Asal Usul Pluralisma Agama
“ Bagi kamu agama kamu, bagiku agamaku “ ( QS. AlKafirun : 6 )
Pada tahun 1875 Helena Blavatsky, Henry Steel Olcott, dan William Quan Judge berdiri sebuah pertubuhan yahudi bernama Theosophical Soceity di kota New York dengan tujuan mengikat persaudaraan universal tanpa melihat kelompok, bangsa dan agama, di bawah pimpinan Helena Blavatsky, Henry Steel Olcott, dan William Quan Judge. Beberapa tahun kemudian pertubuhan ini mendirikan International Head Quarters di Adyar, Chennai, India. Di bawah lambang Theosophical Soceity tersebut tertulis ayat “ There is no religion higher than Truth “ Sedangkan tujuan utama Perhimpuan Theosofi adalah (1) Mengadakan inti persaudaraan antara sesama manusia tanpa memandang bangsa, kepercayaan, kelamin, kaum atau warna kulit. (2) Memajukan pelajaran dengan mencari persamaan dalam agama-agama, filsafat dan ilmu pengetahuan. (3) Menyelidiki hukum-hukum alam yang belum dapat diterangkan dan kekuatan-kekuatan dalam manusia yang masih terpendam. Oleh sebab itu, adalah Theosophical Soceity adalah sebuah badan kebenaran yang merupakan dasar dari semua agama, yang tidak dapat dimiliki dan dimonopoli oleh agama atau kepercayaan manapun. Theosofi menawarkan sebuah filsafat yang membuat kehidupan menjadi dapat dimengerti, dan Theosofi menunjukkan bahwa keadilan dan cinta-kasihlah yang membimbing evolusi kehidupan
Gagasan Pluralisma masuk ke dalam wacana pemikiran Islam melalui tulisan-tulisan Rene Guenon ( 1886-1851 ) dan diikuti oleh muridnya Frithjof Schoun. Rene Geunon adalah seorang ahli dari perkumpulan Theosophical Society di Perancis yang didirikan oleh seorang FreeMason Gerard Encausse ( 1865-1916) Encause mendirikan Free School of Hermetic Science, sekolah yang mengkaji masalah misticisme. Rene Guenon belajar tentang pemikiran mistikisme ( Occult Studies ), dan berkenalan dengan tokoh-tokoh FreeMasonry dan Theosophia. Rene Geonon juga tercatat sebagai ahli FreeMasonry Lodge Thebah, Prancis. Malahan menurut Grand Master FreeMasonry Prancis, Henry Tort-Nougues, tulisan dan pemikiran Rene Geonon merupakan dasar dari hermeneutika ( penafsiran ) tentang lambang-lambang FreeMasonry Modern. Pengalaman Spritual Rene Guenon dalam Theosophy Soceity dan FreeMasonry mendorongnya untuk mengambil kesimpulan bahawa semua agama memiliki kebenaran dan bersatu dalam level Kebenaran. Pada tahun 1912, Rene Geunon yang semula beragama Kristen masuk ke dalam agama Islam dan berganti nama dengan Abdul Wahid Yahya. Dalam tulisan dan buku-bukunya, Rene Guenon menghidupkan kembali nilai-nilai , hikmah dan kebenaran abadi yang ada pada tradisi dan agama-agama yang disebutnya dengan Tradisi Primordial ( Primordial Tradition ). Menurutnya, walaupun setiap agama itu berbeda, tetapi semua agama itu memiliki tradisi yang sama, disebut dengan Tradisi Primordial, yang dimiliki oleh semua agama. Perbedaan teknis yang terdapat dalam setiap agama merupakan jalan dan cara yang berbeda untuk merealisasikan Kebenaran. Menurut Geonon, semua agama, termasuk agama Islam, tidak dapat dikatakan benar atau salah dengan cara mengkaji ajaran agamanya, sebab semua agama itu mempunyai kebenaran yang terkandung dalam Tradisi Primordial. Semua agama dalam kegiatan ritualnya hanya merupakan cara untuk mencapai Tradisi Primordial. Rene Geonon meningal tahun 1951 di Kairo sebagai seorang muslim dengan nama Abdul Wahid Yahya, tetapi menurut Michel Valsan : “ Geunon never presented himself specially in the name of Islam, but in the name of the Traditional dan initiatic universal consciousness “.
Pemikiran Rene Geunon diteruskan oleh muridnya Fritjof Schuon ( 1907-1998 ). Sejak berusia 16 tahun, Schuon telah membaca tulisan Geunon “ Orient et Occident “. Kagum dengan pemikiran Geunon, Schuon berkirim surat dengan Geunon selama 20 tahun. Setelah berkorespodensi sekian lama, akhirnya Schoun berjumpa pertama kali dengan Rene Geunon di Mesir pada tahun 1938, dan masuk Islam pada tahun 1948 dengan nama Isa Nuruddin. Menurut buku “ Tranedental Unity of Religions “ yang ditulis oleh Schoun, agama-agama merupakan salah satu dari tiga wujud utama dari penjelmaan Zat Yang Mutlak ( Grand Theophanies of the Absolute ) yang mempunyai dua hakikat iaitu esoteric ( batin ) dan exoteric ( dzahir ), substansi ( subtance ) dan aksiden ( accident ), atau essensi ( essence ) dan bentuk ( form ) atau dalaman ( inward ) dan luaran ( outward ). Semua agama bersatu dalam tingkat bathin ( esoteric ) walaupun berbeda dalam tingkat dzahir ( exoteric ). Kesatuan agama dalam tingkat bathin inilah yang disebut dengan “ Kesatuan agama-agama dalam tingkat transedent ( Trancedent Unity of Religions ). Oleh sebab itu setiap agama dalam tingkat lahir tidak boleh menganggap dirinya mempunyai kebenaran yang mutlak ( absolutely absolute ). “ Oleh karena itu klaim eksoterik tentang pemilikan kebenaran absolute secara ekslusif merupakan kesalahan murni, sebab pada kenyataannya setiap ungkapan kebenaran meniscayakan suatu bentuk untuk mengekspresikannya, dan secara metafisik adalah hal yang mustahil bahawa bentuk memiliki sebuah kebenaran absolute yang ekslusif, yakni tidak boleh merupakan satu-satunya ungkapan dari apa yang diungkapkan “.Schoun mendakwa dirinya sebagai seorang Syekh Tarekat dengan mendirikan Tarekat Szadziliyah Maryamiyah. Sewaktu ditanyakan kepadanya mengapa dia memakai nama Maryam, maka dia menjawab : “ Maryam adalah manusia yang dimuliakan dalam keluarga Daud, dia juga ibu yang mulia dalam agama Kristian, dan juga perempuan mulia dalam sejarah Islam. Dia mencintai tiga agama dan mulai dalam ketiga agama tersebut “.Akhirnya Schoun meninggal pada tahun 1998 dengan nama Syekh Isa Nuruddin Ahmed al Sazdili al-Alawi el-Maryami.
Selanjutnya pemikiran Schoun diikuti, dikembangkan dan diteruskan oleh Sayed Hussein Nasr, seorang Syiah dari Iran yang menetap di Amerika. Menurut Nasr, setiap agama adalah penjelmaan dari model dasar ( archetype ) yang merupakan salah satu bagian dari hakikat ketuhanan. Hakikat suatu agama, seperti Islam dan Kristen, sebagaimana wujudnya dalam meta-historis ( meta-history ) dan sebagaimana wujudnya di sepanjang sejarahnya, tidak lain sesuatu yang tertulis dalam model dasarnya di alam ideal. Oleh karena itu perbedaan model dasar inilah yang sejatinya menentukan perbedaan tabiat setiap agama, yang menyebabkan timbulnya pluralitas agama. Namun demikian, model dasar ini selalu merefleksikan atau mengekpressikan focus yang tunggal dan terangkum dalam jangkauan lingkaran yang tunggal. Oleh sebab itu setiap agama pada hakikatnya merefleksikan atau mengekpresikan hakikat ketuhanan. Nasr juga menyatakan bahawa adalah bertentangan dengan kebijakan dan keadilan Tuhan untuk membiarkan agama-agama dunia dalam kesesatan selama ribuan tahun, padahal berjuta-juta manusia telah mencari jalan keselamatan. Dengan demikian, Pluralisma Agama merupakan “ kehendak Tuhan” dan sebagai akibatnya semua agama adalah benar dan dapat diikuti. Nasr berpendapat bahwa “ memeluk atau percaya kepada agama apapun, kemudian mengamalkan ajaran-ajarannya secara sempurna berarti memeluk dan beriman kepada semua agama “.Pemikiran Nasr ini banyak diikuti oleh mahasiswa, dosen, dan pemikir muslim di dunia islam, sehingga dia merupakan tokoh yang paling bertanggungjawab dalam mempopulerkan gagasan pluralisma agama di kalangan Islam tradisional.
Istilah Pluralisme Agama tidak sama dengan istilah Pluralitas Agama sebab Pluralisma Agama adalah faham yang mengakui kesamaan agama - agama sedangkan Pluralitas Agama adalah pengakuan tentang wujudnya agama-agama dalam masyarakat. Setiap agama mengakui kebenaran dan keunggulan agamanya masing-masing dan tidak mengakui kebenaran agama lain walau tetap bersikap untuk menghargai dan menghormati agama lain sedangkan dalam paham Pluralisma Agama setiap agama harus mengakui kebenaran agama lain, malahan menafikan kebenaran mutlak dalam agama masing-masing, sehingga semua agama adalah sama, tuhan semua agama adalah sama, sebab semua agama menyembah Tuhan yang sama dengan cara yang berbeda sebagaimana dikatakan oleh Husein Nasr “ semua agama adalah jalan-jalan menuju puncak yang sama “ . Oleh sebab itu Paham pluralisme agama,atau apapun namanya seperti istilah multikulturalisme atau apapun namanya, yang penting jika mengajarkan kesamaan semua agama, maka hal itu bertentangan dengan ayat al Quran : “ Sesungguhnya agama yang diterima disisi Allah adalah agama Islam “. ( Qs. Ali Imran :19 ). Dalam ayat lain, Allah menegaskan bahwa : “ Barangsiapa yang mengambil selaian agama Islam sebagai agamanya, maka Allah tidak akan menerima agama itu dan di akhirat nanti orang itu akan merugi “ ( Qs. Ali Imran : 85). Fa’tabiru Ya Ulil albab.
“ Bagi kamu agama kamu, bagiku agamaku “ ( QS. AlKafirun : 6 )
Pada tahun 1875 Helena Blavatsky, Henry Steel Olcott, dan William Quan Judge berdiri sebuah pertubuhan yahudi bernama Theosophical Soceity di kota New York dengan tujuan mengikat persaudaraan universal tanpa melihat kelompok, bangsa dan agama, di bawah pimpinan Helena Blavatsky, Henry Steel Olcott, dan William Quan Judge. Beberapa tahun kemudian pertubuhan ini mendirikan International Head Quarters di Adyar, Chennai, India. Di bawah lambang Theosophical Soceity tersebut tertulis ayat “ There is no religion higher than Truth “ Sedangkan tujuan utama Perhimpuan Theosofi adalah (1) Mengadakan inti persaudaraan antara sesama manusia tanpa memandang bangsa, kepercayaan, kelamin, kaum atau warna kulit. (2) Memajukan pelajaran dengan mencari persamaan dalam agama-agama, filsafat dan ilmu pengetahuan. (3) Menyelidiki hukum-hukum alam yang belum dapat diterangkan dan kekuatan-kekuatan dalam manusia yang masih terpendam. Oleh sebab itu, adalah Theosophical Soceity adalah sebuah badan kebenaran yang merupakan dasar dari semua agama, yang tidak dapat dimiliki dan dimonopoli oleh agama atau kepercayaan manapun. Theosofi menawarkan sebuah filsafat yang membuat kehidupan menjadi dapat dimengerti, dan Theosofi menunjukkan bahwa keadilan dan cinta-kasihlah yang membimbing evolusi kehidupan
Gagasan Pluralisma masuk ke dalam wacana pemikiran Islam melalui tulisan-tulisan Rene Guenon ( 1886-1851 ) dan diikuti oleh muridnya Frithjof Schoun. Rene Geunon adalah seorang ahli dari perkumpulan Theosophical Society di Perancis yang didirikan oleh seorang FreeMason Gerard Encausse ( 1865-1916) Encause mendirikan Free School of Hermetic Science, sekolah yang mengkaji masalah misticisme. Rene Guenon belajar tentang pemikiran mistikisme ( Occult Studies ), dan berkenalan dengan tokoh-tokoh FreeMasonry dan Theosophia. Rene Geonon juga tercatat sebagai ahli FreeMasonry Lodge Thebah, Prancis. Malahan menurut Grand Master FreeMasonry Prancis, Henry Tort-Nougues, tulisan dan pemikiran Rene Geonon merupakan dasar dari hermeneutika ( penafsiran ) tentang lambang-lambang FreeMasonry Modern. Pengalaman Spritual Rene Guenon dalam Theosophy Soceity dan FreeMasonry mendorongnya untuk mengambil kesimpulan bahawa semua agama memiliki kebenaran dan bersatu dalam level Kebenaran. Pada tahun 1912, Rene Geunon yang semula beragama Kristen masuk ke dalam agama Islam dan berganti nama dengan Abdul Wahid Yahya. Dalam tulisan dan buku-bukunya, Rene Guenon menghidupkan kembali nilai-nilai , hikmah dan kebenaran abadi yang ada pada tradisi dan agama-agama yang disebutnya dengan Tradisi Primordial ( Primordial Tradition ). Menurutnya, walaupun setiap agama itu berbeda, tetapi semua agama itu memiliki tradisi yang sama, disebut dengan Tradisi Primordial, yang dimiliki oleh semua agama. Perbedaan teknis yang terdapat dalam setiap agama merupakan jalan dan cara yang berbeda untuk merealisasikan Kebenaran. Menurut Geonon, semua agama, termasuk agama Islam, tidak dapat dikatakan benar atau salah dengan cara mengkaji ajaran agamanya, sebab semua agama itu mempunyai kebenaran yang terkandung dalam Tradisi Primordial. Semua agama dalam kegiatan ritualnya hanya merupakan cara untuk mencapai Tradisi Primordial. Rene Geonon meningal tahun 1951 di Kairo sebagai seorang muslim dengan nama Abdul Wahid Yahya, tetapi menurut Michel Valsan : “ Geunon never presented himself specially in the name of Islam, but in the name of the Traditional dan initiatic universal consciousness “.
Pemikiran Rene Geunon diteruskan oleh muridnya Fritjof Schuon ( 1907-1998 ). Sejak berusia 16 tahun, Schuon telah membaca tulisan Geunon “ Orient et Occident “. Kagum dengan pemikiran Geunon, Schuon berkirim surat dengan Geunon selama 20 tahun. Setelah berkorespodensi sekian lama, akhirnya Schoun berjumpa pertama kali dengan Rene Geunon di Mesir pada tahun 1938, dan masuk Islam pada tahun 1948 dengan nama Isa Nuruddin. Menurut buku “ Tranedental Unity of Religions “ yang ditulis oleh Schoun, agama-agama merupakan salah satu dari tiga wujud utama dari penjelmaan Zat Yang Mutlak ( Grand Theophanies of the Absolute ) yang mempunyai dua hakikat iaitu esoteric ( batin ) dan exoteric ( dzahir ), substansi ( subtance ) dan aksiden ( accident ), atau essensi ( essence ) dan bentuk ( form ) atau dalaman ( inward ) dan luaran ( outward ). Semua agama bersatu dalam tingkat bathin ( esoteric ) walaupun berbeda dalam tingkat dzahir ( exoteric ). Kesatuan agama dalam tingkat bathin inilah yang disebut dengan “ Kesatuan agama-agama dalam tingkat transedent ( Trancedent Unity of Religions ). Oleh sebab itu setiap agama dalam tingkat lahir tidak boleh menganggap dirinya mempunyai kebenaran yang mutlak ( absolutely absolute ). “ Oleh karena itu klaim eksoterik tentang pemilikan kebenaran absolute secara ekslusif merupakan kesalahan murni, sebab pada kenyataannya setiap ungkapan kebenaran meniscayakan suatu bentuk untuk mengekspresikannya, dan secara metafisik adalah hal yang mustahil bahawa bentuk memiliki sebuah kebenaran absolute yang ekslusif, yakni tidak boleh merupakan satu-satunya ungkapan dari apa yang diungkapkan “.Schoun mendakwa dirinya sebagai seorang Syekh Tarekat dengan mendirikan Tarekat Szadziliyah Maryamiyah. Sewaktu ditanyakan kepadanya mengapa dia memakai nama Maryam, maka dia menjawab : “ Maryam adalah manusia yang dimuliakan dalam keluarga Daud, dia juga ibu yang mulia dalam agama Kristian, dan juga perempuan mulia dalam sejarah Islam. Dia mencintai tiga agama dan mulai dalam ketiga agama tersebut “.Akhirnya Schoun meninggal pada tahun 1998 dengan nama Syekh Isa Nuruddin Ahmed al Sazdili al-Alawi el-Maryami.
Selanjutnya pemikiran Schoun diikuti, dikembangkan dan diteruskan oleh Sayed Hussein Nasr, seorang Syiah dari Iran yang menetap di Amerika. Menurut Nasr, setiap agama adalah penjelmaan dari model dasar ( archetype ) yang merupakan salah satu bagian dari hakikat ketuhanan. Hakikat suatu agama, seperti Islam dan Kristen, sebagaimana wujudnya dalam meta-historis ( meta-history ) dan sebagaimana wujudnya di sepanjang sejarahnya, tidak lain sesuatu yang tertulis dalam model dasarnya di alam ideal. Oleh karena itu perbedaan model dasar inilah yang sejatinya menentukan perbedaan tabiat setiap agama, yang menyebabkan timbulnya pluralitas agama. Namun demikian, model dasar ini selalu merefleksikan atau mengekpressikan focus yang tunggal dan terangkum dalam jangkauan lingkaran yang tunggal. Oleh sebab itu setiap agama pada hakikatnya merefleksikan atau mengekpresikan hakikat ketuhanan. Nasr juga menyatakan bahawa adalah bertentangan dengan kebijakan dan keadilan Tuhan untuk membiarkan agama-agama dunia dalam kesesatan selama ribuan tahun, padahal berjuta-juta manusia telah mencari jalan keselamatan. Dengan demikian, Pluralisma Agama merupakan “ kehendak Tuhan” dan sebagai akibatnya semua agama adalah benar dan dapat diikuti. Nasr berpendapat bahwa “ memeluk atau percaya kepada agama apapun, kemudian mengamalkan ajaran-ajarannya secara sempurna berarti memeluk dan beriman kepada semua agama “.Pemikiran Nasr ini banyak diikuti oleh mahasiswa, dosen, dan pemikir muslim di dunia islam, sehingga dia merupakan tokoh yang paling bertanggungjawab dalam mempopulerkan gagasan pluralisma agama di kalangan Islam tradisional.
Istilah Pluralisme Agama tidak sama dengan istilah Pluralitas Agama sebab Pluralisma Agama adalah faham yang mengakui kesamaan agama - agama sedangkan Pluralitas Agama adalah pengakuan tentang wujudnya agama-agama dalam masyarakat. Setiap agama mengakui kebenaran dan keunggulan agamanya masing-masing dan tidak mengakui kebenaran agama lain walau tetap bersikap untuk menghargai dan menghormati agama lain sedangkan dalam paham Pluralisma Agama setiap agama harus mengakui kebenaran agama lain, malahan menafikan kebenaran mutlak dalam agama masing-masing, sehingga semua agama adalah sama, tuhan semua agama adalah sama, sebab semua agama menyembah Tuhan yang sama dengan cara yang berbeda sebagaimana dikatakan oleh Husein Nasr “ semua agama adalah jalan-jalan menuju puncak yang sama “ . Oleh sebab itu Paham pluralisme agama,atau apapun namanya seperti istilah multikulturalisme atau apapun namanya, yang penting jika mengajarkan kesamaan semua agama, maka hal itu bertentangan dengan ayat al Quran : “ Sesungguhnya agama yang diterima disisi Allah adalah agama Islam “. ( Qs. Ali Imran :19 ). Dalam ayat lain, Allah menegaskan bahwa : “ Barangsiapa yang mengambil selaian agama Islam sebagai agamanya, maka Allah tidak akan menerima agama itu dan di akhirat nanti orang itu akan merugi “ ( Qs. Ali Imran : 85). Fa’tabiru Ya Ulil albab.
No comments:
Post a Comment