PERAN KHALIFAH, DAN PERADABAN MADINAH
Manusia diciptakan Allah adalah untuk menjadi Khalifah sebagaimana tersirt dalam dialog antara Allah dan malaikat : “ Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat : “
Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang Khalifah di muka bumi “. Mereka
berkata : “ Mengapa Engkau hendak menjadikan orang yang akan membuat kerusakan
di muka bumi dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa betrasbih dengan
memuji dan mensucikan Engkau”. Tuhan menjawab dengan berfirman : “ Sesungguhnya
Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui “( QS. al Baqarah : 30 ). Menurut sejarawan
Thabari, dengan berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas, malaikat bertanya demikian sebab merujuk
kepada pengrusakan dan pembunuhan yang pernah dilakukan oleh makhluk jin, sebab
makhluk jin pada waktu itu merupakan penghuni dan penduduk bumi sebelum
penciptaan manusia.[1]
Peran Khalifah
Dalam dialog Tuhan dengan malaikat tersebut dapat dilihat
bahwa Allah berfirman : “ Aku hendak menjadkan Khalifah “, dan tidak mengatakan
“ Aku hendak menjadikan Manusia “. Kalimat khalifah bermakna “ pengganti dan
wakil dari sesuatu “[2],
sehingga maksud khalifah di muka bumi adalah menjadi wakil Tuhan yang bertugas untuk mengatur kehidupan di muka bumi. Khalifah disebutkan sebagai peran,
dan kedudukan manusia di muka bumi. Berdasarkan dialog tersebut diatas,
terlihat bahwa sebenarnya Allah hendak menjadikan seorang makhluk yang dapat
berperan sebagai khalifah di atas kehidupan dunia ini. Untuk melaksanakan peran
khalifah tersebut, Allah akan menciptakan makhluk yang memiliki potensi
khalifah yang diperlukan dalam memimpin kehidupan. Makhluk yang memiliki
potensi khalifah itulah yang disebut manusia yang diawali dengan penciptaan
Adam alaihissalam, bukan seperti makhluk jin yang selama ini melakukan
kerusakan dan pembunuhan diatas permukaan bumi.
“ Aku ( Allah ) lebih mengetahui daripada apa yang kamu ( malaikat)
tidak ketahui “.
Peran Khalifah hanya dapat dilakukan dengan landasan iman dan
ilmu. Setelah Adam alaihissalam dijadikan sebagai khalifah, maka Nabi Adam
alaihissalam dibekali dengan ilmu pengetahuan “ wa allamal Adama al asmaa
kullaha “ ( QS. Al Baqarah : 31 ) dimana sebelumnya, Nabi Adam alaihissalam
telah berjanji untuk mengakui keesaan Tuhan sebagai perjanjian azali ( QS. Al
A’raf : 172 ) yang merupakan perjanjian iman dan tauhid manusia kepada Tuhan.
Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa dalam menjalankan peran khalifah, nabi Adam itu dibekali dengan ilmu, baik ilmu
tauhid, sebagai ilmu fardhu ain, maupun ilmu fardhu kifayah. Ibnu Katsir
menyebutkan bahwa sebaik nabi Adam alaihissalam turun ke muka bumi, maka
malaikat Jibril alaihissalam mengajarkan nabi Adam alaihisalam cara menanam
pohon gandum, kemudian membuat tepung gandung dan membuat roti dari tepung
gandum tersebut.[3]
Malaikat jibril juga mengajarkan nabi Adam alaihissalam cara membuat pakaian
dari kulit hewan. Dengan modal iman dan ilmu nabi Adam alaihissalam menjalankan
peran sebagai khalifah membangun peradaban dunia.
Menurut Imaduddin Khalil,[4]
peran khalifah itu dapat dilaksanakan dengan tiga tahapan, yaitu tahapan istikhlaf
( penguasaan ilmu dan sain baik ilmu fardhu ain dan fardhu kifayah ) taskhir
( pengolahan alam yang menghasilkan teknologi ), dan isti’mar (
pengelolaan kehidupan dan pemakaian teknologi dengan akhak dan abad ). Peran
khalifah inilah yang merupakan modal untuk dapat melaksanakan amal shaleh untuk
membangun sebuah peradaban di muka bumi,“ Sesungguhnya bumi ini Kami wariskan
kepada hamba-hamba Kami yang shaleh “. (QS. Al Anbiya : 105 ).
Dalam kisah para nabi yang beredar di masyarakat, kita jarang
menemukan tekanan kisah peranan para nabi sebgai khalifah yang memiliki skill
dan ketrampilan tertentu,pribadi yang memiliki landasan keimanan dan memiliki
ketrampilan dengn sikap istikhlaf, taskhir dan isti’mar diatas. Dalam kitab “
Al Iktisab fi Rizqil Mustatab “,[5]
Muhammad bin Hasan al Syaibani menyebutkan bahwa bekerja itu adalah jalan hidup
para rasul “ al Kasbu thariqul Mursalin “. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa
nabi Adam alaihissalam adalah orang yang pertama bekerja berdasarkan dalil ayat
: “ Maka janganlah sekali-kali dia (syetan) mengeluarkan kamu dari syurga yang
akan membuat kamu celaka “ ( QS. Thaha : 117 ). Kalimat “tasyqa” menurut tafsir
yang beredar di masyarakat bermakna “celaka “[6],
padahal menurut Ibnu Abbas, arti “tasyqa” adalah kesusahan bekerja dalam
mencari rezeki, malahan Mujahid menyatakan makna ayat adalah “ engkau tidak dapat
memakan roti dengan minyak sebelum engkau bekerja dengan penuh kesungguhan “.[7]
Ibnu Katsir dalam menjelaskan makna ayat 117 dari surah Taha tersebut
menyatakan : “ Hati-hatilah engkau (wahai Adam ) terhadap syetan yang akan
berusaha mengeluarkan engkau dari syurga sebab nanti engkau akan penat dalam
mencari rezeki, sedang disini ( di dalam syurga ) engkau hidup dengan penuh
kenikmatan tanpa ada sedikitpun merasakan penat dan susah “. [8]
Selanjutnya Syarbaini menyatakan bahwa “ nabi Nuh bekerja
sebagai tukang kayu, dan hidup dari pekerjaannya tersebut, nabi Idris bekerja
sebagai tukang jahit pakaian, nabi Ibrahim bekerja sebagai pedagang pakaian,
nabi Daud bekerja sebagai tukang pembuat baju besi, nabi Zakariya sebagai
tukang kayu, dan nabi Isa bekerja dengan menjual kain yang ditenun dan dipintal
ibunya “.[9]
Sudah seharusnya dalam membangun peradaban di masa mendatang,
kisah-kisah rasul yang disampaikan kepada anak-anak di rumah sebelum tidur,
atau murid-murid di ruang kelas, dan masyarakat luas, tidak hanya berkisar pada perjuangan dakwah mereka semata-mata, tetapi
juga menceritakan peranan khalifah yang mereka lakukan di tengah masyarakat, seperti
menceritakan nabi Adam berperan sebagai petani produktif dalam agro
bisnis, nabi Nuh sebagai tukang kayu
sehingga dapat membuat kapal yang besar, nabi Daud berperan dalam industri
dengan memproduksi baju besi, nabi yusuf sebagai menteri keuangan, dan lain
sebagainya, sehingga kisah peran
khalifah para nabi dan rasul tersebut akan memberi motivasi kepada masyarakat
muslim dalam membangun peradaban dunia.
Peradaban
Madinah
Islam diturunkan sebagai dien, yang memiliki konsep
‘paradaban”, sebab dalam istilah “dien’ itu tersembunyi unsur-unsur peradaban.
Oleh sebab itu, pada waktu Dien dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat itu bernama “madinah”[10].
Dari akar kata din dan madinah dibentuk kata akar baru “madana”, yang berarti
membangun, mendirikan kota, memajukan, memurnikan, dan memartabatkan . [11]
Dari akar kata “madana”, tersebut lahir kata “tamaddun”, yang secara literal
bermakna peradaban ( civilization ).
Peradabaan Islam adalah peradaban yang berdasarkan pada ilmu.
[12]
Menurut Imam Ghazali[13],
ilmu terdiri dari ilmu fardhu ain dan fardhu kifayah. Ilmu fardhu ain adalah
lmu yang wajib dituntut oleh setiap individu muslim, seperti ilmu tauhid, ilmu
fikih, ilmu akhlak, dan lain sebagainya, sedangkan ilmu fardhu kifayah adalah
ilmu yang tidak perlu dituntut oleh setiap individu, tetapi dituntut oleh
sebagian dari masyarakat. Dengan
mempelajari ilmu secara lengkap baik ilmu fardhu ain bagi setiap individu, dan
ilmu kifayah, maka akan tercipta amal shaleh yang dilakukan oleh masyarakat
sehingga tercipta peradaban yang berdasarkan iman dan ilmu.
Sejarah membuktikan bahwa masyarakat yang dibina Rasulullah
dengan landasan iman dan ilmu merupakan masyarakat terbaik, sesuai dengan hadis
Rasul : “ Sebaik-baik manusia adalah manusia pada masaku (masa nabi dan sahabat
), kemudian masyarakat pada masa setelahku (sahabat dan tabiin ), dan kemudian
masyarakat setelah itu (masyarakat tabiin-tabiut tabiin ). [14]
Sejarah juga telah mencatat bahwa sistem ekonomi, politik, budaya, ekonomi dan
pertahanan dalam masa Rasulullah telah menjadi contoh bagi peradaban dunia
selanjutnya. [15]
Sangat disayangkan dalam kitab-kitab sirah kontemporer[16],
kita tidak dapat melihat sisi peradaban Madinah dalam semua budang kehidupan.
Sebagai contoh, dalam kisah hijrah nabi ke madinah, kitab sirah hanya bercerita
sekitar pembangunan masjid madinah, persaudaraan antara muhajirin dan anshar,
dan pembentukan piagam madinah, padahal pada tahun pertama hijrah tersebut,
Nabi Muhammad membangun sistem ekonomi madinah dengan perniagaan dan industri
sehingga penguasaan pasar madinah dengan mendirikan pasar wakaf yang dapat
menghancukan beberapa pasar yahudi yang selama ini ada di madinah.[17]
Padahal menurut Zainal Arifin Abbas, bahwa pada tahun pertama Hijrah, setelah
membangun masjid, nabi membangun sistem ekonomi Madinah dengan menggalakkan
umat Islam Madinah khususnya muhajirin untuk berniaga dan berkebun kurma, memproduksi
panah, pedang, dan senjata perang sampai membuat pasar wakaf sebagai pusat perniagaan,
yang dapat menghancurkan pasar yahudi yang telah beroperasi selama dua ratus
tahun. [18]
Pada tahun pertama Hijrah tersebut, nabi juga mengatur komplek perumahan bagi
kabilah-kabilah Arab, sebagai contoh kabilah Bani Ghifari diberi tempat antara
rumah Katsir bin Abu Salt sampai ke rumah Abu Sabrah. dan demikian seterusnya,
sehingga kota Madinah pada zaman nabi merupakan kota yang penuh dengan
pemukiman penduduk.[19]
Nabi juga membagi-bagikan tanah dan mengatur pembangunan rumah-rumah di Madinah
bagi sahabat yang memerlukan. Misalnya kepada Bani Zuhrah, nabi memberikan
tanah di ujung masjid beliau. Abubakar mendapat sebidang tanah yang dekat
dengan masjid, sehingga pintu rumah Abubakar bertemu dengan pintu masjid nabi.
Tanah-tanah tersebut pada mulanya adalah milik kaum Anshar yang diberikan
kepada nabi untuk dibagi-bagikan kepada sahabat yang memerlukan.[20]
Dalam kepemimpinan
peradaban Madinah, nabi menjalankan roda kepemimpinan yang sempuna
dengan megatur sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pengaturan agama,
dan sistem pertahanan militer dengan baik. Dalam pemerintahan, nabi membagi
pemerintahan menjad pemerintahan pusat di Madinah, dan pemerintahan daerah dan
provinsi yang dipimpin oleh seorang ‘wali”, seperti di kota administratif
Makkah dipimpin oleh Atab bin Asid,
provinsi Yaman dibawah Bazan, kemudian Sahr bin Bazan, selanjutnya dipimpin
oleh Muadz bin Jabal, yang bertugas juga sebagai koordinator bagian selatan
arab yang meliputi beberapa kawasan yang dipimpin oleh gubernur. Nabi juga
melantik bebererapa gubernur kawasn lain seperti kawasan Thaif, Bahrain,
Hamadan, dan lain sebagainya.[21]
Nabi Muhammad sallahu alaihi wa sallam dalam memimpin
pemerintahan pusat dibantu wakil-wakil yang bertugas memimpin pemerintahan
dikala nabi sedang keluar kota seperti melakukan peperangan dan lain sebagainya
(Naib). Naib menjalankan tugas-tugas
nabi dalam pemerintahan selama nabi tidak berada di ibukota Madinah. Pelantikan
Naib tidak bersifat tetap, tetapi berganti, sebab Nabi dilantik ketika nabi
keluar Madinah, seperti memimpin parang, dan lain sebgainya. Diantara sahabat
yang pernah dilantik menjadi naib adalah Sa’ad bin Ubadah, Zaid bin Haritsah,
Amr bin Ummu Maktum, dan lain sebagainya. Nabi juga dibantu oleh para penasehat ( musyir
) yang memberikan masukan kepada nabi dalam sesuatu keadaan. Diantara sahabat
yang pernah dilantik menjadi penasehat adalah Abubakar , Umar bin Khatab, Miqdad
bin Amr al Khuzai, dan lain sebagainya. Nabi juga dibantu oleh para sekretaris
( katib) seperti Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sofyan, Zubair bin Awwam,
dan lain sebagainya. Nabi juga melantik
utusan khusus ( rusul ), sebagai wakil nabi ke kabilah-kabilah seperti
Dihyah al kalbi yang menjadi utusan ke Kaisar Romawi, Abdullah bin Huzafa
kepada Kaisar Parsi, dan lain sebagainya.
Di bawah kekuasaan
gubernur terdapat pemerintahan kawasan yang dipimpin oleh seorang “Amir”. Dibawah kepemimpinan kawasan, terdapat
kabilah/suku yang dipimpin oleh seorang ketua
kabilah/suku yang disebut “Naqib”. Disamping melantik wali, amir, dan naqib; nabi
juga melantik hakim bagi setiap negeri, dan juga melantik pengawas pasar yang
disebut dengan petugas hisbah.[22]
Dari kajian diatas, dapat dilihat bahwa sistem pemerintahan yang telah
dilakukan nabi dengan pembagian pemerintahan pusat, daerah dan kampung, dengan
melantik pemimpin di tiap kawasan merupakan sistem pemerintahan pada saat ini.
Rasulullah saw dalam bidang ekonomi telah menetapkan
sumber-sumber pendapatan negara yang terdiri daripada : derma (sedekah ), harta
rampasan perang ( ghanimah ) baik itu berupa uang tunai dan alat dan perkakas,
harta rampasan tanah, jizyah ( pajak tanah yang dipungut daripada orang kafir
yang berada di kawasan islam ); dan zakat harta. Untuk melaksanakan sistem
ekonomi dan kewangan tersebut, Rasululah melantik petugas yang disebut dengan
Ummal Sadaqat ( pemungut zakat ), Katib sadaqat ( pencatat ), Kharas ( pentaksir ), pengawas kawasan
padang rumput untuk hewan milik negara( sahibul hima ), atau petugas yang
menjaga badan usaha milik negara.[23]
Kerajaan islam yang dibentuk Rasulullah selepas hijrah ke
Madinah memerlukan organisasi ketenteraan yang kuat, disebabkan ancaman yang
nyata daripada orang-kafiir musyrik Makkah, disamping kelompok masyarakat
yahudi yang ada di kota Madinah. Organisasi ketenteraan dibentuk rasulullah
seperti : panglima perang ( amir saraya ), pemimpin pasukan( amir maimanah ),
pembawa bendera ( sahibul liwa ), peninjau ( tali'ah ), pengintip ( uyun ),
penunjuk arah ( dalil ), pegawai harta rampasan perang dan tawanan ( sahib ghanimah
wa asara ), pegawai penguasa senjata dan kuda perang (sahibul silah wal faras
), dan pengawal pribadi ( sahibul haras ).[24]
Tugas Rasulullah yang utama adalah menyampaikan wahyu ilahi
kepada umat manusia, dan memberikan contoh teladan kepada umatnya. Walaupun
demikian, Rasulullah melantik sahabat-sahabat beliau yang bertindak sebagai
petugas-petugas khusus dalam bidang agama, seyang terdiri dari pendakwah agama,[25]
guru al Quran ( muqri/mu’allim ), Imam Masjid [26],
Mu’azzin[27], Mufti
( petugas pemberi fatwa )[28]
, dan pegawai yang mengurus urusan haji[29].
Dari paparan sistem pemerintahan nabi di Madinah diatas dapat
terbaca bagaimana masyarakat madinah menjadi pusat peradaban dunia yang
dilakukan dengan nila-nilai tauhid, yang diaplikasikan dalam hukum-hukum
syariah, yang dilaksanakan oleh petugas dan masyarakat yang memiliki nila-nilai
akhlak dan adab mulia, yang diselenggarakan dengan sistem pemerintahan yang
teratur dan rapi, sehingga menjadi unsur-unsur utama dalam membangun peradaban
Madinah yang dapat menjadi contoh dan rujukan bagi peradaban dunia di masa
mendatang. Sepatutnya kajian sirah nabi dimasa akan datang tidak terbatas
kepada sejarah kehidupan pribadi dan peperangan, tetapi juga menceritakan
sistem pemerintahan, sehingga dapat memberikan inspirasi dan motivasi bagi umat
dalam membangun peradaban islam di masa mendatang. Wallahu A’lam. ( Kuala
Lumpur, 17 Maret 2017/ Muhammad Arifin Ismail).
[1] Muhammad
bin Jarir at-Thabari, Tarikhul Umam wal Muluk, Bait Afkar dauliyah, Yordan,
2003Jilid 1, hal.37
[2]
Raghib Isfahani, al Mufradat fi gharibil Quran, Darul makrifah, Beirut,
2010,hal. 162.
[3]
Abul Fida’ Ibnu Katsir, al Bidayah wan Nihayah, Dar alamul Kitab, 2003, jilid
1, hal.205.
[4] Imadudin
Khalil, Madkhal ila Islaiyatil ma’rifah,
Dar Ibni Katsir 2006; al Aql al Muslim wa Ru’yah Hadhariyah,Darul haramain, ;
al Madkhal ila Hadharah al Ilamiyah, Markaz Tsaqafah al arabiyah, 2005.
[5]
Muhammad bin al Hasan al Syaibani, al Iktisab fir rizqil mustathab, Majalah al
Azhar, 1995.
[6] Al
Quran dan Terjemahanya, Departemen Agama Republik Indonesia, 1989, hal.490.
[7] Al
Syabani, al Iktisab fi rizqil mustathab, hal. 27.
[8]
Ibnu Ktsir, Tafsir al Quran al karim, Darul Fikr, Beirut, 1998, jilid 3,
hal.186
[9] Al
Syaibani, al Iktisab fi amril Mustathab, hal.26-29.
[10] Sayyid
Naquib Al Attas, Islam, Religion and Morality, dalam Prolegomena to the
Methaphysict of Islam, ISTAC, 1995, hal. 43-44.
[11]
Ibnu Manzur, Lisan al Arab, Beirut, 1988, jilid 13, hal.402.
[12]
Hamid Fahmi, On Islamic Civilization, Unisulla Press, Semarang, 2010, hal.45.
[13]
Pembahasan pembagian ilmu terdiri dari fardhu ain dan fardhu kifayah, terdapat
dalam Imam Ghazali,Kitab Ihya Ulumudin, jilid 1, hal.
[14]
Hadis : “ Khairunnasi qarni, tsumma ladzina yalununahu, tsummal ladina
yalununahu “, merupakan hadis sahih riwarat Bukhari ( 2509) dan Muslim (6635)
[15]
Muhammad Yasin Mazhar Siddiqi, Organization of Government under the Holy
Prophet, Islamic Publication, Lahore, 1986; Muhammad abdul Hayy al Kattani,
Nidamul Hukumah an Nabawiyah al musamma al tartib al Idariyah, Darusslam, al
Kaherah, 2012.
[16]
Sejak dari kitab sirah Husein Haikal, Hayatu Muhammad; Khudari beik, Nurul
Yaqin fi siratis sayyidil mursalin, sampai kepada kitab sirah terakhir al
Mubarakpuri, al Rahiq al Makhtum”, penulisan sirah nabi hanya berkisar pada
perjalanan dakwah, hijrah, dan peperangan, tanpa menceritakan suasana ekonomi,
dan sistem peradaban madinah.
[17]
Sebelumnya di Madinah terdapat empat pasar, yaitu pasar Zabalah, pasar al Yasar
yang dimiliki oleh kaum yahudi Bani Qainuqa, pasar Safasir, dan pasar Zaqaq.
[18]
Zainal Arifin Abbas, Sejarah dan Perjuangan Nabi Muhammad, Pustaka Antara,
Kuala Lumpur, jilid 3, hal. 425. Lebih lanjut lihat Nuruddin Ali bin Ahmad as
Samhudi (w.911 Hijrah ), Wafaul Wafa bi ikhbari daaril Mustafa, darul kutub
ilmiyah, Beirut.
[19]
Zainal Arifin Abbas, Sejarah Perjuangan Nabi Muhammad, hal.427.
[20]
Zainal Arifin Abbas, hal. 424.
[21] Mazhar
Siddiqi, Organization of Government under the holy Prophet, hal. 252-255.
[22] Mazhar
Siddiqi, Organization of Government under the Holy Prophet, hal. 210-275.
[23] Mazhar
Siddiqi, Organization of Government under the Holy Prophet, hal. 277-355.
[24] Mazhar
Siddiqi, Organization of Government under the Holy Prophet, hal. 137-207.
[25]
Diantra pendakwah adalah Ala bin Hadrami dikirim ke Bahrain.
[26]
Seperti Hanzalah bin Abi hanzalah al Anshari sebagai imam masjid Quba, dan lan
sebagainya.
[27]
Seperti Bilal bin Rabah di masjid nabi, Sa’ad al Qarraz muezzin di masjid Quba,
dan lain sebagainya.
[28]
Diantara saabat yangpernah dilantik sebagai mufti yang bertugas menyelesaikan
suatu perkara di kabiah seperti Abubakar, Umar, Usman, Ali, Abdurrahman bin
Auf,dan lain sebagainya
[29] Rasulullah
melantik Abubakar sebagai pemimpin haji pada tahun ke 9 Hijrah ( lihat Mazhar
Siddiqi, Organization of Government under the Holy Prophet, hal. 345-367).
No comments:
Post a Comment