Sebagaimana tertulis dalam
sejarah Islam bahwa perhatian pertama masyarakat muslim adalah masalah
pendidikan. Sejarah mencatat baha Islam
masuk pertama kali ke daerah Aceh, maka untuk menelusuri pendidkan umat,
sebaiknya kita melihat kepada Oleh sejarah pendidikan Islam di daerah Aceh.
Pendidkan Islam di Aceh berawal dari pendidikan pondok yang dalam bahasa Aceh disebut dengan nama "
dayah" . Kata “dayah” dipakai oleh masyarakat Aceh untuk lembaga
pendidikan, sebab masyarakat Aceh meyakini bahwa lembaga pendidikan yang
didirikan oleh Rasulullah dan para sahabat nabi bermula dari kelompok dan
lingkaran belajar di beranda salah satu
sudut masjid nabi yang disebut dengan nama
"Zawiyah". Zawiyah
tersebut berasal dari bahasa arab yang bermakna sudut, dan dari kalimat
"zamiyah " berubah dengan dialek Aceh menjadi "dayah". Lembaga
pendidikan seperti Dayah ini disebut di jawa dengan nama pondok pesantren.
Menurut A. Hasymi, setelah
kerajaan Islam Peureulak pertama kali berdiri pada bulan Muharram tahun 255
Hijriyah (840 Masehi) dibawah Sultan Sayid maulana Abdul Aziz. Sultan dayah
sebagai pusat pendidikan masyarakat. Dayah pertama adalah Dayah Cot Kala
dibawah pimpinan Syekh Muhammad Amin. Disamping ilmu agama, Dayah Cot Kala juga
mempelajari ilmu pertanian, dan memiliki lahan pertanian seperti pertanian lada
dan lain sebagainya. Di dalam pendidikan dayah diajarkan ilmu agama, dan juga ilmu pengetahuan dan umum seperti astronomi, kesehatan dan pertanian. Hal itu terbukti, dimana seorang ulana dayah
di Aceh, Tengku Kuta Karang telah
menulis kitab Tajul Muluk berkaitan dengan
astronomi, kedokteran dan pertanian.
Disamping dayah, masyarakat Aceh
memiliki perguruan tinggi Jamiah
Baiturrahman, yang berlokasi di masjid Baiturahman Banda Aceh sekarang ini.
Sejarah mencatat bahwa luas kampus Jamiah Baiturrahman pada waktu itu adalah
empat kali lebih luas dari komplek Masjid Baiturrahman hari ini. Jamiah
Baiturahman tersebut asalnya adalah
sebuah masjid yang dibangun oleh Sulthan Alaidin Mahmud Syah pada tahun 691
Hijrah / 1292 Masehi, dan kemudian dibesarkan oleh Sulthan-sultan setelahnya
terutama oleh Sultan Iskandar Muda. Disamping sebagai tempat ibadah, Masjid
Baitur Rahman merupakan sebuah lembaga perguruan tinggi terbesar di Asia
tenggara pada waktu itu dan merupakan perguruan tinggi yang lengkap dengan
segala cabang ilmu pengetahuan dengan guru dan dosen yang datang dari Turki, Arab,
Parsi, India dan lainnya. Jamiah Baiturrahman pada waktu itu memiliki beberapa
fakultas yang disebut dengan nama "Daar" yaitu :
Daar Tafsir wal Hadis ( Fakultas Tafsir dan Hadis ), Daar Thib (
Fakultas kedokteran ), Daar Kimia ( Fakulti kimia ), Daar Tarikh ( Fakultas
ilmu sejarah ), Daar Hisab ( Fakultas ilmu Matematika), Daar Siayasah (
Fakultas ilmu politik ), Daar Aqli ( Fakulti ilmu Logika yang dimaksud ilmu
logika adalah Fisika ), Daar Zira'ah( Fakulti Pertanian ), Daar Ahkam (Fakultas
ilmu Hukum ), Daar Falsafah ( Fakultas Filsafat ), Daar Kalam ( Fakultas Ilmu
Kalam/Teologi), Dar Wizarah ( Fakultas Ilmu Administrasi Pemerintahan ), Daar
Khazanah Baitul Maal ( Fakultas Ilmu Keuangan ), Daar Ardh ( Fakultas ilmu
Geologi ), Daar Nawu ( Fakultas Ilmu Bahasa ), Daar Mazahib ( Fakultas Ilmu Perbandingan
Agama ), Daar Harb ( Fakultas Ilmu Militer ). Dapat dilihat dari berbagai Fakultas tersebut bahwa ilmu yang dipelajari Masjid/Jamiah Baiturahman bukan hanya
terbatas ilmu agama semata-mata, tetapi
mencakupi seluruh bidang ilmu, baik ilmu agama, ilmu humaniora, dan ilmu sains
dan teknologi. Diantara alumi Fakultas Ilmu Militer Jamiah Baiturrahman adalah
Laksamana Malahayati yang memimpin kapal perang Aceh.
Dari catatan diatas juga dapat
dilihat bahwa Jamiah Baiturahman pada waktu itu selain berfungsi sebagai masjid
tetapi juga merupakan pusat ilmu pengetahuan baik meliputi ilmu-ilmu agama dan sains teknologi. Keunggulan pendidikan
dan sarjana yang dihasilkan oleh Jamiah Baiturrahman itulah yang merupakan
penyebab kehebatan umat Islam pada masa lalu. Sebaik penjajah Belanda masuk ke
Indonesia, mereka melihat bahwa kekuatan umat Islam adalah pada penguasaan
agama dan sains yang terdapat pada Masjid Baiturrahman. Oleh sebab pada tahun
1873, Masjid Baiturahman yang juga berfungsi
sebagai universitas tersebut dibakar. Penjajah mengetahui bahwa pembakaran itu
dapat membuat semangat perlawanan masyarakat, maka setelah dibakar, penjajah membangun kembali masjid
yang telah dibakar tersebut, dengan bangunan yang indah melebihi keindahan
masjid yang dibakar sebelumnya, tetapi masjid tersebut hanya berfungsi sebagai tempat ibadah
semata-mata, dan menghilangkan fungsi masjid sebagai lembaga pendidikan tinggi
yang dapat melahirkan sarjana, ulama dan pemimpin masyarakat. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa penjajah Belanda bukan membakar masjid sebagai tempat
ibadah, tetapi menghilangkan fungsi masjid sebagai tempat belajar ilu, sains,
yang merupakan syarat utama kemajuan umat.
Dari keterangan diatas penulis
memberikan kesimpulan bahwa sejarah pendidikan di Aceh dengan sistem dayah
merupakan asas dan dasar bagi pendidikan Islam selanjutnya di nusantara, sebab
murid yang datang belajar di dayah datang dari luar Aceh kemudian mengembangkan
sistem dayah tersebut di daerah mereka masing-masing, seperti Maulana
Ishaq , ayahanda Sunan Giri di daerah
jawa, Syekh Burhanuddin di Sumatera
barat, Daud al-Fatani dari Thailand, mengembangkan sistem pondok di Pattani dan
semenanjung malaysia, Syekh Yusuf Makassari
mengembangkan pondok di Sulawesi, Banten , dan Afrika Selatan. Oleh
sebab itu dapat kita katakan bahwa Masjid/Jamiah Baiturrahman adalah lembaga
pendidikan tinggi islam pertama di nusantara.
Jamiah Baiturrahman sangat
berperan dalam meningkatkan kualitas masyarakat muslim di Aceh, sehingga pada
waktu penjajah Belanda datang ke Aceh, diantara cara yang pertama untuk
menghancurkan kekuatan umat Islam adalah membakar Jamiah Baiturrahman dan
kemudian membangaun kembali Masjid Baiturahman yang hanya berfungsi sebagai
tempat beribadah, dan tidak lagi menjadi lembaga pendidikan tinggi “Jamiah “
seperti semula. Dengan dibakarnya jamiah baiturahman, maka umat Islam di
nusantara sejak kedatangan penjajah Belanda tidak lagi memiliki lembaga
pendidikan tinggi, yang ada hanyalah lembaga pendidikan menengah seperti dayah,
dan pondok pesantren. Jika pada awalnya pendidikan masyarakat dari pendidikan
menengah sampai perguruan tinggi berada di masjid, maka penjajah datang
menjadkan masjid hanya menjadi tempat
beribadah semata-mata. Untuk menggantikan fungsi tempat pendidikan masyarakat tersebut,
maka penjajah Belanda mendirikan sekolah-sekolah umum sebagai lembaga
pendidikan masyarakat. Akibatnya, jIka lembaga pendidkan masyarakat yang pada
mulanya berada di dalam masjid, dimana pendidikan agama menyatu dengan pendidikan
ilmu sosial, sains dan teknologi, maka dalam di lembaga pendidikan model sekolah
ala penjajah, pelajaran agama dipisahkan dari pelajaran umum sehingga alumni lembaga
pendidkan sekolah tersebut akan menjadi sarjana yang sekular.
Sebenarnya sistem pondok
pesantren, adalah merupakan sistem terbaik dalam sistem pendidkan, dan merupakan
sistem pendidikan asli nusantara, sebab dalam sistem pesantren pelajar berada
dalam lingkungan pendidikan selama 24 jam. Pesantren adalah sebuah lembaga
pendidikan yang terpadu, sebab pelajar
berada di dalam asrama dengan kehidupan yang terbimbing oleh guru, sebab
di dalam pendidkan pesantren guru berada bersama murid di dalam kampus yang
sama. Kehidupan bersama itulah yang akan membentuk karakter pelajar melengkapi
ilmu yang dipelajari di dalam kelas. Pendidikan dalam asrama dengan contoh
teladan dari guru dan pimpinan pesantren itulah yang dapat membentuk akhlak
yang mulia. Kehidupan berasama yang terdidk antara pelajar dan guru juga
membentuk dan melatih pelajar untuk hidup bermasyarakat dengan nila-nila tolong
menolong dan bekerja sama. Oleh sebab itu dalam kehidupan pesantren itu
merupakan pendidkan yang menyatu dan holistik antara pendidkan agama, pendidkan
ilmu, pendidikan bermasyarakat, pendidikan akhlak dan kepemimpinan, yang dapat
melahirkan pemimpin masyarakat.
Penjajah melihat pendidikan model
dayah atau pesantren yang berlanjut sampai kepada perguruan tinggi yang
menyatukan seluruh unsur pendidkan ini harus dirubah, dengan mengadakan
pemisahan antara masjid dan ilmu, antara ilmu agama dan ilmu umum, sehingga
dengan demikian umat Islam sehingga akan muncul generasi yang memiliki ilmu umum. Pada sisi lain, penjajah
mendirikan sekolah yang mengajarkan ilmu umum, sains dan teknologi tanpa
diberikan ilmu agama, sehingga akan lahir sarjana yang tidak memahami ilmu
agama. Akibat dari pendidikan yang tidak sempurna tersebut, maka masyarakat
tidak dapat memiliki pemimpin yang beragama dan berilmu padahal kebangkitan
suatu umat hanya dicapai dengan iman dan ilmu, baik ilmu agama sebagai fardhu
ain, maupun ilmu umum, sains dan teknologi, ilmu fardhu kifayah, dengan akhlak yang
mulia. Sudahkan lembaga pendidikan kita
hari ini dari sekolah dasar sampai pascasarjana dapat menjamin alumninya
memiliki iman, ilmu agama, ilmu umum, dan akhlak mulia atau hanya meniru sistem
pendidikan sekular yang mengasingkan agama dari kehidupan ? Sungguh benar
firman Allah Taala : ““ Dan Allah mengangkat orang beriman dan berilmu beberapa
derajat “ ( QS. al Mujadalah : 11 ). Wallahu A’lam.