, hanyalah mencari keridhaan Allah, kegembiraan mereka hanyalah bersama allah, kecintaan mereka adalah berjumpa dengan Allah Hasrat mereka ini tidak boleh dikotori dengan keinginan diri, keinginan nafsu, keinginan materi, keinginan dunia, sebab segala sesuatu hanyalah untuk Allah.
Tujuan yang bersih maksudnya tujuan amal perbuatan dan ibadah mereka hanyalah Allah, matlamat hidup hanyalah Allah; tujuan mereka hanyalah penghambaan kepada allah, melaksanakan perintah Allah, mencari keridhaan Allah; tidak ada dalam hatinya tujuan keduniaan atau tujuan hawa nafsu, semuanya hanya untuk mengabdikan diri kepada Allah.
Perjalanan yang benar, maksudnya dalam melaksanakan perintah Allah, dalam beribadah kepada allah semuanya dilaksanakan dengan cara yang benar sesuai dengan yang dicontohkan dan diarahkan oleh Rasulullah. Ibnu Qayim dalam menjelaskan perjalanan yang benar menyatakan ada tiga cara :
a. Harus berada di jalan yang dilalui oleh Rasulullah, bukan jalan yang dibuat-buat oleh mansuia.
b. Berjalan yang benar bermaksud tidak memenuhi panggilan-pangilan yang bathil dan panggilan yang membuatnya harus menghentikan perjalanan.
c. Berjalan yang benar, juga bermakna bahwa dalam perjalanan itu harus melihat kepada tujuan, sehingga tidak salah arah.
Tidak berhenti pada suatu bentuk maksudnya, bahwa perjalanan itu tidak akan berhenti, sebelum mencapai tujuan , mencari ridha Allah. Perjalanan itu tidak berhenti disebabkan oleh orang ramai, atau oleh orang lain.
Perjalanan ibadah juga tidak dikaitkan dengan suatu nama, sebab ibadah dilakukan karena Allah, dengan mengikuti sunnah Rasul, bukan karena nama tertentu, atau kelompok tertentu, atau sebab tertentu.
Tidak dikenal oleh manusia, maksudnya adalah menjadi kebiasaan mereka menyembunyikan amal ibadahnya, sehingga orang lain tidak mengetahui ketekunan ibadahnya , sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis : " Setiap orang yang beramal mempunyai ketekunan, dan setiap ketekunan mempunyai waktu rehat. Jika dia benar-benar beramal dan bertaqarrub, maka engkau boleh berharap kepadanya, dan jika dia dalam beramal ibadah menginginkan tunjuk jari orang kepadanya , maka janganlah kamu menganggap sedikitpun kepadanya ". Sewaktu ditanya kepada nabi, apa maksud orang yang ingin ditunjuk dengan jari , nabi menjawab : Itulah orang yang mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama dan yang berbuat kerusakan dengan dunianya ".
Golongan kedua adalah golongan yang mempunyai kalimat-kalimat yang diucapkannya dengan pemahaman yang berkaitan dengan Allah, sedangkan mansuia akan memahaminya dengan pemahaman yang berlainan dengan pemahaman orang tersebut. Contohnya adalah :jika mereka berkata : " Aku adalah kaya ", maksudnya bahwa kaya itu adalah kaya dengan Allah, cukup dengan Allah; sedangkan orang lain memahami makna kaya itu adalah kekayaan dunia. Orang ini akan selalu menjaga adab-adab seperti tawadhu, dan menjaga maruah, sehingga mereka terpelihara daripada sangkaan orang ramai. Jika mereka bersama orang ramai, maka dia akan memakai bahasa orang ramai, tanpa memperlihatkan kelebihannya daripada orang ramai, dan mereka tidak akan berbicara dengan manusia dengan bahasa yang asing, atau yang tidak dapat dipahami. Orang menyangkan mereka manusia biasa walaupun sebenarnya merwka manusia yang lebih daripada biasa. Dalam hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwasanya nabi isa berkata kepada : " Apabila kamu sedang berpuasa, maka beri minyaklah rambutmu, dan sapulah (basahkanlah) kedua bibirmu, sehingga jika engkau keluar kepada orang ramai, nanti orang akan berkata bahwasanya dia itu tidak berpuasa ".
Kelompok yang ketiga adalah kelompok yang kelompok yang sibuk beribadah kepada Allah, sibuk berbuat baik kepada orang lain,, tetapi Allah menyembunyikan amal ibadahnya, dan kebaikannya, sehingga tidak ada manusia yang nampak kebaikannya, hanya Allah sahaja yang mengatahuinya. Mereka ini tidak akan hina walaupun manusia menghinanya, sebab tujuan mereka adalah hnya Allah bukan manusia.
Contoh manusia yang disembunyikan Allah daripada mansuia yang lain adalah Uwais al Qarni. Pada suatu hari Rasulullah saw bersabda kepada Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib : " wahai umar dan ali, pada suatu hari nanti apabila kamu berjumpa dengan orang yang bernama Uwais al qarni, maka mintalah agar dia mendoakan agar kamu mendapat ampunan Allah, sebab dia adalah orang yang dimakbulkan Allah setiap doanya ". Wahai umar dan ali, Uwais al Qarni itu mempunyai rambut yang merah, jauh jarak antara kedua bahunya, sederhana tingginya, berkulit hitam campur putih, senantiasa merapatkan dagunya ke dadanya,(selalu menunduk), tangan kanannya diletakkan diatas tangan kirinya, senantiasa membaca al Quran,. Dia mempunyai kain buruk daripada bulu, dia tidak dikenal oleh manusia di muka bumi, tetapi terkenal di atas langit ".
Selama sepuluh tahun, Umar dan Ali mencari orang yang disifatkan oleh rasulullah, sehingga pada suatru musim haji, datanglah kabilah dari yaman. Ali bertanya kepada pengetua kabilah : " Apakah tidak ada lagi orang dalam kabilahntuan ? ". Pengetahua kabilah berkata : " ada seorang pemuda yang tidak terkenal, pengembala kambing, pakaiannya buruk, dia kami beri upah satu dirham ". Ali bertanya : apakah orang itu mempunyai sifat-sifat mempunyai rambut pirang, selalu menundukkan kepala..?". Pengetua kabilah membenarkan segala sifat tersebut.". Ali dan Umar segera bertanya dimana pemuda tersebut, dan mereka berlomba untuk mendapatkannya. Sampai mereka di jabal Qubais, terlihat seorang pemuda pengembala kambing, Ali dan Umar segera memberi salam : dan setelah salam itu dijawab oleh pemuda, Ali dan Umar bertanya : Siapakah tuan ini? Pemuda menjawab : Saya adalah pengembala dengan menerima upah ". Umar tanya lagi ; Siapakah nama anda ? Pemuda menjawab : saya adalah hamba Allah. Umar menjawab : Kami tahu dibumi ini semua hamba allah, tetapi siapakah nama tuan ? ".
Pemuda menjawab : apakah maksud tuan menanyakan nama saya ?" Akhirnya Ali dan Umar menceritakan hadis rasulullah, dan sifat-sifat itu ada pada diri tuan.
Ali dan Umar segera memintakan doa kepada pemuda itu : Saya tidak pernah mengkhususkan doa kepada seseorang, saya hanya mendoakan untuk seluruh kaum muslimin dan muslimat ". Pemuda itu bertanya : Siapakah anda berdua? Ali menjawab : Ini adalah Umar, amirul mukminin, dan saya adalah Ali. Mendengar itu, pemuda tadi memberi salam kepada amirul mukminin dan ali . Umar berkata : Wahai Uwais, ajarilah kami ". Uwais menjawab : tuntutlah rahmat Allah ketika melaksanakan ketaatan kepadanya dan berharaplah tuan dicelah-celah amal tersebut". Ali berkaya : " wahai Uwais, rasulullah pernah bersabda : " Uwais adalah semulia-mulia tabi'in ", maka bagaimanakah engkau dapat menggembirakan nabi? ". Uwais menjawab : Wahai Ali, tuan telah beroleh nikmat bersahabat dengan nabi, tuan bahagia dapat melihat nabi, sedangkan saya hanya melihat nabi dengan mata hati. Nabi adalah cahaya yang memancar memenuhi alam dan menjalar kepada seklain yang ada, saya lihat Rasulullah kepalanya sampai ke arsy, dan kakinya di bawah biumi yang ketujuh ".
Khalifah Umar bertanya ; " bagaimana keadaan engkau wahai Uwais ? Uwais menjawab : " Bagaimana seorang lelaki ketika pada pagi hari dia mengira tidak akan sampai pada petang hari, dan jika hari petang maka dia mengira tidak sampai pada pagi hari ".
Umar bertanya lagi : " bagaimana engkau dapat mencapai kedudukan yangb mulia sebagaiman disebutkan oleh rasululah ? ". Uwais menjawab : " Saya hidup dengan takut kepada Allah , dan jika seseorang sudah takut kepada Tuhan maka dia akan takut berbuat dosa sekecil apapun juga ".
Umar memberikan pakaian dan belanja kepada Uwais, tetapi Uwais menolak dan berkata : " Apa gunanya pakaian dan benja ini buat saya. Bukankah tuan melihat, pakaian saya dari bulu, apakah dia akan habis? Pekerjaan saya mengembala kambing dengan upah empat dirham, cuba tuan kira berapa lama saya memakan uang yang empat dirham itu, sedangkan di depan saya dan di depan tuan banyak rintangan yang sukar untuk dilalui, oleh sebab itu wahai Umar tinggalkanlah dunia ini, takutlah akan suatu hari dimana tidak berguna harta dan anak ".
Uwais akan pergi, Ali memegang tangannya, dan berkata : kami dating hendak berbicara dengan tuan, mengapa tuan pergi? Uwais menjawab : " Aneh sekali tuan Ali, saya kira tidak seorangpun yang mengenal tuhannya akan merasa senang dan tenteram dengan selain daripada Tuhannya ". Setelah berkata demikian, dia berlari dengan kencang meninggalkan Ali dan Umar.
Demikianlah contoh manusia "sirr", Uwais al Qarni yang lebih senang mendengarkan kalam Tuhan daripada ucapan mansuia, dan selalu berusaha berhubungan dengan Tuhan secara bersendirian, sembunyi-sembunyi, sehingga manusia tidak mengenalnya, tetapi alah mengenalnya. Di akhir hayatnya, Uwais meninggal sebagai syahid dalam peperangan antara umat islam dngan pasukan Romawi, gugur sebagai syuhada.Wallahu A'lam ( muhammad Arifin ismail , 15 rabiul awal 1427/3April2007)
Makrifah (Mengenal Allah)
M A K R I F A H
Makrifah berasal dari akar kata “a-ra-fa”, yang bermakna mengenal akan sesuatu. SEcara bahasa , makrifah berarti meliputi sesuatu sebagaimana apa adanya . Dalam kitab suci Al Quran disebutkan:
“ Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul ( Muhammad ) kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran yang telah mereka ketahui “ ( Surah al Maidah : 83 ),
“ Dan orang yang telah Kami berikan kitab kepadanya, mereka mengenal ( Muhammad ) seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri “ ( Surah al An’am : 20 ).
Dalam Hadis Rasulullah saw bersabda :
“ Aku adalah orang yang paling mengenal Allah dan paling takut kepadaNya “. ( Kitab Madarijussalikin, jilid 3, m.s.338)
“ takutlah kamu ( bertaqwa ) kepada Allah, dengan mengambil perhatian atas apa yang engkau kenal akan Dia dan dengan meninggalkan apa yang dilarangNya “ ( riwayat Ahmad ).
“ Iman itu adalh mengenal Allah dengan hati “ ( Ibnu Majah )
“ Iman itu adalah mengenal dengan hati, mengakui dengan lisan dan mengamalkan dengan perbuatan “ ( riwayat Thabrani dan Baihaqi )
“ Hati orang munafiq mengenal Allah tetapi mereka mengingkariNya “ ( riwayat Ahmad ).
Ibnu Qayim menyatakan bahwa orang yang bermakrifat (arif) adalah orang yang memiliki makrifat tentang Allah dengan segala sifat, asma dan perbuatanNya, kemudian Allah membenarkan muamalahnya, memurnikan tujuan dan niatnya, melepaskan akhlak-akhlaknya yang buruk, sabar menerima ketetapan hukum Allah, baik yang berupa nokmat atau musibah, kemudian berdoa kepadaNya berdasarkan bashirah terhadap agama dan ayat-ayat Allah, memurnikan seruan hanya kepada Allah seperti yang dibawa oleh Rasulullah, tidak dicampuri dengan keinginan , pemikiran dan hawa nafsu.
Sebagian ulama berkata bahwa diantara tanda makrifat kepada Allah adalah munculnya rasa takut kepada Allah, sehingga sesiapa yang lebih mengenal Allah maka dia akan lebih takut kepadaNya, sebagaimana yang dinyatakan oleh hadis nabi diatas.
Ada yang menyatakan bahwa makrifat akan mendatangkan ketenangan jiwa, sehingga sesiapa yang bermakrifat kepada Allah maka dia akan merasakan bertambahnya ketenangan jiwa “.
Ada orang yang bertanya : Apakah tanda makrifat kepada Allah ? Ulama Salaf menjawab bahwa tanda makrifat kepada Allah adalah kebersamaan hati dengan Allah dan merasakan kedekatan hati dengan Allah “.
Ulama tasawuf, Syibli berkata : “ Orang yang arif tidak mempunyai ikatan, orang yang mencintai tidak mengeluh, hamba yang arif tidak akan mengadu, bagi hamba yang takut tidak akan merasa aman dari siksa Allah, tetapi dia juga mengakui tidak akan dapat lari daripada Allah “.
Ulama sufi yang lain, Ahmad bin Ashim berkata : “ Sesiapa yang paling memiliki makrifat kepada Allah, maka dia akan merasa paling takut dengan siksa Allah “.
Ada lagi yang mengatakan bahwa ; Sesiapa yang makrifat kepada Allah, maka dia merasa sempitnya dunia karena rindu ingin berjumpa dengan Allah “
Ada yang menyatakan “ Makrifat kepada Allah akan melapangkan segala kesempitan “. Hal ini disebabkan dia mengenal sifat-sifat Allah, sehingga tidak ada kesulitan dan kesempitan dalam hidup ini, sebab dia yakin dengan segala sifat-sifat Allah.
Ulama lain berkata : “ Sesiapa yang memiliki makrifat kepada Allah, maka hidupnya menjadi jernih dan tenang, segala sesuatu takut kepadanya, dia tidak takut kepada apapun dan hatinya merasakan dekatnya seakan-akan berada di sisi Allah “.
Subagian ulama menyatakan : “ Makrifat kepada Allah maka dia akan merasa senang kepada Allah, senang dengan kematian, dan semuanya akan senang kepadanya, sementara sesiapa yang tidak memiliki makrifat kepada Allah maka dia akan merasakan terputusnya dunia, ( dunia tidak member manfaat bagi kehidupannya dimasa mendatang ), dan sesiapa yang makrifat kepada Allah tidak akan membiarkan sedikiktpun dari masa dan kesenangan di dunia kecuali hanya dipergunakan untuk mencari keridhaan Allah, dan jika memakai kesenangan hanya untuk dirinya berarti dia telah mendustakan makrifatnya kepada Allah. Sesiapa yang memilkiki makrifat kepada Allah, maka AllahTaala akan mencintainya, tergantung dari ukuran makrifatnya kepada Allah. Sesiapa yang makrifat kepada Allah, maka dia sangat takut kepadaNya ( khauf ), selalu berharap kepadaNya ( raja’ ), bertawakkal dan berserah diri kepadaNya, selalu merindukan perjumpaan dengan Nya, merasa malu kepadaNya ( jika tidak melakukan perintahNya), mengagungkanNya dan memuliakanNya “.
Diantara tanda orang yang arif adalah jika dia melihat dan mendengar informasi yang ghaib maka hatinya segera menjadi cermin mengajak kepada beriman, seberapa jauh kejernihan cermin hati itu, maka sejauh itu dia merasakan kehadirran Allah, merasakan kehidupan akhirat, merasakan wujudnya surge dan neraka, merasakan kehadiran rasul dan malaikat.
Ada orang yang bertanya kepada seorang ulama tasawuf Al Junaid bahwa ada segolongan orang yang mengaku telah mendapat tingkat makrifat sehingga merasa tidak perlu lagi menjalankan shalat dalam gerakan, cukup dengan mengenal Allah saja, dan mereka menyangka itulah suatu kebajikan , maka AlJunaid berkata : “ Mereka itu adalah orang yang dengan sengaja menggugurkan amal ibadah. Dalam pandangan saya ini merupakan masalah yang berat,karena orang yang berzina atau mencuri lebih baik daripada mereka yang berpendapat demikian. Orang yang memiliki makrifat tentang Allah sepatutnya mengambil berat setiap amal ibadah kepada Allah dan hanya ditujukan kepada Allah. Andaikata aku ( aljunaid ) berumur seribu tahun lagi, maka aku tidak akan mengurangi amal ibadah walaupun sebesar atom kecuali jika umurka telah dihentikan “.
Diantara tanda orang yang arif adalah tidak menyesali apa yang lepas daripada tangannya, dan tidak gembira karena sesuatu yang diterimanya, sebab dia melihat bahwa segala sesuatu tidak akan kekal ( fana ), dan segala sesuatu itu adalah milik Allah, semua datang dari Allah dan akan kembali kepada Allah.
AlJunaid berkata : Orang tidak disebut arif kecuali dia menjadi seperti tanah yang siap dipijak oleh orang baik dan orang yang buruk, atau menjadi seperti awan yang akan memberikan perlindungan kepada segala sesuatu, atau seperti hujan yang akan memberikan airnya kepada orang yang disukai ataupun tidak disukai ‘.
Ulama lain berkata : Orang tidak disebut arif kecuali jika dia memiliki harta sebanyak diberikan kepada nabi Sulaiman, tetapi harta itu tidsak membuatnya berpaling sedikitpun daripada Allah”.
Seorang ulama sufi Dzun Nun al Masri berkata : “ Tanda orang arif itu tiga macam : Cahaya makrifatnya tidak memadamkan cahaya wara’nya. Kedua tidak mempercayai ilmu batin dapat mengalahkan ilmu hukum secara zahir. Ketiga, limpahan nikmat Allah tidak membuatnya merusak tabir yang telah diharamkan Allah kepadanya “.
Dzun Nun ditanya dengan apa engkau mengenal Allah ? Maka dia menjawab : “ Aku mengenal Tuhan dengan Tuhanku, jikalau bukan karena TuhanKu maka aku tidak akan mengenal Tuhanku “.
Orang arif akan tetap menjaga hubungannya dengan Allah walaupun dalam keadaan tidur, sehingga ada yang berkata : Tidurnya orang arif sama dengan berjaga dan nafasnya orang arif merupakan tasbih, oleh sebab itu tidurnya orang arif lebih baim daripada shalatnya orang yang lalai “.
Ulama berkata bergaul dengan orang arif akanmengajakmu kepada enam perkara ; “ Mengajakmu dari keraguan kepada keyakinan, dari riya kepada ikhlas, dari lalai kepada dzikir, dari keinginan terhadap dunia kepada keinginan kepada akhirat, dari takabur kepada tawadhu, dan dari buruk sangka kepada nasihat “.
Orang arif adalah orang yang selalu mengisi waktunya dengan amal kebajikan, dan membagun waktunya untukmkehidupan dimasa mendatang.
Oleh sebab itu Muhammad bin al Fadl berkata : Makrifat itu adalah hidupnya hati seorang hamba bersama Allah.
Walahu A’lam
Masjid AlGhufron, 7 Ogos 2007/23Rajab 1428
Muhammad Arifin bin Ismail.
Makrifah berasal dari akar kata “a-ra-fa”, yang bermakna mengenal akan sesuatu. SEcara bahasa , makrifah berarti meliputi sesuatu sebagaimana apa adanya . Dalam kitab suci Al Quran disebutkan:
“ Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul ( Muhammad ) kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran yang telah mereka ketahui “ ( Surah al Maidah : 83 ),
“ Dan orang yang telah Kami berikan kitab kepadanya, mereka mengenal ( Muhammad ) seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri “ ( Surah al An’am : 20 ).
Dalam Hadis Rasulullah saw bersabda :
“ Aku adalah orang yang paling mengenal Allah dan paling takut kepadaNya “. ( Kitab Madarijussalikin, jilid 3, m.s.338)
“ takutlah kamu ( bertaqwa ) kepada Allah, dengan mengambil perhatian atas apa yang engkau kenal akan Dia dan dengan meninggalkan apa yang dilarangNya “ ( riwayat Ahmad ).
“ Iman itu adalh mengenal Allah dengan hati “ ( Ibnu Majah )
“ Iman itu adalah mengenal dengan hati, mengakui dengan lisan dan mengamalkan dengan perbuatan “ ( riwayat Thabrani dan Baihaqi )
“ Hati orang munafiq mengenal Allah tetapi mereka mengingkariNya “ ( riwayat Ahmad ).
Ibnu Qayim menyatakan bahwa orang yang bermakrifat (arif) adalah orang yang memiliki makrifat tentang Allah dengan segala sifat, asma dan perbuatanNya, kemudian Allah membenarkan muamalahnya, memurnikan tujuan dan niatnya, melepaskan akhlak-akhlaknya yang buruk, sabar menerima ketetapan hukum Allah, baik yang berupa nokmat atau musibah, kemudian berdoa kepadaNya berdasarkan bashirah terhadap agama dan ayat-ayat Allah, memurnikan seruan hanya kepada Allah seperti yang dibawa oleh Rasulullah, tidak dicampuri dengan keinginan , pemikiran dan hawa nafsu.
Sebagian ulama berkata bahwa diantara tanda makrifat kepada Allah adalah munculnya rasa takut kepada Allah, sehingga sesiapa yang lebih mengenal Allah maka dia akan lebih takut kepadaNya, sebagaimana yang dinyatakan oleh hadis nabi diatas.
Ada yang menyatakan bahwa makrifat akan mendatangkan ketenangan jiwa, sehingga sesiapa yang bermakrifat kepada Allah maka dia akan merasakan bertambahnya ketenangan jiwa “.
Ada orang yang bertanya : Apakah tanda makrifat kepada Allah ? Ulama Salaf menjawab bahwa tanda makrifat kepada Allah adalah kebersamaan hati dengan Allah dan merasakan kedekatan hati dengan Allah “.
Ulama tasawuf, Syibli berkata : “ Orang yang arif tidak mempunyai ikatan, orang yang mencintai tidak mengeluh, hamba yang arif tidak akan mengadu, bagi hamba yang takut tidak akan merasa aman dari siksa Allah, tetapi dia juga mengakui tidak akan dapat lari daripada Allah “.
Ulama sufi yang lain, Ahmad bin Ashim berkata : “ Sesiapa yang paling memiliki makrifat kepada Allah, maka dia akan merasa paling takut dengan siksa Allah “.
Ada lagi yang mengatakan bahwa ; Sesiapa yang makrifat kepada Allah, maka dia merasa sempitnya dunia karena rindu ingin berjumpa dengan Allah “
Ada yang menyatakan “ Makrifat kepada Allah akan melapangkan segala kesempitan “. Hal ini disebabkan dia mengenal sifat-sifat Allah, sehingga tidak ada kesulitan dan kesempitan dalam hidup ini, sebab dia yakin dengan segala sifat-sifat Allah.
Ulama lain berkata : “ Sesiapa yang memiliki makrifat kepada Allah, maka hidupnya menjadi jernih dan tenang, segala sesuatu takut kepadanya, dia tidak takut kepada apapun dan hatinya merasakan dekatnya seakan-akan berada di sisi Allah “.
Subagian ulama menyatakan : “ Makrifat kepada Allah maka dia akan merasa senang kepada Allah, senang dengan kematian, dan semuanya akan senang kepadanya, sementara sesiapa yang tidak memiliki makrifat kepada Allah maka dia akan merasakan terputusnya dunia, ( dunia tidak member manfaat bagi kehidupannya dimasa mendatang ), dan sesiapa yang makrifat kepada Allah tidak akan membiarkan sedikiktpun dari masa dan kesenangan di dunia kecuali hanya dipergunakan untuk mencari keridhaan Allah, dan jika memakai kesenangan hanya untuk dirinya berarti dia telah mendustakan makrifatnya kepada Allah. Sesiapa yang memilkiki makrifat kepada Allah, maka AllahTaala akan mencintainya, tergantung dari ukuran makrifatnya kepada Allah. Sesiapa yang makrifat kepada Allah, maka dia sangat takut kepadaNya ( khauf ), selalu berharap kepadaNya ( raja’ ), bertawakkal dan berserah diri kepadaNya, selalu merindukan perjumpaan dengan Nya, merasa malu kepadaNya ( jika tidak melakukan perintahNya), mengagungkanNya dan memuliakanNya “.
Diantara tanda orang yang arif adalah jika dia melihat dan mendengar informasi yang ghaib maka hatinya segera menjadi cermin mengajak kepada beriman, seberapa jauh kejernihan cermin hati itu, maka sejauh itu dia merasakan kehadirran Allah, merasakan kehidupan akhirat, merasakan wujudnya surge dan neraka, merasakan kehadiran rasul dan malaikat.
Ada orang yang bertanya kepada seorang ulama tasawuf Al Junaid bahwa ada segolongan orang yang mengaku telah mendapat tingkat makrifat sehingga merasa tidak perlu lagi menjalankan shalat dalam gerakan, cukup dengan mengenal Allah saja, dan mereka menyangka itulah suatu kebajikan , maka AlJunaid berkata : “ Mereka itu adalah orang yang dengan sengaja menggugurkan amal ibadah. Dalam pandangan saya ini merupakan masalah yang berat,karena orang yang berzina atau mencuri lebih baik daripada mereka yang berpendapat demikian. Orang yang memiliki makrifat tentang Allah sepatutnya mengambil berat setiap amal ibadah kepada Allah dan hanya ditujukan kepada Allah. Andaikata aku ( aljunaid ) berumur seribu tahun lagi, maka aku tidak akan mengurangi amal ibadah walaupun sebesar atom kecuali jika umurka telah dihentikan “.
Diantara tanda orang yang arif adalah tidak menyesali apa yang lepas daripada tangannya, dan tidak gembira karena sesuatu yang diterimanya, sebab dia melihat bahwa segala sesuatu tidak akan kekal ( fana ), dan segala sesuatu itu adalah milik Allah, semua datang dari Allah dan akan kembali kepada Allah.
AlJunaid berkata : Orang tidak disebut arif kecuali dia menjadi seperti tanah yang siap dipijak oleh orang baik dan orang yang buruk, atau menjadi seperti awan yang akan memberikan perlindungan kepada segala sesuatu, atau seperti hujan yang akan memberikan airnya kepada orang yang disukai ataupun tidak disukai ‘.
Ulama lain berkata : Orang tidak disebut arif kecuali jika dia memiliki harta sebanyak diberikan kepada nabi Sulaiman, tetapi harta itu tidsak membuatnya berpaling sedikitpun daripada Allah”.
Seorang ulama sufi Dzun Nun al Masri berkata : “ Tanda orang arif itu tiga macam : Cahaya makrifatnya tidak memadamkan cahaya wara’nya. Kedua tidak mempercayai ilmu batin dapat mengalahkan ilmu hukum secara zahir. Ketiga, limpahan nikmat Allah tidak membuatnya merusak tabir yang telah diharamkan Allah kepadanya “.
Dzun Nun ditanya dengan apa engkau mengenal Allah ? Maka dia menjawab : “ Aku mengenal Tuhan dengan Tuhanku, jikalau bukan karena TuhanKu maka aku tidak akan mengenal Tuhanku “.
Orang arif akan tetap menjaga hubungannya dengan Allah walaupun dalam keadaan tidur, sehingga ada yang berkata : Tidurnya orang arif sama dengan berjaga dan nafasnya orang arif merupakan tasbih, oleh sebab itu tidurnya orang arif lebih baim daripada shalatnya orang yang lalai “.
Ulama berkata bergaul dengan orang arif akanmengajakmu kepada enam perkara ; “ Mengajakmu dari keraguan kepada keyakinan, dari riya kepada ikhlas, dari lalai kepada dzikir, dari keinginan terhadap dunia kepada keinginan kepada akhirat, dari takabur kepada tawadhu, dan dari buruk sangka kepada nasihat “.
Orang arif adalah orang yang selalu mengisi waktunya dengan amal kebajikan, dan membagun waktunya untukmkehidupan dimasa mendatang.
Oleh sebab itu Muhammad bin al Fadl berkata : Makrifat itu adalah hidupnya hati seorang hamba bersama Allah.
Walahu A’lam
Masjid AlGhufron, 7 Ogos 2007/23Rajab 1428
Muhammad Arifin bin Ismail.
FANA
FANA
Fana dalam bahasa artinya adalah kebinasaan. Dalam kitab suci Al Quran disebutkan : “Semua yang ada dibumi ini akan binasa. Dan tetaplah wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan “ ( Surah ar Rahman : 26-27).
Sikap fana dalam mendekatkan diri kepada Allah adalah fana dalam kecintaan dan ketaatan kepada Allah, dan mencari keridhaan Allah sehingga mengantarkannya kepada kehidupan dan kedudukan yang kekal.
Sikap Fana juga dimaksudkan adalah fana hati dari seluruh kehidupan dunia, dan ketergantungan kepada alam dan makhluk yang fana, dan hanya bergantung kepada Dzat Allah yang kekal dan Yang Maha tinggi. Oleh sebab itu sebgain ulama menyatakan bahwa makna ayat Al Quran tersebut seakan-akan menyatakan : “ Jika engkau bergantung kepada yang fana, maka ketergantungan itu akan berakhir pada waktu benda itu menjadi fana ; tetapi jika engkau bergantung kepada Dzat yang kekal, maka ketergantungan itu tidak akan putus dan terus berlanjut “. Kefanaan dalam hal ini berarti puncak dan akhir ketergantungan seseorang dalam kepada makhluk, dan hanya menyerahkan segala keputusan dalam qudrah dan iradah Allah.
Ulama menyatakan ada dua tingkatan fana :
1. Fana dalam makrifat menegnal dzat Alah, sehingga tidak ada sesuatu dialam ini yang kekal kecuali Allah subhana wataala.
2. Fana dalam keilmuan, sehingga tidak ada sesuatu di dalam hati kecuali hanya mengingat dan dzikir kepada Allah.
3. Fana dalam kesaksian :
a. fana dalam kesaksian rububiyah dan qayumiyah. Maksudnya adalah kesaksian terhadap sifat Allah yang qayum ( berdiri sendiri ) bahwa Dialah sebagai pengatur, pencipta, pemberi rezki, pemberi manfaat dan mudharat, dan semua makhluk dan hamba wajib tunduk dibawah hukum rububiyah Allah subhana wataala.
b. Fana dalam kesaksian ilahiyah, maksudnya kefanaan dari kehendak kepada selain Allah, baik dalam cinta, tawakkal, takut dan harap, dengan penuh ketaatan sehingga tidak ada perintah dan larangan selain perintah Allah, tidak ada kehidupan selain mengikuti segala yang telah ditentukan Allah dalam syariatNya.
Penyimpangan pemahaman dalam fana :
1. Wahdatul wujud.
Wahdatul wujud artinya adalah kesatuan yang wujud. Maksudnya bahwa segala ala mini sebenarnya fana, dan yang wujud adalah Allah, dan semua makhluk itu adalah pancaran daripada Allah, oleh sebab itu jika kita melihat makhluk sama dengan kita melihat Allah. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh al Hallaj ( Abul Mughist Husain al hallaj hidup dari tahun 858 M – 922 , lahir di Marokko dan wafat di Baghdad ) yang berkata : “ Anal haq, Aku adalah Tuhan “. Dan dalam kesempatan lain dia juga berkata : “ Tidak ada dalam jubahku selain Allah “. Pernyataan ini diungkapkannya karena melihat bahwa dirinya secara Dzat telah fana dan yang ada hanya Dzat allah, sehingga jika aku melihat diriku, maka sebenarnya diriku telah fana, maka yang ada adalah Dzat Allah. Akhirnya ulama memfatwakan bahwa al hallaj adalah sesat dan hukuman bagi pernyataannya adalah dibunuh.
Pemikiran al hallaj ini berkembang ke nusantara sehingga Syekh Siti Jenar di Jawa juga berkata : Aku adalah Tuhan “, dan akhirnya Syekh siti Jenar di pulau jawa juga difatwakan oleh kumpulan ulama di jawa ( Wali Songo ) adalah sesat dan dibunuh.
Hal ini juga sebagaimana yang dikatakan oleh Hamzah Fansuri dalam syairnya :
Satukan hangat dengan dingin
Tinggal loba dan ingin
Hancur hendak seperti lilin
Maka dapat kerjamu licin
Hapuskan akal dan rasamu
Lenyapkan badan dan nyawamu
Pecahkan hendak kedua matamu
Disanalah lihat permai rupamu
Hunuskan pedang bakarkan sarung
Isbatkan Allah nafikan patung
Laut tauhid juga kau harung
Disanalah engkau dapat bernaung
Hamzah fansuri di dalam Makkah
Mencari Tuhan di Baitul Ka’bah
Dari Barus ke Kudis terlalu payah
Akhirnya dapat di dalam rumah
2. Ittihad.
Ittihad secara bahasa adalah bersatu. Hal ini dimaksudkan adalah bersatunya diri manusia dengan dzat Tuhan, sehingga diri manusia fana ( binasa ) dan yang ada adalah Dzat Tuhan. Jika wahdatul wujud menyatunya alam dengan Tuhan sehingga setiap alam seebnarnya adalah Dzat Tuhan yang memancar dalam alam, maka ittihad adalah diri manusia dengan dekatnya kepada Tuhan maka dia akan menyatu dengan tuhan, sebab itulah al hallaj berkata “ Anal Haq “, akulah Tuhan.
3. Hulul
Hulul adalah hilangnya diri dalam Dzat Tuhan, itulah sebabnya dalam syair tersebut Hamzah Fansuri berkata : Hapuskan akal dan rasamu, lenyapkan badan dan nyawamu, pecahkan hendak kedua matamu, disanalah lihat permai rupamu. Wallaahu A’lam.
Fana dalam bahasa artinya adalah kebinasaan. Dalam kitab suci Al Quran disebutkan : “Semua yang ada dibumi ini akan binasa. Dan tetaplah wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan “ ( Surah ar Rahman : 26-27).
Sikap fana dalam mendekatkan diri kepada Allah adalah fana dalam kecintaan dan ketaatan kepada Allah, dan mencari keridhaan Allah sehingga mengantarkannya kepada kehidupan dan kedudukan yang kekal.
Sikap Fana juga dimaksudkan adalah fana hati dari seluruh kehidupan dunia, dan ketergantungan kepada alam dan makhluk yang fana, dan hanya bergantung kepada Dzat Allah yang kekal dan Yang Maha tinggi. Oleh sebab itu sebgain ulama menyatakan bahwa makna ayat Al Quran tersebut seakan-akan menyatakan : “ Jika engkau bergantung kepada yang fana, maka ketergantungan itu akan berakhir pada waktu benda itu menjadi fana ; tetapi jika engkau bergantung kepada Dzat yang kekal, maka ketergantungan itu tidak akan putus dan terus berlanjut “. Kefanaan dalam hal ini berarti puncak dan akhir ketergantungan seseorang dalam kepada makhluk, dan hanya menyerahkan segala keputusan dalam qudrah dan iradah Allah.
Ulama menyatakan ada dua tingkatan fana :
1. Fana dalam makrifat menegnal dzat Alah, sehingga tidak ada sesuatu dialam ini yang kekal kecuali Allah subhana wataala.
2. Fana dalam keilmuan, sehingga tidak ada sesuatu di dalam hati kecuali hanya mengingat dan dzikir kepada Allah.
3. Fana dalam kesaksian :
a. fana dalam kesaksian rububiyah dan qayumiyah. Maksudnya adalah kesaksian terhadap sifat Allah yang qayum ( berdiri sendiri ) bahwa Dialah sebagai pengatur, pencipta, pemberi rezki, pemberi manfaat dan mudharat, dan semua makhluk dan hamba wajib tunduk dibawah hukum rububiyah Allah subhana wataala.
b. Fana dalam kesaksian ilahiyah, maksudnya kefanaan dari kehendak kepada selain Allah, baik dalam cinta, tawakkal, takut dan harap, dengan penuh ketaatan sehingga tidak ada perintah dan larangan selain perintah Allah, tidak ada kehidupan selain mengikuti segala yang telah ditentukan Allah dalam syariatNya.
Penyimpangan pemahaman dalam fana :
1. Wahdatul wujud.
Wahdatul wujud artinya adalah kesatuan yang wujud. Maksudnya bahwa segala ala mini sebenarnya fana, dan yang wujud adalah Allah, dan semua makhluk itu adalah pancaran daripada Allah, oleh sebab itu jika kita melihat makhluk sama dengan kita melihat Allah. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh al Hallaj ( Abul Mughist Husain al hallaj hidup dari tahun 858 M – 922 , lahir di Marokko dan wafat di Baghdad ) yang berkata : “ Anal haq, Aku adalah Tuhan “. Dan dalam kesempatan lain dia juga berkata : “ Tidak ada dalam jubahku selain Allah “. Pernyataan ini diungkapkannya karena melihat bahwa dirinya secara Dzat telah fana dan yang ada hanya Dzat allah, sehingga jika aku melihat diriku, maka sebenarnya diriku telah fana, maka yang ada adalah Dzat Allah. Akhirnya ulama memfatwakan bahwa al hallaj adalah sesat dan hukuman bagi pernyataannya adalah dibunuh.
Pemikiran al hallaj ini berkembang ke nusantara sehingga Syekh Siti Jenar di Jawa juga berkata : Aku adalah Tuhan “, dan akhirnya Syekh siti Jenar di pulau jawa juga difatwakan oleh kumpulan ulama di jawa ( Wali Songo ) adalah sesat dan dibunuh.
Hal ini juga sebagaimana yang dikatakan oleh Hamzah Fansuri dalam syairnya :
Satukan hangat dengan dingin
Tinggal loba dan ingin
Hancur hendak seperti lilin
Maka dapat kerjamu licin
Hapuskan akal dan rasamu
Lenyapkan badan dan nyawamu
Pecahkan hendak kedua matamu
Disanalah lihat permai rupamu
Hunuskan pedang bakarkan sarung
Isbatkan Allah nafikan patung
Laut tauhid juga kau harung
Disanalah engkau dapat bernaung
Hamzah fansuri di dalam Makkah
Mencari Tuhan di Baitul Ka’bah
Dari Barus ke Kudis terlalu payah
Akhirnya dapat di dalam rumah
2. Ittihad.
Ittihad secara bahasa adalah bersatu. Hal ini dimaksudkan adalah bersatunya diri manusia dengan dzat Tuhan, sehingga diri manusia fana ( binasa ) dan yang ada adalah Dzat Tuhan. Jika wahdatul wujud menyatunya alam dengan Tuhan sehingga setiap alam seebnarnya adalah Dzat Tuhan yang memancar dalam alam, maka ittihad adalah diri manusia dengan dekatnya kepada Tuhan maka dia akan menyatu dengan tuhan, sebab itulah al hallaj berkata “ Anal Haq “, akulah Tuhan.
3. Hulul
Hulul adalah hilangnya diri dalam Dzat Tuhan, itulah sebabnya dalam syair tersebut Hamzah Fansuri berkata : Hapuskan akal dan rasamu, lenyapkan badan dan nyawamu, pecahkan hendak kedua matamu, disanalah lihat permai rupamu. Wallaahu A’lam.
TAJRID (KESUNGGUHAN)
T A J R I D
Tajrid secara bahasa adalah mengosongkan sesuatu daripada yang lain. Maksud tajrid dalam pemahaman tasawuf bahwa jika kita sedang menghadap Allah, maka penuhkanlah perhatian hanya kepada Allah dan kosongkan perhatian daripada yang lain. Demikianlah juga jika engkau mengerjakan sesuatu maka penuhkanlah perhatian kepada pebuatan tersebut dengan niat kepada Allah dan kosongkan daripada yang lain. Kosongkan daripada yang lain dan hanya menghadapkan diri kepada Allah itulah yang dimaksudkan dalam kalimat : “ iyyaka na’budu wa iyyaka nastain “ dalam surah al fatihah.. Dalam ayat ini dipakai kalimat “Iyaaka” bukan “Ilaika”. Iyyaka artinya adalah hanya kepadaMu Ya Allah, dan tidak kepada yang lain sedikitpun sedang ilaika “ kepadaMu “; berarti dalam kalimat ‘iyyaka “ tersembnyi makna “tajrid” dan “tafrid”. Tajrid mengosongkan diri daripada segala sesuatu sedangkan tafrid hanya menuju kepada Allah Yang Esa, sebab kalimat tafrid berasal dari “fardun “, yang bermakna tunggal, satu, tidak ada yang lain. Ulama menyatakan “ tajrid “ dalam ibadah sedangkan “tafrid “ dalam ubudiyah. “Tajrid” dari hamba kepada Allah sedangkan tafrid terdapat pada Dzat Allah.
Ada kumpulan yang mengatakan bahwa tajrid adalah mengosongkan dunia dari kehidupan sehingga kehidupan hanya untuk beribadah kepada allah, padahal tajrid dalam amal ibadah tidak dapat dilakukan dengan meninggalkan amal shaleh, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ibnu Athaillah dalam kitab al Hikam : “ Keinginan anda untuk tajrid padahal Allah menempatkan anda pada asbab, maka hal itu termasuk syahwat yang tersembunyi. Sebaliknya jika melakukan “asbab” padahal Allah menempatkan anda pada kedudukan tajrid, maka hal itu berarti kemerosotan daripada himmah yang luhur “. Said Hawa menjelaskan bahwa tajrid disini maksudnya adalah meninggalkan pekerjaan duniawi, sehingga seakan-akan maksud Ibnu Athaillah adalah : “ Jika anda ditempatkan Allah pada kedudukan untuk melakukan ikhtiar dengan sebab-sebab sedangkan hatimu menginginkan tajrid, maka itu berarti akibat pengaruh syahwat yang tersembunyi “.
Disini Imam Athaillah menyatakan bahwa “tajrid” tidak berarti menghilangkan “asbab”. Sikap “Tajrid” adalah sikap hati yakin hanya Allah menentukan segala sesuatu tetapi keyakinan tersebut tidak boleh mengurangi amal terhadap sebab-sebab dalam berikhtiar. Tetapi dalam beramal, dalam melakukan sebab, maka hati tidak boleh pula tergantung kepada perbuatan tersebut, tetapi selayaknya hati hanya tetap bergantung kepada Allah. Ibnu Athaillah berkata : Daripada sebagian tanda ketergantungan kepada amal perbuatan adalah kurangnya harapan ketika terjadi suatu kesalahan “. Setiap muslim diwajibkan untuk beramal, berbuat sesuatu ikhtiar, tetapi diwaktu yang sama dia juga diwajibkan untuk tidak bersandar kepada amal perbuatannya tersebut, tetapi bersandar kepada Allah, hal ini dimaksudkan agar dalam melakukan amal, tujuannya adalah mencari keridhaan Allah, bukan natijah daripada amal perbuatan tersebut.
Ibnu Ajibah menjelaskan bahwa ‘” Tanda Allah menempatkanseseorang dalam “asbab” ialah dengan berjalan terus menerus dan nampak buahnya, maksudnya ketika sibuk dengan ikhtiar maka ikhtiar itu tidak menganggu agamanya, tidak membuatnya tamak kepada milik orang lain, tetap dalam niat yang baik, selalu menjalin hubungan silaturahmi dengan yang lain, dan menolong orang yang lain sehingga amal perbuatannya dapat memberikan manfaat kepada dirinya, hidupnya, manusia yang lain, alam sekitarnya, dan kehidupannya di akhirat kelak. Sedangkan jika Allah memberikan kepadanya “tajrid”, maka hatinya tetap kepada Allah walau dalam keadaan dan kesibukan melakukan asbab, dan mendapatkan ketenangan jiwa dalam beramal, kebersihan hati, dan hanya tergantung kepada Allah, tidak terpengaruh kepada natijah, tetapi tujuan melakukan asbab hanya mencari keridhaan Allah “.
Syetan selalu menggoda manusia dalam tajrid dan ikhtiar. Jika manusia sedang berikhtiar, maka dia mengoda dengan mengatakan bahwa keadaanmu ini adalah hina sebab engkau meninggalkan ibadah kepada Allah, maka sebaiknya engkau tinggalkan ikhtiar dan bergantunglah kepada Allah tanpa berikhtiar. Syetan berkata : “ Andai engkau meninggalkan ikhtiar, dan kamu tajrid beribadah kepada Allah, maka nanti hatimu akan bersinat dan mendapat kedudukan yang tinggi disisi Allah sebagaimana si fulan dan si fulan “. Akhirnya orang tadi akan meninggalkan ikhtiar, padahal Allah mewajibkannya berikhtiar.
Demikian juga syetan akan menggoda orang yang sedang khusyu’ beribadah kepada Allah (tajrid), dan berkata “ mengapa engkau sibuk dengan ibadah kepada Allah, padahal dunia itu diberikan kepadamu, maka sebab engkau meninggalkan ikhtiar, maka lihat orang lain telah menjadi kaya, mendapat dunia maka segera tinggalkan ibadahmu dan berikhtiarlah , dan carilah dunia “. Tujuan syetan adalah agar manusia yang sedang melakukan ibadah atau yang sedang melakukan ikhtiar terpesong, antara ibadah dan ikhtiar, padahal ikhtiar dilakukan dengan niat ibadah dan keyakinan kepada Allah merupakan cara untuk mendapatkan keridhaan Allah, tetapi sebab terputusnya ibadah disebabkan ikhtiar atau terputusnya ikhtiar disebabkan ibadah menjadi penyebab tidak mendapat ridha Allah. Ikhitar dan ibadah, tak dapat dipisahkan sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Atahillah : “ Amal-amal itu adalah badan yang berdiri, sedangkan rohnya adalah ketergantungan hati dan keikhlasan kepada Alah “.
Dalam hadis disebutkan bahwa :
“ Sesungguhnya Allah sangat suka kepada seorang hamba jika dia melakukan suatu perbuatan maka dia melakukannya dengan penuh kesungguhan “. ( riwayat Abu Ya’li dan al askari )
“ Andaikata kamu bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal maka Dia akan memberikan kepadamu rezeki sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung, di pagi hari burung itu keluar dari sarangnya mencari makan, dan di petang hari dia kembali ke sarangnya dalam keadaan perut yang kenyang “ ( riwayat Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah). Hadis ini menjelaskan bahwa tawakkal kepada Tuhan tidak menafikan ikhtiar, sebab Allah memberikan rezeki kepada burung sesudah burung itu terbang mencari rezeki, bukan menunggu di dalam sangkar. Tetapi dalam berikhtiar maka hati tetap bergantung dan bertawakkal kepada Allah.
Tajrid menghajatkan kepada “uzlah” dan inqitha’. Uzlah ( menyendiri ) bukanlah semata-mata menyendiri di salah satu sudut masjid atau bilik, tetapi suasana hati yang tetap ingat Allah dari satu waktu kepada waktu yang lain, tidak terpengaruh dengan segala godaan dan suasana dalam beramal dan berikhtiar. Sedangkan “inqitha’, adalah mengumpulkan segala potensi , semangat dan waktu untuk melakukan ikhtiar, dengan hati tetap bergantung kepada Allah, sehingga kata Ibnu Ataillah : “ Adalah kebodohan orang yang meninggalkan apa yang suidah dimilikinya karena hendak mencari sesuatu yang baru, padahal Allah telah memilih baginya pada waktu itu “.
Dalam uzlah Ibnu Ataillah juga berkata :
“ Tidak ada sesuatu yang bermanfaat untuk hati sebagaimana uzlah, sebab lewat pintu uzlah hati dapat memasuki medan pikir “.
“ Bagaimana mungkin hati akan bersinar, sementara gambaran dunia terlukis di cerminnya “.
“ Bagaimana mungkin seseorang itu menuju Allah, padahal hatinya terpasung oleh syahwatnya “.
Dalam sebuah hadis rasulullah saw bersabda :
“ Fitnah-fitnah itu dilekatkan di hati bagaikan tikar,sehelai demi sehelai. Maka hati yang dapat dimasukinya tertitik satu noda hitam padanya. Adapun hati yang mengingkarinya maka terteteslah padanya titik putih. Sehingga hati ada dua macam : hati yang putih laksana batu karang yang tak dapat digoyang oleh fitnah selama ada langit dan bumi; dan hati yang hitam laksana periuk yang terbalik, tidak mengenal kebaikan dan tidak mengingkari kemungkaran, hatinya penuh dengan hawanafsu yang telah masuk ke dalamnya “ ( riwayat Muslim ).
“Tajrid” dan asbab adalah bergantung kepada rububiyah dan melaksnaakan ubudiyah dalam setiap kehidupan, bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, dan pada waktu yang sama kita meyakini “tafrid” yaitu meyakini hanya Allah bermula segala sesuatu dan hanya kepadanya berakhir, sebaagimana dikatakan oleh Ibnu Atailah : “ Bergantunglah kamu kepada sifat-sifat rububiyah Allah, dan laksanakanlah dengan sungguh-sungguh sifat-sifat ubudiyahmu kepadaNya “.
Hati manusia selalu dalam proses ujian, apakah dapat melakukan tajrid , sehingga bersih daripada nafsu, keinginan dan goresan-goresan dunia, mereka yang dapatmelakukan “ tajrid” inilah yang disebutkan oleh Al Quran bahwa : “ Mereka itu adalah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertaqwa ‘ ( Surah al hujurat : 3 ). Semoga hati kita tetap tajrid dan tafrid kepada Allah dengan tetap melaksanakan ikhtiar dengan penuh kesungguhan dengan tujuan mendapatkan keridhaan Allah. Wallahu A’lam.
Muhammad Arifin Ismail
Masjid AlGhufran, 8 Sya’ban 1428/21 Ogos 2007
Tajrid secara bahasa adalah mengosongkan sesuatu daripada yang lain. Maksud tajrid dalam pemahaman tasawuf bahwa jika kita sedang menghadap Allah, maka penuhkanlah perhatian hanya kepada Allah dan kosongkan perhatian daripada yang lain. Demikianlah juga jika engkau mengerjakan sesuatu maka penuhkanlah perhatian kepada pebuatan tersebut dengan niat kepada Allah dan kosongkan daripada yang lain. Kosongkan daripada yang lain dan hanya menghadapkan diri kepada Allah itulah yang dimaksudkan dalam kalimat : “ iyyaka na’budu wa iyyaka nastain “ dalam surah al fatihah.. Dalam ayat ini dipakai kalimat “Iyaaka” bukan “Ilaika”. Iyyaka artinya adalah hanya kepadaMu Ya Allah, dan tidak kepada yang lain sedikitpun sedang ilaika “ kepadaMu “; berarti dalam kalimat ‘iyyaka “ tersembnyi makna “tajrid” dan “tafrid”. Tajrid mengosongkan diri daripada segala sesuatu sedangkan tafrid hanya menuju kepada Allah Yang Esa, sebab kalimat tafrid berasal dari “fardun “, yang bermakna tunggal, satu, tidak ada yang lain. Ulama menyatakan “ tajrid “ dalam ibadah sedangkan “tafrid “ dalam ubudiyah. “Tajrid” dari hamba kepada Allah sedangkan tafrid terdapat pada Dzat Allah.
Ada kumpulan yang mengatakan bahwa tajrid adalah mengosongkan dunia dari kehidupan sehingga kehidupan hanya untuk beribadah kepada allah, padahal tajrid dalam amal ibadah tidak dapat dilakukan dengan meninggalkan amal shaleh, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ibnu Athaillah dalam kitab al Hikam : “ Keinginan anda untuk tajrid padahal Allah menempatkan anda pada asbab, maka hal itu termasuk syahwat yang tersembunyi. Sebaliknya jika melakukan “asbab” padahal Allah menempatkan anda pada kedudukan tajrid, maka hal itu berarti kemerosotan daripada himmah yang luhur “. Said Hawa menjelaskan bahwa tajrid disini maksudnya adalah meninggalkan pekerjaan duniawi, sehingga seakan-akan maksud Ibnu Athaillah adalah : “ Jika anda ditempatkan Allah pada kedudukan untuk melakukan ikhtiar dengan sebab-sebab sedangkan hatimu menginginkan tajrid, maka itu berarti akibat pengaruh syahwat yang tersembunyi “.
Disini Imam Athaillah menyatakan bahwa “tajrid” tidak berarti menghilangkan “asbab”. Sikap “Tajrid” adalah sikap hati yakin hanya Allah menentukan segala sesuatu tetapi keyakinan tersebut tidak boleh mengurangi amal terhadap sebab-sebab dalam berikhtiar. Tetapi dalam beramal, dalam melakukan sebab, maka hati tidak boleh pula tergantung kepada perbuatan tersebut, tetapi selayaknya hati hanya tetap bergantung kepada Allah. Ibnu Athaillah berkata : Daripada sebagian tanda ketergantungan kepada amal perbuatan adalah kurangnya harapan ketika terjadi suatu kesalahan “. Setiap muslim diwajibkan untuk beramal, berbuat sesuatu ikhtiar, tetapi diwaktu yang sama dia juga diwajibkan untuk tidak bersandar kepada amal perbuatannya tersebut, tetapi bersandar kepada Allah, hal ini dimaksudkan agar dalam melakukan amal, tujuannya adalah mencari keridhaan Allah, bukan natijah daripada amal perbuatan tersebut.
Ibnu Ajibah menjelaskan bahwa ‘” Tanda Allah menempatkanseseorang dalam “asbab” ialah dengan berjalan terus menerus dan nampak buahnya, maksudnya ketika sibuk dengan ikhtiar maka ikhtiar itu tidak menganggu agamanya, tidak membuatnya tamak kepada milik orang lain, tetap dalam niat yang baik, selalu menjalin hubungan silaturahmi dengan yang lain, dan menolong orang yang lain sehingga amal perbuatannya dapat memberikan manfaat kepada dirinya, hidupnya, manusia yang lain, alam sekitarnya, dan kehidupannya di akhirat kelak. Sedangkan jika Allah memberikan kepadanya “tajrid”, maka hatinya tetap kepada Allah walau dalam keadaan dan kesibukan melakukan asbab, dan mendapatkan ketenangan jiwa dalam beramal, kebersihan hati, dan hanya tergantung kepada Allah, tidak terpengaruh kepada natijah, tetapi tujuan melakukan asbab hanya mencari keridhaan Allah “.
Syetan selalu menggoda manusia dalam tajrid dan ikhtiar. Jika manusia sedang berikhtiar, maka dia mengoda dengan mengatakan bahwa keadaanmu ini adalah hina sebab engkau meninggalkan ibadah kepada Allah, maka sebaiknya engkau tinggalkan ikhtiar dan bergantunglah kepada Allah tanpa berikhtiar. Syetan berkata : “ Andai engkau meninggalkan ikhtiar, dan kamu tajrid beribadah kepada Allah, maka nanti hatimu akan bersinat dan mendapat kedudukan yang tinggi disisi Allah sebagaimana si fulan dan si fulan “. Akhirnya orang tadi akan meninggalkan ikhtiar, padahal Allah mewajibkannya berikhtiar.
Demikian juga syetan akan menggoda orang yang sedang khusyu’ beribadah kepada Allah (tajrid), dan berkata “ mengapa engkau sibuk dengan ibadah kepada Allah, padahal dunia itu diberikan kepadamu, maka sebab engkau meninggalkan ikhtiar, maka lihat orang lain telah menjadi kaya, mendapat dunia maka segera tinggalkan ibadahmu dan berikhtiarlah , dan carilah dunia “. Tujuan syetan adalah agar manusia yang sedang melakukan ibadah atau yang sedang melakukan ikhtiar terpesong, antara ibadah dan ikhtiar, padahal ikhtiar dilakukan dengan niat ibadah dan keyakinan kepada Allah merupakan cara untuk mendapatkan keridhaan Allah, tetapi sebab terputusnya ibadah disebabkan ikhtiar atau terputusnya ikhtiar disebabkan ibadah menjadi penyebab tidak mendapat ridha Allah. Ikhitar dan ibadah, tak dapat dipisahkan sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Atahillah : “ Amal-amal itu adalah badan yang berdiri, sedangkan rohnya adalah ketergantungan hati dan keikhlasan kepada Alah “.
Dalam hadis disebutkan bahwa :
“ Sesungguhnya Allah sangat suka kepada seorang hamba jika dia melakukan suatu perbuatan maka dia melakukannya dengan penuh kesungguhan “. ( riwayat Abu Ya’li dan al askari )
“ Andaikata kamu bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal maka Dia akan memberikan kepadamu rezeki sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung, di pagi hari burung itu keluar dari sarangnya mencari makan, dan di petang hari dia kembali ke sarangnya dalam keadaan perut yang kenyang “ ( riwayat Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah). Hadis ini menjelaskan bahwa tawakkal kepada Tuhan tidak menafikan ikhtiar, sebab Allah memberikan rezeki kepada burung sesudah burung itu terbang mencari rezeki, bukan menunggu di dalam sangkar. Tetapi dalam berikhtiar maka hati tetap bergantung dan bertawakkal kepada Allah.
Tajrid menghajatkan kepada “uzlah” dan inqitha’. Uzlah ( menyendiri ) bukanlah semata-mata menyendiri di salah satu sudut masjid atau bilik, tetapi suasana hati yang tetap ingat Allah dari satu waktu kepada waktu yang lain, tidak terpengaruh dengan segala godaan dan suasana dalam beramal dan berikhtiar. Sedangkan “inqitha’, adalah mengumpulkan segala potensi , semangat dan waktu untuk melakukan ikhtiar, dengan hati tetap bergantung kepada Allah, sehingga kata Ibnu Ataillah : “ Adalah kebodohan orang yang meninggalkan apa yang suidah dimilikinya karena hendak mencari sesuatu yang baru, padahal Allah telah memilih baginya pada waktu itu “.
Dalam uzlah Ibnu Ataillah juga berkata :
“ Tidak ada sesuatu yang bermanfaat untuk hati sebagaimana uzlah, sebab lewat pintu uzlah hati dapat memasuki medan pikir “.
“ Bagaimana mungkin hati akan bersinar, sementara gambaran dunia terlukis di cerminnya “.
“ Bagaimana mungkin seseorang itu menuju Allah, padahal hatinya terpasung oleh syahwatnya “.
Dalam sebuah hadis rasulullah saw bersabda :
“ Fitnah-fitnah itu dilekatkan di hati bagaikan tikar,sehelai demi sehelai. Maka hati yang dapat dimasukinya tertitik satu noda hitam padanya. Adapun hati yang mengingkarinya maka terteteslah padanya titik putih. Sehingga hati ada dua macam : hati yang putih laksana batu karang yang tak dapat digoyang oleh fitnah selama ada langit dan bumi; dan hati yang hitam laksana periuk yang terbalik, tidak mengenal kebaikan dan tidak mengingkari kemungkaran, hatinya penuh dengan hawanafsu yang telah masuk ke dalamnya “ ( riwayat Muslim ).
“Tajrid” dan asbab adalah bergantung kepada rububiyah dan melaksnaakan ubudiyah dalam setiap kehidupan, bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, dan pada waktu yang sama kita meyakini “tafrid” yaitu meyakini hanya Allah bermula segala sesuatu dan hanya kepadanya berakhir, sebaagimana dikatakan oleh Ibnu Atailah : “ Bergantunglah kamu kepada sifat-sifat rububiyah Allah, dan laksanakanlah dengan sungguh-sungguh sifat-sifat ubudiyahmu kepadaNya “.
Hati manusia selalu dalam proses ujian, apakah dapat melakukan tajrid , sehingga bersih daripada nafsu, keinginan dan goresan-goresan dunia, mereka yang dapatmelakukan “ tajrid” inilah yang disebutkan oleh Al Quran bahwa : “ Mereka itu adalah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertaqwa ‘ ( Surah al hujurat : 3 ). Semoga hati kita tetap tajrid dan tafrid kepada Allah dengan tetap melaksanakan ikhtiar dengan penuh kesungguhan dengan tujuan mendapatkan keridhaan Allah. Wallahu A’lam.
Muhammad Arifin Ismail
Masjid AlGhufran, 8 Sya’ban 1428/21 Ogos 2007
DZOUK (MERASAKAN )
DZOUQ
Dzouq adalah keadaan seseorang untuk merasakan kelezatan dan kenikmatan sesuatu baik secara zahir maupun secara batin. Dalam sebuah hadis sahih disebutkan bahwa :
ذ ا ق طعم الا يما ن : من رضى با للـه ربا و با لاسـلا م د ينـا و بـمـحـمـد ر سـو لا
“ Seseorang itu akan merasakan makanan iman : sesiapa yang ridha dngan Allah sebagai Tuhan, dan dengan islam sebagai agama, dan dengan Muhammad sallallahu alaihi wasallam sebagai rasul “. Hadis ini memberikan gambaran kepada kita bahwa iman itu laksana makanan, dan hati seorang yang beriman akan merasakan kelezatan makanan tersebut sebagaimana seseorang merasakan kenikmatan dan kelezatan suatu makanan dan minuman. Jika seseorang telah merasakan kelezatan iman dan islam, maka tidak ada sedikitpun keraguan yang akan sampai ke dalam hatinya.
Dzouq : Zikir-(ilmu)-Makrifah-(ridha)
Dzouq ini didahului oleh zikir dan makrifah. Zikir adalah mengingat dan mengetahui dan mempunyai ilmu, dengan ilmu itu barulah seseorang mengenal (makrifah ) Allah, dan segala yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah. Setelah mengenal Allah, mengenal Rasulullah, mengenal hari kemudian, mengenal kehidupan, mengenal perintah-perintah Allah, mengenal Surga, mengenal neraka, mengenal kehidupanm akhirat, mengenal malaikat, mengenal musuh-musuh iman seeprti syetan, hawa nafsu, orang kafir, dan munafik; barulah dia dapat merasakan kelezatan iman. Itulah sebabnya, dalam hadis diatas disebutkan bahwa kelezatan iman itu hanya didapat bagi mereka yang telah ridha kepada Allah , ridha kepada rasul dan ridha kepada islam sebagai agama. Keridhaan tersebut hanya didapat setelah seseorang mengenal, dan mengenal tersebut hanya dicapai jika seeseorang telah mengetahui akan sesuatu secara detail.
Ibnu Qayim membagi Dzouq dalam tiga tingkatan :
Pertama : Dzouq dengan merasakan kelezatan keyakinan, sehingga tidak dapat diputuskan dengan anggapan, atau angan-angan. Tidak dapat diputuskan oleh anggapan, maksudnya keyakinan terhadap Allah, rasul dan agama Islam tidak dapat lagi diputuskan oleh “dzan”, anggapan-anggapan dalam pemikiran manusia.
“Dan janganlah kamu mencampurkan yang benar dengan yang salah “ ( Surah albaqarah :42)
“Kebenaran itu hanya datang dari Tuhan engkau maka janganlah engkau termasuk orang yang ragu “ ( Surah al baqarah : 214/ Ali Imran : 60)
“Dan janganlah kamu mengikuti keinginan mereka(orang kafir) tentang sesuatu kebenaran yang datang kepada engkau “ ( Surah alMaidah :48 ).
“Dan sesungguhnya anggapan (dzan ) itu tidak berguna sedikitpun dalam kebenaran” (surah an anjm : 53).
“Mereka (orang kafir)tidak mempunyai ilmu (tentang pembunuhan nabi isa), itu semua hanyalah sangkaan(dzan) “ ( Surah an Nisa:157).
“ Apakah kamu tidak melihat orang yang mengambil hawa nafsunya sebagai tuhan dan Allah membiarkannya sesat karena ilmunya, dan Allah menutup pendengarannya, dan hatinya, dan meletakkan penutup atas penglihatannya.Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah membiarkannya sesat. Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran ? Mereka berkata : Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia sahaja,kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa; dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanya menyangka (dzan) sahaja “ ( surah al-Jatsiyah/45:23-24).
Tidak dapat diputuskan oleh angan-angan maksudnya adalah tidak dapat diputuskan dengan keindahan dan kemewahan dunia, sebab dia telah mendapatkan janji-janji Allah dengan kehidupan yang penuh nikmat di hari akhirat.
“ Allah telah menjanjikan kepada orang yang beriman laki dan perempuan taman-taman yang dibawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya dan mendapatkan tempat tinggal yang baik di dalam surge adn, dan keridhaan Allah itu lebih besar “ ( Surah Taubah/9:72)
Dalam hadis disebutkan : Demi Allah, tidak ada sesuatu yang diberikan Allah kepada mereka (orang yang beriman ) sesuatu yang lebih hebat daripada melihat wajah Allah “.
Dzouq diperoleh setelah meyakini Allah dengan ilmu dan makrifah, kemudian mengamalkan perintahNya dengan motivasi pahala, serta kenikmatan surga, dan menjauhi laranganNya dengan mengingat siksaan dan kepedihan neraka bagi mereka yang ingkar kepadaNya. Maka untuk merasakan Dzuoq ibadah dalam tingkatan pertama ini diperlukan hadis-hadis motivasi tentang pahala dan hadis berbagai siksa bagi mereka yang ingkar kepadaNya. Tujuannya adalah agar seorang mukmin tidak lagi terpengaruh dengan angan-angan kenikmatan dunia yang akan selalu mengganggunya dalam menjalankan perintahNya. Dalam hadis disebutkan : Orang yang pandai itu adalah orang yang dapat menguasai keinginan dirinya/hawa nafsu dan berbuat untuk kehidupan setelah kematian; dan orang yang bodoh itu adalah orang yang mengikuti keinginan hawa nafsunya tetapi berangan-angan kepada yang dijanjikan Allah “.
Tingkatan kedua adalah Dzuq dengan merasakan kelezatan kehadiran Allah dalam setiap keadaan hidupnya. Orang ini akan merasakan bahwa Allah selalu bersamanya, selalu melihat perbuatannya, selalu mengawasi tindakannya, baik di dalam masjid atau di luar masjid, baik di waktu seorang diri maupun sedang bersama orang ramai. Orang yang merasakan dzouq seperti ini akan selalu : Zikir kepada Allah dalam setiap keadaan dan waktu, mencintai Allah dalam setiap keadaan, dan tetap melakukan perbuatan terbaik ( ihsan ) dalam setiap tindakan. Kualiti dzouq tingkatan kedua ini tergantung kepada kualiti kedekatan (taqarrub ) kepada Allah, dengan menjalankan segala perintahNya dan menjauhi laranganNya. Dalam tingkatan kedua ini mereka melakukan amal bukan karena pahala tetapi karena hanya untuk menghambakan diri kepadaNya. “ Sesungguhnya kami ini mememberikan makanan kepada mereka hanya karena mengharapkan keridhaan Allah,Kami tidak menginginkan balasan daripada kamu, dan juga tidak menginginkan (ucapan) terima kasih “ ( surah al Insan/76 : 9 ).
“ Dan kelak akan dijauhkan dari neraka orang yang paling bertaqwa, yaitu orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah untuk membersihkannya, dan tidak seorangpun yang mengharapkan balasan dari kenikmatan tersebut sebab dia memberikan itu hanya karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi “ ( Surah al lail ?92 : 17-20)
Tingkatan ketiga adalah dzouq dengan merasakan kelezatan berhubungan dengan Allah dalam setiap keadaan. Setiap ucapan merupakan ucapan kesyukuran atas karunia Allah, dan merupakan munajat kepada Allah. Pendengaran dipergunakan hanya untuk mendengarkan perintah Allah, penglihatan hany untuk melihat kekuasaan Allah dan perbuatan, baik ibadah ataupun kerja hanya untuk penghambaan diri kepada Allah.
Dalam hadis Qudsi , Allah subhana wa Taala telah berfirman : “ Sesiapa yang memusuhi waliKu maka seolah-olah dia berani untuk mengisytiharkan perang kepadaKu. Tiadalah seorang hambaKu bertaqarrub kepadaKu dengan sesuatu yang paling Aku cintai selain daripada kewajiban-kewajiban yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan hambaKu itu senantiasa mendekatkan diri kepadaKu dengan ibadah-ibadah sunnah sehingga aku mencintainya. Apabila aku mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengarannya dengan itu ia mendengar. Aku menjadi penglihatannya, dengan itu dia akan melihat. Aku akan menjadi tangannya, dengan itu dia akn memegang; dan Aku akan menjadi kakinya, dengan itu dia berjalan. Apabila dia meminta kepadaKu, niscaya Aku kabulkan, dan apabila dia memohon perlindungan kepadaKu, nescaya Aku akan melindunginya ( hadis riwayat Bukari ).
Ibnu Qayim dalam kitab “Thariqul Hijratain” berkata bahwa wali Allah adalah orang yang tidur, tetapi hatinya berkeliling di sekitar Arsy dan dia senantiasa berhubungan dengan Allah, Tuhan Yang Maha Agung.
ا لـلـه أ عـلــم و ا لـحـمـد لـلــه رب ا لـعـا لمـين
Dzouq adalah keadaan seseorang untuk merasakan kelezatan dan kenikmatan sesuatu baik secara zahir maupun secara batin. Dalam sebuah hadis sahih disebutkan bahwa :
ذ ا ق طعم الا يما ن : من رضى با للـه ربا و با لاسـلا م د ينـا و بـمـحـمـد ر سـو لا
“ Seseorang itu akan merasakan makanan iman : sesiapa yang ridha dngan Allah sebagai Tuhan, dan dengan islam sebagai agama, dan dengan Muhammad sallallahu alaihi wasallam sebagai rasul “. Hadis ini memberikan gambaran kepada kita bahwa iman itu laksana makanan, dan hati seorang yang beriman akan merasakan kelezatan makanan tersebut sebagaimana seseorang merasakan kenikmatan dan kelezatan suatu makanan dan minuman. Jika seseorang telah merasakan kelezatan iman dan islam, maka tidak ada sedikitpun keraguan yang akan sampai ke dalam hatinya.
Dzouq : Zikir-(ilmu)-Makrifah-(ridha)
Dzouq ini didahului oleh zikir dan makrifah. Zikir adalah mengingat dan mengetahui dan mempunyai ilmu, dengan ilmu itu barulah seseorang mengenal (makrifah ) Allah, dan segala yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah. Setelah mengenal Allah, mengenal Rasulullah, mengenal hari kemudian, mengenal kehidupan, mengenal perintah-perintah Allah, mengenal Surga, mengenal neraka, mengenal kehidupanm akhirat, mengenal malaikat, mengenal musuh-musuh iman seeprti syetan, hawa nafsu, orang kafir, dan munafik; barulah dia dapat merasakan kelezatan iman. Itulah sebabnya, dalam hadis diatas disebutkan bahwa kelezatan iman itu hanya didapat bagi mereka yang telah ridha kepada Allah , ridha kepada rasul dan ridha kepada islam sebagai agama. Keridhaan tersebut hanya didapat setelah seseorang mengenal, dan mengenal tersebut hanya dicapai jika seeseorang telah mengetahui akan sesuatu secara detail.
Ibnu Qayim membagi Dzouq dalam tiga tingkatan :
Pertama : Dzouq dengan merasakan kelezatan keyakinan, sehingga tidak dapat diputuskan dengan anggapan, atau angan-angan. Tidak dapat diputuskan oleh anggapan, maksudnya keyakinan terhadap Allah, rasul dan agama Islam tidak dapat lagi diputuskan oleh “dzan”, anggapan-anggapan dalam pemikiran manusia.
“Dan janganlah kamu mencampurkan yang benar dengan yang salah “ ( Surah albaqarah :42)
“Kebenaran itu hanya datang dari Tuhan engkau maka janganlah engkau termasuk orang yang ragu “ ( Surah al baqarah : 214/ Ali Imran : 60)
“Dan janganlah kamu mengikuti keinginan mereka(orang kafir) tentang sesuatu kebenaran yang datang kepada engkau “ ( Surah alMaidah :48 ).
“Dan sesungguhnya anggapan (dzan ) itu tidak berguna sedikitpun dalam kebenaran” (surah an anjm : 53).
“Mereka (orang kafir)tidak mempunyai ilmu (tentang pembunuhan nabi isa), itu semua hanyalah sangkaan(dzan) “ ( Surah an Nisa:157).
“ Apakah kamu tidak melihat orang yang mengambil hawa nafsunya sebagai tuhan dan Allah membiarkannya sesat karena ilmunya, dan Allah menutup pendengarannya, dan hatinya, dan meletakkan penutup atas penglihatannya.Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah membiarkannya sesat. Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran ? Mereka berkata : Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia sahaja,kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa; dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanya menyangka (dzan) sahaja “ ( surah al-Jatsiyah/45:23-24).
Tidak dapat diputuskan oleh angan-angan maksudnya adalah tidak dapat diputuskan dengan keindahan dan kemewahan dunia, sebab dia telah mendapatkan janji-janji Allah dengan kehidupan yang penuh nikmat di hari akhirat.
“ Allah telah menjanjikan kepada orang yang beriman laki dan perempuan taman-taman yang dibawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya dan mendapatkan tempat tinggal yang baik di dalam surge adn, dan keridhaan Allah itu lebih besar “ ( Surah Taubah/9:72)
Dalam hadis disebutkan : Demi Allah, tidak ada sesuatu yang diberikan Allah kepada mereka (orang yang beriman ) sesuatu yang lebih hebat daripada melihat wajah Allah “.
Dzouq diperoleh setelah meyakini Allah dengan ilmu dan makrifah, kemudian mengamalkan perintahNya dengan motivasi pahala, serta kenikmatan surga, dan menjauhi laranganNya dengan mengingat siksaan dan kepedihan neraka bagi mereka yang ingkar kepadaNya. Maka untuk merasakan Dzuoq ibadah dalam tingkatan pertama ini diperlukan hadis-hadis motivasi tentang pahala dan hadis berbagai siksa bagi mereka yang ingkar kepadaNya. Tujuannya adalah agar seorang mukmin tidak lagi terpengaruh dengan angan-angan kenikmatan dunia yang akan selalu mengganggunya dalam menjalankan perintahNya. Dalam hadis disebutkan : Orang yang pandai itu adalah orang yang dapat menguasai keinginan dirinya/hawa nafsu dan berbuat untuk kehidupan setelah kematian; dan orang yang bodoh itu adalah orang yang mengikuti keinginan hawa nafsunya tetapi berangan-angan kepada yang dijanjikan Allah “.
Tingkatan kedua adalah Dzuq dengan merasakan kelezatan kehadiran Allah dalam setiap keadaan hidupnya. Orang ini akan merasakan bahwa Allah selalu bersamanya, selalu melihat perbuatannya, selalu mengawasi tindakannya, baik di dalam masjid atau di luar masjid, baik di waktu seorang diri maupun sedang bersama orang ramai. Orang yang merasakan dzouq seperti ini akan selalu : Zikir kepada Allah dalam setiap keadaan dan waktu, mencintai Allah dalam setiap keadaan, dan tetap melakukan perbuatan terbaik ( ihsan ) dalam setiap tindakan. Kualiti dzouq tingkatan kedua ini tergantung kepada kualiti kedekatan (taqarrub ) kepada Allah, dengan menjalankan segala perintahNya dan menjauhi laranganNya. Dalam tingkatan kedua ini mereka melakukan amal bukan karena pahala tetapi karena hanya untuk menghambakan diri kepadaNya. “ Sesungguhnya kami ini mememberikan makanan kepada mereka hanya karena mengharapkan keridhaan Allah,Kami tidak menginginkan balasan daripada kamu, dan juga tidak menginginkan (ucapan) terima kasih “ ( surah al Insan/76 : 9 ).
“ Dan kelak akan dijauhkan dari neraka orang yang paling bertaqwa, yaitu orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah untuk membersihkannya, dan tidak seorangpun yang mengharapkan balasan dari kenikmatan tersebut sebab dia memberikan itu hanya karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi “ ( Surah al lail ?92 : 17-20)
Tingkatan ketiga adalah dzouq dengan merasakan kelezatan berhubungan dengan Allah dalam setiap keadaan. Setiap ucapan merupakan ucapan kesyukuran atas karunia Allah, dan merupakan munajat kepada Allah. Pendengaran dipergunakan hanya untuk mendengarkan perintah Allah, penglihatan hany untuk melihat kekuasaan Allah dan perbuatan, baik ibadah ataupun kerja hanya untuk penghambaan diri kepada Allah.
Dalam hadis Qudsi , Allah subhana wa Taala telah berfirman : “ Sesiapa yang memusuhi waliKu maka seolah-olah dia berani untuk mengisytiharkan perang kepadaKu. Tiadalah seorang hambaKu bertaqarrub kepadaKu dengan sesuatu yang paling Aku cintai selain daripada kewajiban-kewajiban yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan hambaKu itu senantiasa mendekatkan diri kepadaKu dengan ibadah-ibadah sunnah sehingga aku mencintainya. Apabila aku mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengarannya dengan itu ia mendengar. Aku menjadi penglihatannya, dengan itu dia akan melihat. Aku akan menjadi tangannya, dengan itu dia akn memegang; dan Aku akan menjadi kakinya, dengan itu dia berjalan. Apabila dia meminta kepadaKu, niscaya Aku kabulkan, dan apabila dia memohon perlindungan kepadaKu, nescaya Aku akan melindunginya ( hadis riwayat Bukari ).
Ibnu Qayim dalam kitab “Thariqul Hijratain” berkata bahwa wali Allah adalah orang yang tidur, tetapi hatinya berkeliling di sekitar Arsy dan dia senantiasa berhubungan dengan Allah, Tuhan Yang Maha Agung.
ا لـلـه أ عـلــم و ا لـحـمـد لـلــه رب ا لـعـا لمـين
Al-JAM'U (BERKUMPUL)
A L - J A M ’ U
“Al Jam’u” secara harfiyah maksudnya adalah mengumpulkan. Maksud al Jam’u disini adalah mengumpulkan antara perbuatan hamba dengan kehendak dan keputusan Allah, sehingga terjadilah sesuatu perbuatan. Hal ini didasarkan kepada ayat : “ Tidaklah negkau melempar, tetapi Allah yang telah melempar “ ( QS. Al Anfal : 17 ). Ayat ini turun dalam peperangan Badar, dimana Rasulullah melempar batu kepada musuh dan ketika batu itu terkena kepada orang kafir maka orang kafir musyrikin itupun mati. Oleh sebab itu ayat ini menyatakan bahwa wahai Muhammad engkau tidaklah melempar batu itu, tetapi Allah melempar. Maksudnya bahwa engkau yang melempar, tetapi Allah yang menjadikan keputusan lempar itu sehingga orang kafir itu mati disebabkan oleh lemparan yang engkau lakukan. Keyakinan bahwa itu semua terjadi karena kehendak Allah , sehingga perbuatan manusia itu hanya merupakan sebab, itulah yang dinamakan dengan al jam’u ( mengumpulkan dengan menghilangkan sebab, sehingga yang diyakini itu adalah perbuatan dan keputusan dari Allah ).
Ada kumpulan yang salah memahami ayat diatas menyatakan bahwa manusia itu tidak melempar, maka setiap lemparan itu hanyalah Allah yang melempar, oleh sebab itu manusia tidak perlu berikhtiar, sebab semuanya itu terpulang kepada Allah. Ini pendapat kelompok Jabariyah yang salah, sebab manusia yang melakukan lemparan, dan pada waktu manusia itu melempar, itu dengan ikhtiar, dengan usaha (kasb ), dengan kekuatan daripada mansuia, hanya saja pada waktu manusia itu melempar, Allah yang membrikan kepadanya kekuatan, dan keputusan.
Ada lagi kelompok yang menyatakan bahwa manusia itulah yang melempar, bukan Allah sebab manusia itu diberi kekuasaan penuh dalam berikhtiar, tanpa ada hubungan dengan Tuhan. Mereka berlandaskan kepada ayat : “ Sesungguhnya Allah itu tidak merobah apapun daripada suatu kaum sehingga kaum itu yang merobah apa yang ada pada diri mereka sendiri “. ( Surah al ra’d : 11 ). Pendapat dari kelompok Qadariyah ini juga salah, sebab mereka tidak melihat kepada ayat yang lain. Adapun yang benar adalah mengumpulkan kedua ayat, sebagaimana yang diyakini oleh Ahlussunnah wal jamaah, bahwa manusia yang melakukan ikhtiar dan berusaha ( kasb ), hanya segala sesuatu itu tergantung juga dengan iradah dan qudrah daripada Allah Taala. Inilah yang disebut dengan konsep al Jam’u , yaitu mengumpulkan antara ikhtiar dan kasab daripada manusia dengan kehendak dan qudrah daripada Allah, dan menyatakan bahwa keputusan segala sesuatu hanya ada pada Allah.
Dalam memahami konsep “ al Jam’u “ ini, maka seorang ulama tasawuf, Ibnu Athaillah Al Askandari dalam kitabnya yang terkenal “ al Hikam” menyatakan : “ Orang yang lalai akan melihat apakah yang akan dikerjakannya esok hari, sedangkan orang yang berakal akan berkata apakah yang akan Allah perbuat baginya esok hari “. Bagi orang yang lalai dia akan menyangka bahwa dirinya melakukan sesuatu perbuatan, tanpa ada hubungan kait dengan Allah Taala, sedangkan bagi orang yang berakal menyatakan bahwa apapun yang dilakukan pada esok hari itu semua hanya dapat dilaksanakan dengan pertolongan Allah, sebab Allah memberikan kepadanya kesehatan, kekuatan, dan Allah juga yang memberikan kepadanya keputusan daripada perbuatannya tersebut. Itulah sebabnya dalam Al Quran dinyatakan : “ Dan janganlah engkau berkata bahwa besok engkau akan melakukan sesuatu perbuatan melainkan dengan izin dan kehendak Allah “ ( Surah al kahfi : 23-24 ).
Pemahaman “al Jam’u” dalam perbuatan itu dapat dilaksanakan dengan cara bahwa sewaktu akan melakukan perbuatan kita mengucapkan “isnya Allah “, sewaktu mulai melakukan perbuatan dengan ucapan “ Bismillah “, dan sewaktu perbuatan itu berakhakhir , maka kita ucapkan “ Alhamdulillah “. Dengan ucapan itu maka kita memahami bahwa perbuatan manusia tidak ada satupun yang dapat dilepaskan dari pertolongan, qudrah dan iradah Allah, sehingga manusia jika melakukan sesuatu harus meyakini bahwa “ La haula wala quwata illa billah “, tiada upaya dan tiada kekuatan kecuali daripada Allah Subhana wa taala. Manusia melakukan perbuatan, tetapi upaya manusia uitu juga datang darupada Allah. Manusia yang mempunyai tenaga dan kekuatan, tetapi tenaga dan kekuatan juga datang dari Allah, bukan dari badan manusia itu semata-mata. Dengan pemahaman ini, maka manusia akan terlepas daripada riya, bangga dan sombong.
Dengan pemahaman “al jam’u “, manusia juga akan mengakhiri segala perbuatan yang dilakukannya dengan meminta ampun dan taubat kepada Allah, itulah sebabnya rasulullah sendiri setiap mengakhiri sesuatu perbuatan seperti majlis ilmu, selalu melakukan “istighfar’. Demikian juga setiap pagi nabi membaca istighfar dan di perang hari nabi juga membaca istighfar. Seakan-akan mengajarkan kepada umatnya agar memulai hari dengan istighfar dan menutup hari dengan istighfar. Dengan istighfar berarti kita telah merasa bahwa perbuatan kita itu harus kita persembahkan kepada Allah, dan sebab itu kita meminta ampun atas kesalahan ataupun kekurangan yang terdapat dalam perbuatan tersebut.
Ulama juga menyatakan al jam’u dalam ilmu, artinya manusia disuruh Allah mencari ilmu, tapi ingatlah bahwa ilmu itu dfatang daripada Allah : “Bacalah dengan nama Tuhanmu “ ( Surah al Alaq : 1 ) dan dalam ayat lain Allah berfirman : “ Dan kami ajarkan dia ( khidir ) dengan ilmu pengetahuan yang datang dari sisi kami “ ( Surah al Kahfi : 65 ). Carilah ilmu itu dengan nama Allah, walaupun engkau mencari ilmu dengan membaca, mengkaji, dan lain sebagainya, tetapi ilmu itu yang datang kepada kamu itu semua bukan karena pembacaan dan pengkajian, tetapi daripada Allah Taala. Inilah yang dimaksud dengan “ al Jam’u “ dalam ilmu.
“Al jam’u “ juga dalam wujud, sehingga seorang manusia harus meyakini bahwa wujudnya sesuatu itu hanya dapat terjadi dengan wujudnya Allah, dengan kekuasaan Allah dalam menciptakan sesuatu, bukan terjadi dengan sendirinya. Segala kejadian alam, perubahan siang dan malam, itu semua terjadi dengan adanya ketentuan Tuhan dalam setiap proses penciptaan, sebagaimana dinyatakan oleh Al Quran bahwa Allah melakukan segala sesuatu dalam setiap sa’at penciptaan : “ Setiap yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepadaNya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan “ ( Surah ar rahman : 29 ).
Dengan memahami al jam’u dalam wujud baru kita dapat memahami “ aljam-‘u “ dalam kesaksian, dimana seorang mansuia dalam melihat setiap benda, melihat setiap kejadian alam, hanya menyaksikan kebesaran Tuhan, dimana segala diciptakanNya dengan penuh hikmah, dan kasih sayang Allah. Sebab itu segala sesuatu bagi seorang muslim itu merupakan kebaikan sebab segala sesuatu itu diciptakan oleh Allah untuk kebaikan manusia. “ Kadangkala apa yang engkau benci, itu sebenarnya itu baik bagi dirimu dan apa yang engkau suka, itu sebenarnya tidak baik bagi dirimu, sebab hanya Allah Maha mengetahui dan kamu tidak mengetahuinya “ ( Surah alBaqarah : 216 ). Walahu A’lam.
“Al Jam’u” secara harfiyah maksudnya adalah mengumpulkan. Maksud al Jam’u disini adalah mengumpulkan antara perbuatan hamba dengan kehendak dan keputusan Allah, sehingga terjadilah sesuatu perbuatan. Hal ini didasarkan kepada ayat : “ Tidaklah negkau melempar, tetapi Allah yang telah melempar “ ( QS. Al Anfal : 17 ). Ayat ini turun dalam peperangan Badar, dimana Rasulullah melempar batu kepada musuh dan ketika batu itu terkena kepada orang kafir maka orang kafir musyrikin itupun mati. Oleh sebab itu ayat ini menyatakan bahwa wahai Muhammad engkau tidaklah melempar batu itu, tetapi Allah melempar. Maksudnya bahwa engkau yang melempar, tetapi Allah yang menjadikan keputusan lempar itu sehingga orang kafir itu mati disebabkan oleh lemparan yang engkau lakukan. Keyakinan bahwa itu semua terjadi karena kehendak Allah , sehingga perbuatan manusia itu hanya merupakan sebab, itulah yang dinamakan dengan al jam’u ( mengumpulkan dengan menghilangkan sebab, sehingga yang diyakini itu adalah perbuatan dan keputusan dari Allah ).
Ada kumpulan yang salah memahami ayat diatas menyatakan bahwa manusia itu tidak melempar, maka setiap lemparan itu hanyalah Allah yang melempar, oleh sebab itu manusia tidak perlu berikhtiar, sebab semuanya itu terpulang kepada Allah. Ini pendapat kelompok Jabariyah yang salah, sebab manusia yang melakukan lemparan, dan pada waktu manusia itu melempar, itu dengan ikhtiar, dengan usaha (kasb ), dengan kekuatan daripada mansuia, hanya saja pada waktu manusia itu melempar, Allah yang membrikan kepadanya kekuatan, dan keputusan.
Ada lagi kelompok yang menyatakan bahwa manusia itulah yang melempar, bukan Allah sebab manusia itu diberi kekuasaan penuh dalam berikhtiar, tanpa ada hubungan dengan Tuhan. Mereka berlandaskan kepada ayat : “ Sesungguhnya Allah itu tidak merobah apapun daripada suatu kaum sehingga kaum itu yang merobah apa yang ada pada diri mereka sendiri “. ( Surah al ra’d : 11 ). Pendapat dari kelompok Qadariyah ini juga salah, sebab mereka tidak melihat kepada ayat yang lain. Adapun yang benar adalah mengumpulkan kedua ayat, sebagaimana yang diyakini oleh Ahlussunnah wal jamaah, bahwa manusia yang melakukan ikhtiar dan berusaha ( kasb ), hanya segala sesuatu itu tergantung juga dengan iradah dan qudrah daripada Allah Taala. Inilah yang disebut dengan konsep al Jam’u , yaitu mengumpulkan antara ikhtiar dan kasab daripada manusia dengan kehendak dan qudrah daripada Allah, dan menyatakan bahwa keputusan segala sesuatu hanya ada pada Allah.
Dalam memahami konsep “ al Jam’u “ ini, maka seorang ulama tasawuf, Ibnu Athaillah Al Askandari dalam kitabnya yang terkenal “ al Hikam” menyatakan : “ Orang yang lalai akan melihat apakah yang akan dikerjakannya esok hari, sedangkan orang yang berakal akan berkata apakah yang akan Allah perbuat baginya esok hari “. Bagi orang yang lalai dia akan menyangka bahwa dirinya melakukan sesuatu perbuatan, tanpa ada hubungan kait dengan Allah Taala, sedangkan bagi orang yang berakal menyatakan bahwa apapun yang dilakukan pada esok hari itu semua hanya dapat dilaksanakan dengan pertolongan Allah, sebab Allah memberikan kepadanya kesehatan, kekuatan, dan Allah juga yang memberikan kepadanya keputusan daripada perbuatannya tersebut. Itulah sebabnya dalam Al Quran dinyatakan : “ Dan janganlah engkau berkata bahwa besok engkau akan melakukan sesuatu perbuatan melainkan dengan izin dan kehendak Allah “ ( Surah al kahfi : 23-24 ).
Pemahaman “al Jam’u” dalam perbuatan itu dapat dilaksanakan dengan cara bahwa sewaktu akan melakukan perbuatan kita mengucapkan “isnya Allah “, sewaktu mulai melakukan perbuatan dengan ucapan “ Bismillah “, dan sewaktu perbuatan itu berakhakhir , maka kita ucapkan “ Alhamdulillah “. Dengan ucapan itu maka kita memahami bahwa perbuatan manusia tidak ada satupun yang dapat dilepaskan dari pertolongan, qudrah dan iradah Allah, sehingga manusia jika melakukan sesuatu harus meyakini bahwa “ La haula wala quwata illa billah “, tiada upaya dan tiada kekuatan kecuali daripada Allah Subhana wa taala. Manusia melakukan perbuatan, tetapi upaya manusia uitu juga datang darupada Allah. Manusia yang mempunyai tenaga dan kekuatan, tetapi tenaga dan kekuatan juga datang dari Allah, bukan dari badan manusia itu semata-mata. Dengan pemahaman ini, maka manusia akan terlepas daripada riya, bangga dan sombong.
Dengan pemahaman “al jam’u “, manusia juga akan mengakhiri segala perbuatan yang dilakukannya dengan meminta ampun dan taubat kepada Allah, itulah sebabnya rasulullah sendiri setiap mengakhiri sesuatu perbuatan seperti majlis ilmu, selalu melakukan “istighfar’. Demikian juga setiap pagi nabi membaca istighfar dan di perang hari nabi juga membaca istighfar. Seakan-akan mengajarkan kepada umatnya agar memulai hari dengan istighfar dan menutup hari dengan istighfar. Dengan istighfar berarti kita telah merasa bahwa perbuatan kita itu harus kita persembahkan kepada Allah, dan sebab itu kita meminta ampun atas kesalahan ataupun kekurangan yang terdapat dalam perbuatan tersebut.
Ulama juga menyatakan al jam’u dalam ilmu, artinya manusia disuruh Allah mencari ilmu, tapi ingatlah bahwa ilmu itu dfatang daripada Allah : “Bacalah dengan nama Tuhanmu “ ( Surah al Alaq : 1 ) dan dalam ayat lain Allah berfirman : “ Dan kami ajarkan dia ( khidir ) dengan ilmu pengetahuan yang datang dari sisi kami “ ( Surah al Kahfi : 65 ). Carilah ilmu itu dengan nama Allah, walaupun engkau mencari ilmu dengan membaca, mengkaji, dan lain sebagainya, tetapi ilmu itu yang datang kepada kamu itu semua bukan karena pembacaan dan pengkajian, tetapi daripada Allah Taala. Inilah yang dimaksud dengan “ al Jam’u “ dalam ilmu.
“Al jam’u “ juga dalam wujud, sehingga seorang manusia harus meyakini bahwa wujudnya sesuatu itu hanya dapat terjadi dengan wujudnya Allah, dengan kekuasaan Allah dalam menciptakan sesuatu, bukan terjadi dengan sendirinya. Segala kejadian alam, perubahan siang dan malam, itu semua terjadi dengan adanya ketentuan Tuhan dalam setiap proses penciptaan, sebagaimana dinyatakan oleh Al Quran bahwa Allah melakukan segala sesuatu dalam setiap sa’at penciptaan : “ Setiap yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepadaNya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan “ ( Surah ar rahman : 29 ).
Dengan memahami al jam’u dalam wujud baru kita dapat memahami “ aljam-‘u “ dalam kesaksian, dimana seorang mansuia dalam melihat setiap benda, melihat setiap kejadian alam, hanya menyaksikan kebesaran Tuhan, dimana segala diciptakanNya dengan penuh hikmah, dan kasih sayang Allah. Sebab itu segala sesuatu bagi seorang muslim itu merupakan kebaikan sebab segala sesuatu itu diciptakan oleh Allah untuk kebaikan manusia. “ Kadangkala apa yang engkau benci, itu sebenarnya itu baik bagi dirimu dan apa yang engkau suka, itu sebenarnya tidak baik bagi dirimu, sebab hanya Allah Maha mengetahui dan kamu tidak mengetahuinya “ ( Surah alBaqarah : 216 ). Walahu A’lam.
Subscribe to:
Posts (Atom)