"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menunaikan amanah kepada yang berhak " ( QS. Al baqarah : 283 ).
Memilih seorang pemimpin itu merupakan amanah yang akan ditanya pada hari kiamat nanti. Oleh sebab itu seseorang tidak boleh memberikan amanahnya kepada siapa saja yang dia suka, tetapi kepada orang yang layak dalam memimpin. Demikianlah Nabi Muhammad tidak memberikan amanah kedudukan kepada sumua sahabat dekatnya, tetapi kepada sahabat yang memiliki sifat kepemimpinan. Seorang sahabat nabi yang terkenal dengan zuhudnya, Abu Dzar al Ghifari bertanya kepada nabi Muhammad : " Ya Rasululah, mengapa engkau tidak memilihku untuk menjadi kepada daerah di salah satu negeri yang berada di bawah kekuasaanmu.? Mendengar pertanyaan tersebut, Rasulullah memegang bahu sahabatnya yang terkenal sebagai orang saleh tersebut dan berkata : " wahai sahabatku Abu Dzar, engkau ini adalah orang yang lemah, sedangkan kekuasaan itu merupakan amanah yang dapat menyebabkan penyesalan di hari akhirat kecuali bagi mereka yang dapat memenuhi tanggungjawab serta menjalankan amanah tersebut dengan baik " (riwayat Muslim). Hadis diatas menjelaskan bahwa Rasululah saw tidak memilih Abu Dzar untuk memegang sesuatu jabatan dalam pemerintahannya, padahal sejarah teah mencatat bahwa Abu Dzar adalah seorang yang alim dan zuhud sehingga dalam sebuah hadis nabi saw dinyatakan : " Kedudukan zuhud Abu Dzar dalam umatku sama dengan zuhudnya nabi Isa alaihisalam". Demikian zuhud dan sederhana dalam hidupnya sehingga sejarah mencatat bahwa pada waktu AbuDzar meninggal dunia tidak ada sebuah kain miliknya yang dapat dipakai untuk menjadi kain kafan menutup badan. AbuDzar juga adalah seorang yang berilmu, sehingga Sayidina Ali bin Abi Thalib berkata : " Abu Dzar memiliki ilmu penegtahuan yang tidak diketahui oleh orang yang lain ". Beliau juga termasuk kelompok pertama yang masuk Islam.
Walaupun AbuDzar memeiliki prestasi keislaman, ibadah dan zuhud disamping ilmu yang dimilikinya, tetapi nabi Muhammad tidak memilihnya untuk menjadi salah seorang kepala daerah seperti gubernur atau walikota. Mengapa demikian, karena untuk menjadi seorang pemimpin, bukan saja diperlukan ibadah yang baik, atau zuhud dalam kehidupan , tetapi juga yang lebih penting adalah keberanian, ktrampilan manajerial, dan ketegasan dalam menegakkan keadilan. Sifat inilah yang tidak dimiliki oleh Abu Dzar, sehingga Rasululah mengatakan kepadanya " engkau ini adalah orang yang lemah ". Lemah dalam arti nanti engkau tidak berani bersikap tegas terhadap orang yang salah, atau terlalu lemah akan mudah dipengaruhi oleh orang-orang pembisik yang berada di samping engkau. Padahal sebagai seorang pemimpin, diantara sifat yang utama adalah keberanian, dan ketegasan dalam bersikap; disamping ilmu, ibadah dan zuhud. Lihatlah pada waktu Abubakar dilantik sebagai khalifah, maka aksi pertama yang dilakukannya adalah memerangi siapa saja yang tidak mengeluarkan zakat. Pada waktu itu mayoritas sahabat tidak setuju dengan tindakan tersebut, tetapi Abubakar yang sebelum menjadi khalifah terkenal orang yang zuhud, lemah lembut, pemurah; setelah menjadi khalifah sikap pertama ditunjukkannya bukanlah prestasi ibadah, tetapi prestasi keberanian menindak orang yang murtad dan memerangi mereka yang tidak mau mengeluarkan zakat. Sebagai pribadi memang diperlukan sikap zuhud, ibadah, tetapi sebagi pemimpin diperlukan sikap berani dan tegas dalam mengambil keputusan, disamping ketrampilan manejerial dalam memimpin.
Khalifah Umar bin Khattab pada suatu hari akan memilih seseorang untuk menjadi gubernur di suatu tempat. Seorang sahabat mengusulkan kepadanya untuk memilih si fulan.. Umar bertanya kepada sahabat yang mengajukan nama tadi, apa alasan engkau maka memilih dia sebagai calon. Sahabat yang mengusulkan itu berkata : " Dia itu adalah orang yang rajin shalat dan ibadah" . Khalifah Umar bin Khattab bertanya lagi kepada orang yang engusulkan tadi : Pernahkah engkau berjalan-jalan bersamanya..? Orang itu menjawab : " Belum pernah wahai Khalifah ". Khalifah Umar kemudian berkata : " Kalau demikian, usulan engkau itu tidak aku terima, sebab engkau baru mengetahui amal ibadahnya kepada Allah sedangkan engkau belum mengetahui sifat-sifat pergaulan dan sikapnya dalam hubungan sesame manusia.
Ibadah shalat dan ibadah yang lain seeprti haji, umrah, zakat, puasa , zikir, itu adalah akhlak kepada Allah, sedangkan yang kita perlukan sebagai pemimpin adalah akhlaknya dan sikapnya kepada manusia yang lain. Bagi seorang pemimpin selain ibadah shalat, agar secara personal dia dekat dengan Allah, maka yang sangat utama baginya adalah dapat berhubungan dengan manusia dengan cara yang baik, sayang kepada yang lemah, berani kepada yang kuat, tegas dalam mengambil keputusan dan menegakkan keadilan. Itulah sebabnya dalam sebuah hadis disebutkan : " Sebaik-baik manusia disisi Allah pada hari kiamat nanti adalah pemimpin yang adil dan penuh perhatian kepada rakyatnya, dan seburuk-buruk hamba Allah di hari kiamat nanti adalah pemimpin yang tidak mempunyai ketrampilan dan tidak dapat menegakan keadilan dengan baik " ( riwayat Thabrani ). Oleh sebab itu penilaian Allah kepada seorang pemimpin bukanlah kepada ibadah pribadinya tetapi lebih kepada ibadah sosialnya, ibadah kepemimpinannya, kesalehan memimpin yaitu bagaimana dia dapat menegakkan keadilan di tengah masyarakat. Itulah sebabnya dalam sebuah hadis disebutkan bahwa sahabat nabi Thalhah mendengar Rasulullah bersabda : " Ketahuilah wahai sekalian manusia bahwasanya Allah Taala tidak akan menerima ibadah shalat seorang pemimpin yang tidak dapat menjalankan kepemimpinan dengan baik " . (hadis sahih riwyat Hakim).
Nilai keadilan yang ditegakkan dengan ketrampilan memimpin, dan kepedulian kepada rakyat lebih utama dan lebih tingi daripada nilai ibadah shalat sunat. Ada bebarapa hadis yang menegaskan hal tersebut : " Satu hari keadilan yang ditegakkan oleh seorang pemimpin yang adil lebih utama daripada amal ibadah selama enam puluh tahun, dan satu hukum yang ditegakkan lebih utama daripada rahmat mendapat hujan selama empat puluh hari. (riwayat Thabrani). Sebaliknya jika ketidak adilan dijalankan ( dosa kepemimpinan, seperti korupsi, dan lain sebagainya ) maka balasan yang akan didapat oleh pemimpin tersebut lebih pedih daripada siksa karena melakukan dosa maksiat pribadi, sebagaimana Rasululah berkata : " Wahai Abu Hurairah, keadilan satu saat lebih utama daripada ibadah shalat sunat dan berpuasa selama enam puluh tahun, dan juga ketahuilah bahwa kedzaliman satu saat lebih berat disisi Allah daripada berbuat dosa selama enampuluh tahun ".
Dalam hadis yang lain disebutkan : " Barangsiapa yang menjadi pemimpin dan tidak dapat menjalankan amanah dan tugasnya dengan baik, maka dia tidak akan mendapat harumnya surga ". ( Hadis Thabrani ). Apalagi jika pemimpin itu menipu rakyatnya sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis : " Siapa saja yang menjadi pemimpin dan menipu rakyatnya maka dia akan masuk neraka ".
Hadis yang lain juga menyatakan : " Tidaklah seorang pemimpin yang menipu rakyatnya walaupun satu hari saja, maka dia akan dimasukkan ke dalam api naraka ". ( Thabrani ). Seorang pemimpin juga tidak boleh memilih seseorang untuk memegang jabatan tertentu disebabkan karena kelompoknya, partainya, kawannya, jika disana ada orang yang lebih mampu. Memilih seseorang jangan karena partai, tetapi harus karena melihat kepada kemampuan orang tersebut dalam memimpin, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis : " Barangsiapa yang memilih seseorang pegawai karena fanatisme dan kroni, sedangkan disana ada orang yang lebih baik dan lebih diridhai Allah, maka kalau dia memilih juga, berarti dia itu telah mengkhianati Allah, mengkhianati Rasulullah dan mengkhianati orang yang beriman " ( Hadis sahih riwayat Hakim)
Demikian juga kepada masyarakat hendaklah memilih pemimpin yang sudah mempunyai pengalaman memimpin dengan baik, telah terbukti memiliki ketrampilan dalam memimpin, berakhlak mulia, bukan karena kampanye calon tersebut, sebab itu dalam Islam seseorang itu tidak boleh sibuk mengkampanyekan dirinya, sebagaimana dinyatakan oleh hadis : " Janganlah kamu meminta hak untuk berkuasa, karena jika kamu diberikan kuasa karena dengan memintanya maka kamu akan ditinggalkan Allah, sedangkan jika kamu mendapat kekuasan tanpa dengan memintanya, maka kamu akan dibantu Allah dalam melaksanakan tugas tersebut ". ( Hadis Muslim.) Jika seorang pemimpin memilih pegawainya karena kronisme maka dia telah berkhianat dan berdosa, demikian juga jika seseorang memilih pemimpin di daerahnya bukan karena prestasi kepemimpinan, tetapi karena kronisme, kelompoknya, partainya, berarti dia juga telah berkhianat kepada Allah dan rasulNya, dan dia akan ditanya Allah apa alasannya memilih pemimpin tersebut di hari akhirat nanti, kecuali jika olrang yang dipilih dari partainya itu memang memiliki sifat-sifat kesalehan dalam memimpin. Fa'tabiru ya Ulil albaab.( Muhammad Arifin Ismail, 15 Februari 2008 )
No comments:
Post a Comment